54: Bodoh

2K 221 16
                                    

11 hari,






"Udah terlalu parah,"

Suara decakan dokter Azel membuat Leta tertegun. Leta menundukan wajahnya sembari memainkan jemarinya. Menahan air mata yang mendesak hendak menetes.

"Sel-sel kankernya udah menyebar bahkan ke mendekati jantung dan paru-paru! Kita enggak bisa ngambil tindakan gegabah apalagi operasi yang kemungkinan suksesnya kecil!"

Penjelasan dokter Azel membuat Leta memghela napas. Ia mengangkat wajahnya dan mengerjapkan mata. Mencoba agar air matanya tidak tumpah.

"Terus Leta harus gimana, dok?" Tanya Leta pelan. Ia tidak berharap kemungkinan untuk sembuh, tapi setidaknya, apa ada cara agar mengurangi rasa sakit yang Leta derita di setiap harinya?

"Sementara ini, kamu jangan tinggal minum obat. Seenggaknya obat itu bisa sedikit membantu menahan rasa sakit Leta! Buat langkah selanjutnya, dokter harus bicarakan lebih lanjut dengan dokter Hamdan." Dokter Azel melepaskan kacamatanya dan tersenyum kecil. Kemudian ia menepuk bahu Leta sebelum Leta beranjak.

Ia menghela napas panjang saat Leta keluar dari ruangannya dengan langkah terseok-seok.

Ah, ini juga merasakan bahwa ini cukup berat untuk ditanggung sendirian.



***



Bodoh!

Leta merutuki dirinya sendiri saat berada di kamarnya. Ia mencengkram botol yang berisi obatnya dengan kuat.

Ia terlalu bodoh karena sempat mengharap bahwa ada keajaiban layaknya alur novel-novel yang ia baca. Keajaiban misalnya, penyakitnya bisa sembuh disaat-saat terakhir.

Leta mulai menelan satu persatu obat-obatan yang ditatapnya nanar. Sekantung obat pahit yang sama menyiksanya untuk Leta telan.

Setelah menelan obat-obatan yang membantu Leta untuk menahan rasa sakit dari sel-sel kanker ganas yang menyiksa tubuhnya, Leta menduduki kursi meja riasnya.

Ia memandangi wajahnya yang memucat dan menirus.

Wajah pucat dengan kantung mata tebal yang menyedihkan. Bahkan bibir Leta nampak kering dan terlihat miris saat Leta mencoba tersenyum. Ah, Tubuhnya tergerogoti penyakit serius. Bagaimana Leta tidak miris dengan hidupnya sendiri?

Bodoh!

Leta kembali menyerapah. Ia mengambil tisu yang berada di depannya dan menyeka darah  yang tiba-tiba saja mengalir dari hidungnya. Setelah memastikan bahwa mimisannya berhenti, rasa mual kini menyerang Leta.

Leta berjalan cepat dan menjatuhkan dirinya tepat di depan kamar mandi. Mencoba mengeluarkan isi perut yang bahkan hanya ia isi dengan air putih, salad dan obat.

Terlalu tamakkah jika kali ini Leta berharap agar ia segera meninggal saja?



****


Bumi memutar matanya malas saat melihat formulir yang dibagikan oleh BK.
Formulir tentang jalan apa yang ia akan ambil setelah lulus dari sekolah menengah atas.

Ia menghembuskan napas lelah dan membaringkan kepalanya tepat di sebelah formulir itu.

Setelah mengosongkan pikiran selama beberapa menit, Bumi kini mengedarkan pandangannya ke seisi kamarnya. Kemudian memandang langit-langit kamar setelah membaringkan diri di kasur.

Bukannya jelas yang ia lakukan setelah menyelesaikan Ujian, masuk Universitas dengan jurusan manajemen bisnis?

Tapi mengapa sebagian diri dari Bumi merasa tidak rela?

Amaryllis (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang