48: Tiga pertanyaan Kaisar

2.1K 273 37
                                    




Ada yang masih bangun?








Uap panas mengepul dari secangkir kopi hitam yang terletak di atas meja diantara dua orang perempuan yang membisu dalam lamunan masing-masing tanpa ada satu pun yang hendak mendahului pembicaraan.

Perempuan dengan garis wajah tegas mendahului pembicaraan yang terkesan canggung, menghentikan kebisuan yang mungkin akan terus menerus terjadi kalau ia tidak berbicara sekarang.

"Apa kabar lo, Rell?"

Dengan suara serak dan sedikit terbata, perempuan dengan gurat wajah dewasa dan tegas mulai menoleh dan menatap lawan bicaranya.

Sedangkan yang ditatap kini mengangkat gelas berisi kopi hitam yang terlihat masih panas dinilai dari banyaknya uap yang muncul dan menegaknya sekali tegukan kemudian berkata pendek,

"Gue baik!"

"Dan gue enggak tau mau bilang apa lagi!" Perempuan itu melanjutkan perkataannya sembari terkekeh pelan.

"Kayaknya,"

"Hubungan kita enggak bisa berubah seperti sedia kala!" suara serak perempuan yang memiliki wajah tegas kembali terdengar. Yang diajak bicara kini menoleh dan tersenyum hingga matanya menyipit.

"Ternyata lo sadar," menjawab dengan perlahan kemudian kembali meneguk kopi hitamnya.

Perempuan yang memegang gelas kopi hitam itu Aurell sedangkan yang memiliki gurat wajah tegas adalah Sheila. Mereka berdua sedang duduk di kafe tempat mereka biasa berkumpul.

Sekedar nostalgia atau mungkin sekarang mereka berniat untuk memulai 'sesuatu' dari awal.

"Hubungan kita udah terlalu hancur sampai gue enggak tau bagian mana yang harus diperbaiki terlebih dulu!" Sheila menghela napas kemudian mengambil gelas berisi jus. Mungkin mulai menjaga diet dengan hidup sehat sehingga menjauhi kopi, tidak seperti rekannya.

"Gue enggak tau, ternyata ada yang harus diperbaiki dari semua ini!" Aurell menjawab santai. Ia memainkan kuku-kukunya yang berpulas kuteks mahal dari salon ternama di meja. Mengetuknya dengan ritme berantakan.

"Dari awal, kita menjauh tanpa sebab! Gue enggak iri sama semua yang lo miliki! Gue bahkan enggak ada satu pemikiran pun buat nagih semua hal yang udah gue kasih ke elo!" Aurell melanjutkan ucapannya dengan pandangan kosong, menatap kedepan ditambah senyuman tipis.

"Karena mungkin, hal yang gue kasih ke elo hanya sebuah penderitaan tanpa ujung!"

Sheila terhenyak. Ia menoleh dan menatap Aurell dengan kerutan di dahinya. Menatap dengan pandangan aneh karena ia baru melihat sisi Aurell yang satu ini.

"Lo.. gue enggak pernah nganggep lo itu penderitaan gue!" Sedetik kemudian Sheila menggeleng, menolak asumsi Aurell dengan keras. Sedangkan yang dibantah malah tertawa kecil dan memalingkan wajahnya menatap Sheila dengan sebelah mata yang menyipit,

"Lo... munafik,"

Sheila kini mematung, tertohok tapi sama sekali tidak mengerti apa ucapan Aurell.

"Di mata lo, dari dulu hingga sekarang, mungkin gue adalah hal buruk yang membuat lo selalu kesulitan. Hal buruk yang sayangnya terlalu sulit buat lo lepas karena hal buruk itu udah terlalu candu,"

"Lo boleh nyalahin gue atas semua itu!" Aurell kini mengangkat bahunya kemudian menepuk pelan bahu Sheila. Berbanding terbalik dengan air muka Sheila yang sudah mengeruh.

"Lo tau kisah seorang kaisar yang mengajukan tiga pertanyaan dengan tiga jawaban menakjubkan?" Aurell kembali mengaluhkan sisi pandangnya ke depan. Sheila menghembuskan napas perlahan dan menggeleng, tidak menjawab secara lisan pertanyaan Aurell.

Amaryllis (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang