18. Debar Festival

373 81 45
                                    

"Tadi Revan cerita, lo malah pacaran sewaktu dia ngajak jalan," mulai Risa, membahas apa yang mestinya malas Inara bahas. "Jadi, dia orang yang sama? Yang pernah dateng ke sekolah, tapi waktu itu lo males nemuin? Yang ngotot nuduh lo nembak dia?"

"Heem." Hanya itu jawaban Inara untuk pertanyaan panjang melalui panggilan video barusan. Memangnya ia perlu menjawab apalagi? "Eh, ini kamu nanya gini sebagai sahabat gue atau sumber informasi buat Revan?" selidiknya kemudian, tak ingin kecolongan.

Namun, bukannya merasa tersinggung, Risa malah tertawa. "Segitunya banget, Ra. Biarpun gue ini sumber informasi buat Revan, nggak semua hal perlu gue sampein ke dia."

Inara mengangguk mengerti, juga setuju. "Ya gimana, ya, Sa? Aku udah kadung risi sama perhatian-perhatian Revan ke aku. Apalagi dia makin terang-terangan deketin akunya. Pilihan terbaik buat bikin dia kapok ya nunjukin ke dia kalau aku udah punya pacar. Lagian kan kamu tahu sendiri, aku dari dulu nggak suka sama dia."

Untuk alasan yang sukar dipahami, ada helaan napas lega dari Risa. Seolah kerisauannya sudah lepas bersamaan dengan keluarnya karbondioksida melalui hidung. "Iya juga, sih. Revan nggak perlu ngabisin waktu cuma buat ngurusin elo, sementara lo malah ngabisin waktu buat mikirin orang lain."

"Bener. Udah saatnya Revan lihat orang yang selama ini selalu ada buat dia, yang bahkan selama ini nggak dia anggap, tapi diam-diam berharap kalau dia bahagia." Inara hendak mengetahui reaksi cewek yang tampak di layar ponsel, ketika dirinya mengatakan itu.

Dan benar. Reaksi dari Risa kali ini tak bisa berbohong. Bahwa gadis itu, meski selalu berusaha menjodohkan Revan dengan Inara, pada kenyataannya memendam perasaannya sendiri terhadap Revan yang secara terang-terangan mendekati sahabatnya. Ia mungkin dapat mengelabuhi orang-orang di sekitarnya. Akan tetapi, Inara bukanlah sembarang pengamat yang bisa dengan mudah tertipu oleh tingkahnya yang seolah tak apa-apa dengan segala tindak-tanduk Revan selama ini.

"Kamu nggak kenapa-kenapa, Sa?" Kembali Inara memastikan ekspresi dan reaksi Risa, serta memberikan waktu bagi sahabatnya itu untuk bercerita, meski dirinya sudah jelas-jelas mengetahui garis besarnya.

Namun, Risa hanya tersenyum lalu menggeleng. Memilih menyimpan rapat-rapat perasaannya sendiri.

Begitu pula dengan Inara yang tak ingin semakin merusak suasana hati sahabatnya itu. Maka ia tak bertanya lebih lanjut. "Eh, Sa. Besok mau ikut ke festival remaja soleh solehah, nggak?"

Dan entah kenapa Risa malah tersenyum mengejek. "Nggak, ah. Gue kan nggak dikasih tiket masuk sama pacar, beda sama lo," candanya.

"Tiketnya kan bisa beli besok sekalian. Bedanya sama punyaku, punyaku sekalian ada voucher gratis apanya gitu. Ikut, ya, Sa?"

Namun, Risa malah tersenyum mengejek. "Halah, sok-sokan ngajak. Palingan lo dateng bareng pacar lo itu."

"Ih, enggak, ya. Aku dateng sendiri," elak Inara tak terima.

"Revan udah cerita. Detail. Lengkap. Lo udah dikasih tiket eksklusif, mau dijemput juga. Cieee, yang besok kencan!" goda Risa, yang seketika membuat Inara manyun.

"Enggak gitu sebenernyaaaa!"

"Kan lo sendiri yang bilang di depan Revan, Ra. Kalau gue ikut, yang ada cuma jadi obat nyamuk. Ngeliatin orang kencan, apa asiknya?"

"Gimana kalau kamu ngajak Revan aja, Sa, biar nggak jadi obat nyamuk?" Kini Inara yang berbalik menggoda Risa, hingga Risa salah tingkah sendiri. Makin jelas bahwa Risa memiliki perasaan sayang terhadap Revan.

***

Geliat hijrah benar-benar Inara rasakan sejak menginjakkan kaki di area festival. Rasanya ia agak kurang percaya bahwa momentum seperti ini akan terjadi di sekitarnya, jika mengingat cerita masa remaja ibunya yang dulu sempat menjadi bulan-bulanan ketika menjadi generasi pemakai rok panjang di tengah maraknya remaja pengguna rok pendek yang dulu dianggap kekinian.

Setala GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang