45: Hadiah bagi Orang yang Menerima

2.3K 270 41
                                    


Absen dulu, Yok!
Mana yang nungguin Amaryllis Update?






"Let,"

Sheila mengusap lembut rambut anaknya yang kini terbaring di atas kasur di kamar rawatnya dengan tatapan lurus ke depan menatap langit-langit kamar.

Bukan hanya itu, air mata Leta juga perlahan menetes tanpa ada keinginan untuk Leta seka.

Sheila memandang anaknya dengan miris. Kehidupan anaknya sungguh teramat buruk. Semua penderiataan bahkan rasanya lemgkap telah Leta alami di usianya yang masih kecil.

Leta sama sekali tidak menggubris panggilan Sheila. Mungkin Leta tidak mendengarnya.
Ia seolah punya kehidupannya sendiri dengan lamunan tanpa henti.

"Leta," Sheila kembali memanggil anaknya dengan nada suara yang kebih kencang. Membuat Leta tersentak dan akhirnya tersenyun tipis menatap Sheila.

"Ada apa? Kamu kenapa ngelamun terus?" Sheipa membalas senyuman tipis anaknya dan menghembuskan napas lega karena anaknya kini menjawab panggilannya.

"Enggak papa!" Leta lagi-lagi tersenyum tipis. Ia menggenggam jemari Sheila yang sedang mengelus rambut hitamnya dengan kencang.

Mendengar jawaban Leta sontak membuat mata Sheila terbelalak. Sheila terlalu familiar dengan kalimat 'Enggak papa'. Kalimat yang kalau diartikan adalah 'aku sangat tidak baik-baik saja!'

"Ada saatnya kita berada di dalam posisi terendah, Mommy sama Ayah enggak pernah nyalahin Leta kalau Leta capek dan mau istirahat! Mommy enggak pernah membenci Leta bahkan kalau seandainya Leta bilang Leta mau nyerah! Mommy paham semua penderitaan Leta!"

"Kalau kamu dalam posisi enggak baik, jangan bilang kalau kamu baik-baik aja, Let! Mommy enggak mau kamu membohongi diri kamu sendiri!" Sheila mengusap air mata Leta yang hampir mengering. Kemudian mengusap pipi Leta yang mulai menirus karena stress panjang.

"Semua orang punya saat dimana kita menjadi enggak baik-baik aja, dan enggak ada orang yang akan menyalahkan itu!"

Leta menatap dalam mata jernih Sheila dan menghela napas. Benarkah ia boleh tidak baik-baik saja?
Benarkah ia boleh menyerah dan berkata bahwa ia lelah?

"Mah, kenapa Leta harus ngalamin semua hal ini?"

Akhirnya Leta berkata selain kalimat 'baik-baik saja' setelah dua hari ia terbangun dari pingsannya. Sheila langsung terdiam. Ia sungguh ingin mengalihkan wajahnya dari tatapan lugu Leta. Tatapan yang membuat Sheila hampir saja ikut menjatuhkan air matanya.

"Kenapa harus... Kenapa harus Leta yang menjalani semua hal menyakitkan ini?" Leta kembali bertanya lirih. Matanya mengerjap pelan sembari kembali mengeluarkan setetes air mata.

"Karena kamu adalah orang kuat yang Tuhan pilih!" Sheila menjawab dengan yakin. Ia terkekeh pelan kemudian mencium jemari kurus Leta.

"Karena Tuhan enggak sembarang ngasih ujian kepada Makhluknya! Hanya orang-orang istimewa yang Tuhan kasih ujian berat! Dan salah satunya adalah kamu, sayang!"

Mata Leta masih membulat menatap Sheila dengan tatapan polos. Ia mencerna ucapan Sheila setelah itu tersenyum kecil sambil tangan kirinya mengelus perutnya yang rata.

"Berarti Leta orang istimewa yang Tuhan percaya buat jalanin semua ujian ini?"

Sheila kembali mengangguk yakin. Matanya berkaca-kaca dan bergumam pelan " Tentu sayang, kamu orang istimewa!"

Leta akhirnya tersenyum dengan tulus. Ia mencoba bangun dari tidurnya dibantu Sheila dam menyandarkan punggungnya di tembok. Ia kembali memandang Sheila dengan tatapan lugu,

Amaryllis (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang