31. Berdua Bicara

193 24 6
                                    

Semenjak berada di atas motor yang sama, baik Ilyas maupun Risa sama sekali tak membuka suara. Seolah bebunyian yang berasal dari mulut keduanya akan sia-sia belaka karena tertelan kebisingan angin maupun kendaraan lain di jalan.

Keadaan masih begitu ketika mereka tiba di tempat tujuan, meski langkah keduanya seirama saat melewati pintu masuk besi yang bertuliskan "Taman Ancar".

Ilyas sendiri masih bingung hendak memulai obrolan dari mana. Karena tidak seperti Inara yang suka membuka pembicaraan meski terkesan nyolot setiap saat, Risa cenderung lebih pendiam.

"Mau makan atau minum dulu gitu, nggak?" tanya Ilyas, berusaha membuka suara.

"Enggak usah, deh. Masih kenyang."

"Oke." Ilyas mengangguk-angguk. Kakinya masih terus melangkah, kali ini dia membiarkan Risa berjalan di depannya karena mereka melewati jalan setapak.

Suasana kembali didominasi oleh suara alam. Keadaan yang memperbesar kebingungan Ilyas akan melakukan apa setelah ini.

Jika tujuan awalnya adalah memastikan perasaannya, bagaimana bisa berhasil jika mereka hanya diam-diaman semacam ini?

"Ehm." Ilyas berdeham, mencoba menarik perhatian Risa sebelum melanjutkan, "Kamu sahabatan sama Inara udah lama?"

Risa tak lekas menjawab, tetapi menyamankan diri dulu dengan duduk di ayunan taman. "Ya, setahunan deh kurang lebih."

Ilyas berhenti di sebelah tiang ayunan kayu itu, lantas menyandarkan tangannya di sana. "Berarti hubungan kalian deket banget, ya?"

Risa mengangguk membenarkan. "Biarpun di satu dua keadaan Inara itu tertutup, tapi kami deket kok. Kalau emang nggak rahasia-rahasia amat, dia pasti cerita."

"Termasuk hubungan kami?"

"Soal hubungan kalian, ya?" Risa memilih kata-kata yang tepat dulu sebelum menjawab. "Ya, biarpun nggak terang-terangan ngasih tahu, dia terbuka soal hubungan kalian."

Ilyas hanya mengangguk, mencoba mengerti. Di titik itu pula dirinya merasa bingung hendak mengurai permasalahan perihal hubungannya dengan Inara yang aneh ini dari mana. "Sejauh mana Inara ngasih tahu soal hubungan kami?"

"Yaaa," jawab Risa, menimbang perkataan yang akan terlontar dari mulutnya. "Nggak terlalu jauh juga, sih."

Ilyas mulai tak sabar ketika mendengar jawaban yang tak menjawab pertanyaannya itu.

"Dia pernah cerita kalau hubungan kalian aneh. Soalnya kalian cuma ribut soal siapa yang nembak duluan."

Mendapat pernyataan pemantik, Ilyas jadi punya bahan untuk meluruskan situasi aneh yang menimpa dirinya dan Inara. "Tujuanku ngajak kamu ke sini ya mau bahas itu. Soal siapa yang waktu itu nembak lewat telepon."

Mendadak Risa menelan ludah karena dilanda kegugupan.

"Bener, kalau itu suaramu tapi pakai nama & HP-nya Inara?"

Jika memang benar Risa-lah pelakunya, jelas Ilyas jadi bingung. Yang membuatnya terkesan waktu itu suara si penembak atau pemilik nama dan ponsel? Yang menghipnotisnya itu ucapan melalui ponsel, atau sosok Inara yang dia temui pagi itu?

Risa menundukkan kepala sembari mengetukkan jari telunjuk di atas paha yang dilapisi rok abu-abunya. Tak ketinggalan, kaki kirinya dia ketukkan ke area rerumputan taman, melampiaskan rasa gelisah. "Iya."

"Sial," umpat Ilyas. Dirinya seperti dipermainkan oleh sepasang sahabat yang salah satu di antara mereka sudah membuatnya nyaman.

Ilyas kembali mengingat-ingat perihal hari ketika seseorang meneleponnya, dan tanpa sengaja panggilan itu dia angkat. Tanpa tahu siapa yang menghubunginya, suara seorang gadis sudah masuk ke pendengarannya tanpa dia sela, mengingat lawan bicaranya itu mencerocos tanpa henti.

Setala GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang