49: Menerima dan Memaafkan, Sesederhana itu

2.1K 255 45
                                    







Ready?
Ayo kita santai2 dulu :)









"Maaf, tapi saya tidak memanggil sembarang orang dengan sebutan Kakek!"

Suara husky Bumi terdengar lebih berat dibanding biasanya setelah melepaskan tangannya dari genggaman laki-laki paruh baya dengan setelan jas mahal. Pria yang mengenalkan diri sebagai Firdan itu hanya tersenyum tipis.

"Bukannya penolakan ini terlalu cepat yaa?" Menggoda Bumi dengan seringaian kecil dilanjut kekehan. Sedang Bumi sama sekali tidak peduli.

"Kakek? Maaf Kakek saya cuman satu, Namanya Leon!" Bumi kembali menolak fakta yang pria tua menawan itu ucapkan.

Pria itu mengambil napas dalam-dalam dan kembali memaksakan senyumannya "Ayo kita berbicara lebih panjang di mobil, Kakek akan mengantar kamu ke rumah."

Bumi mengerjapkan matanya dan tersenyum sinis. Buat apa lagi pria itu berbicara lebih panjang terhadap Bumi? Toh, Bumi tidak akan sudi mengakui ia sebagai Kakeknya! Orang yang awalnya tidak menerima sekarang bertingkah seolah peduli. Mana ada orang yang lebih tidak tau malu dibanding pria ini!

Tangan Bumi ditarik oleh pria tua itu menuju limusinnya. Bumi yang sekedar melamun tersentak dan membulatkan mata. Tenaga pria paruh baya itu terlalu kuat untuk Bumi lawan. Kaki Bumi sama sekali tidak bergerak dan mencoba untuk hanya diam di tempat, namun lambat laun, Bumi semakin terseret.

Akhirnya, Bumi hanya pasrah. Laki-laki tua yang mengaku sebagai Kakeknya itu tidak akan menyakitinya, bukan?

Bumi duduk di dalam mobil yang dalamnya dipenuhi barang-barang mewah dan dekorasi yang nampak elegan. Bahkan mobil mahal milik Leon dan Raya tidak semewah ini.

Deheman pria tua di sampingnya membuat Bumi kembali tersentak. Ia mencoba menatap dengan was-was pria di sampingnya yang hendak berbicara.

"Saya benar Kakek kamu, Bumi! Aurell satu-satunya anak saya!" Pria itu kembali mengulangi perkataannya. Menguatkan Fakta bahwa ia adalah Kakek kandung Bumi.

"Siapa bilang? Bukannya Bapak sudah membuang Mama? Terlalu serakah bukan kalau Bapak menginginkan saya, cucu dari anak yang bapak sudah buang, memanggil anda Kakek?" Bumi menjawab dengan tajam. Ia kembali memalingkan wajahnya dan kini memandang sekitar di balik kaca.

"Siapa yang sudah membuang? Saya selalu menganggap Aurell sebagai anak saya!" Firdan lagi-lagi berkata tegas. Tanpa malu ia berkata dengan mata berkaca-kaca layaknya terluka akan perkataan Bumi.

Bumi mendecih pelan. Ia tidak sanggup menatap wajah laki-laki di sampingnya. Semurung apapun raut wajah pria paruh baya itu, mau semenyedihkan apapun laki-laki itu bertingkah, Bumi masih tidak akan memaafkan seseorang yang membuat luka dalam di hati Mamanya.

Limusin hitam mencolok karena mewahnya berhenti tepat di depan rumah Bumi. Dari dalam kaca, Bumi dapat melihat Mamanya sedang duduk di bangku taman halaman rumah sembari memejamkan mata.

Bumi tersenyum tipis ke arah pria paruh baya dengan air muka sendu dan segera keluar dari limusin itu.

Menghampiri Mamanya yang langsung membuka mata saat mendengar langkah kaki Bumi. Aurell bahkan tersenyum lebar dan memeluk Bumi dengan erat.

Tapi senyuman Aurell luntur seketika saat ada suara langkah kaki lagi yang telinga Aurell tangkap. Tubuhnya membatu bersamaan dengan keluarnya senyuman dari pria paruh baya yang 'mengantarkan' Bumi sampai kesini.

"Halo, Putri Papa! Apa kabar?" Suara pria itu masih terdengar menyeramkan di telinga Aurell meskipun nyatanya pria itu menggunakan nada seramah mungkin.

Amaryllis (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang