Setelah sekian waktu berlari tanpa tahu apa tujuannya, Risa meminta Inara agar mau berhenti. Dirinya tak ingin mati konyol hanya karena menuruti Inara yang mendadak aneh. "Orang kita nggak dikejar siapa-siapa, ngapain lari-larian gini?" ujarnya sambil membungkukkan badan serta menumpukan telapak tangannya ke lutut. Setelah sadar, Risa baru ingat bahwa lari memang olahraga yang amat melelahkan. Apalagi lari dari kenyataan.
"Kita harus cepetan pulang, Sa. Kalau nggak, bisa habis kita!"
"Kan pulangnya bisa nyantai aja, nggak usah lari-lari gini."
"Ya ayo, cepetan pulang." Lagi-lagi Inara menarik lengan Risa agar lekas berlari lagi, supaya tak keduluan Ilyas yang tengah menuju ke tempat ini. Tetapi tautan tangannya ditepis saja oleh Risa.
Risa malah mencari tempat duduk di bawah pohon mangga yang letaknya tak jauh dari gerbang sekolah. "Lo kalau mau pulang, duluan aja. Gue mau istirahat dulu. Dikira nggak capek apa, lari-larian nggak jelas gini!?" Lalu ia memijat-mijat kakinya yang terasa lelah. Tidak lama setelahnya, ia mencari tisu di tas punggung model Korea miliknya. "Lagian lo kalau mau pulang ya nggak usah lari segala. Kan lo bawa sepeda."
Selesai Risa berkata demikian, Inara tanpa sadar menepuk dahinya. "Ya ampun, aku lupa." Setelahnya, cewek itu menggerutu, diam-diam menyalahkan Ilyas yang membuatnya panik seperti barusan. Sampai-sampai ia tak ingat ada sepeda keranjang berwarna krim yang selalu ia kendarai saat berangkat dan pulang sekolah. "Aku ambil sepedaku dulu, kalau gitu."
"Hm," tanggap Risa, yang kini mulai sibuk menyeka keringat di dahi dan pelipisnya menggunakan tisu. Sebab, dirinya bukan cewek jorok macam Inara yang tak merasa terganggu atas keberadaan cairan berglikoprotein itu. Ia pun tak mau wajahnya yang amat terawat ini jadi gampang berjerawat lantaran terlambat membersihkan keringat.
Kegiatan bersih-bersih wajah itu selesai juga. Risa telah mengoleskan cairan pembersih serta losion pelembap pula, agar kekenyalan mukanya tetap terjaga. Pada waktu bersamaan, pandangannya menemukan cowok berhelm dan bermasker namun tanpa motor. Sosok itu berjalan di depannya. "Motor lo kan pastinya masih di parkiran. Ngapain celingukan di situ?" tanyanya sok kenal.
"Inara sekarang di mana?"
Bukannya menjawab, Risa balik bertanya, "Urusan lo apa nih, nyari Inara?"
"Urusan penting."
Meski tak asing dengan suara si Penanya, Risa tak ambil pusing. Nggak mungkin, ah, pikirnya. "Sepenting apa?"
"Gue pacarnya."
Satu jawaban pendek yang teredam masker dari cowok itu sontak membuat mulut Risa ternganga.
"Jadi, di mana dia sekarang?"
"Sebentar." Risa mengambil ponsel, hendak menanyakan perihal keberadaan Inara sekarang sekaligus hubungan Inara dengan cowok di sekitarnya itu. Pokoknya Inara harus jujur!
Sekian lama menunggu setelah mengirim pesan-pesannya, Risa tak lekas mendapatkan jawaban.
***
Meski telah memegang setang dan menaiki sepedanya, Inara tetap belum berani keluar dari area parkir. Ia malah jadi parno sendiri, khawatir kalau-kalau Ilyas benar-benar mendatanginya di sekolah untuk mengumumkan hubungan mereka di hadapan sebagian besar siswa-siswi SMA Semesta yang belum pulang.
Walau tak bisa menebak apa yang nanti akan Ilyas lakukan terhadapnya, Inara yakin bahwa cowok itu pasti marah karena isi chat terakhirnya yang ---jika dipikir ulang--- sangat keterlaluan. Apalagi berdasarkan pesan terakhir yang ia baca, Ilyas sudah mewanti-wanti agar dirinya tidak kabur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setala Gema
Teen Fiction"Kalau mau minta wawancara khusus apalagi minta putus ...." Jeda sesaat. Ilyas tersenyum menatap lawan bicaranya. "Syaratnya, kita harus kencan seharian. Masa, selama jadian kita nggak pernah jalan? Padahal kamu yang nembak, biarpun kamu sering pura...