16. Pacar Orang

400 85 15
                                    

Ada yang kangen Ilyas dan Inara yang uwu-uwu tapi minta ditendang itu, gak sih?

Kalo saya sih, jujur, lupa ada cerita ini yang ternyata belum tamat.

🍂🍂🍂

Suit-suit!

Siulan dari ponselnya membuat kegiatan Inara yang tengah mengenakan kerudung kini terhenti beberapa detik. Lalu cewek itu melanjutkan, sebab hanya tinggal memasang satu peniti di bagian bawah dagu. Begitu selesai, ia membaca isi pesan di ponsel ---yang kali saja penting.

Kak Ilyas

[assalamu'alaikum. selamat siang menjelang sore]

[Wa'alaikumsalam. Siang jelang sore juga]


[lagi apa?]

[Bernapas]

Bersamaan dengan terlihatnya dua tanda centang abu-abu, Inara sudah dipanggil oleh ibunya.

"Ya, kenapa, Bun?" tanya Inara sembari melongok melalui celah pintu kamarnya, sebelum tubuhnya ikut muncul mengikuti gerak kepalanya.

"Ada Revan di ruang tamu, nunggu kamu."

"Revan ngapain sih ke sini segala?" gumam Inara mulai tak nyaman.

"Sana temui dulu. Kali saja ada sesuatu yang penting."

"Iya, Bun." Inara akhirnya membuntuti ibunya sejauh belasan langkah, sebelum wanita dewasa di depannya itu menghilang di balik tembok dapur. Setelahnya, ia melanjutkan langkah menuju tempat Revan berada saat ini.

"Siang, Ra," sapa Revan sangat ramah.

"Siang juga. Ada apa?" tanya Inara antara malas dan kurang ramah dalam menyambut saat dirinya mulai duduk berhadapan dengan teman seangkatannya itu.

"Ehm." Revan berdeham dulu sebelum mengutarakan tujuannya mendatangi Inara kali ini. Cowok pemakai jaket hitam santai itu terus tersenyum, lalu mengelus punggung tangannya yang mendadak dingin. Dalam kondisi semacam itu, Revan tampak menawan kala menampilkan pipinya yang berlesung. "Aku mau ngajak kamu jalan. Nggak lama, kok. Mau?"

Sebelum menjawab, Inara menimbang-nimbang alasan apa yang mesti ia ucapkan untuk menolak ajakan Revan yang makin berani seperti ini. Karena cowok di depannya ini tak mungkin mundur hanya karena ia tolak. "Kayaknya nggak bisa, deh. Aku ada janji sama orang, mau ke ...." Ia berhenti untuk memastikan bahwa alasannya kali ini bisa Revan terima, syukur-syukur sekalian bikin Revan kapok mendekatinya. "Ke festival remaja Soleh Solehah," celetuknya mantap, meski sebenarnya tadi ia tak ada niat untuk ke sana.

"Hari ini?"

Inara langsung mengangguk. "Iya, hari ini. Aku aja udah rapi gini."

"Acaranya jam berapa?"

"Jam ...." Dirinya mengecek jarum jam dinding yang kebetulan bisa dilirik dari posisinya sekarang. "Ya ampun! Jam segini acaranya udah mulai! Orangnya pasti udah nungguin, nih," lanjutnya panik.

Melihat ada kebohongan pada ekspresi cewek di depannya, kedua mata Revan menyipit. "Emang janjian sama siapa?" tanyanya tanpa menghiraukan reaksi Inara barusan. "Bukan sama Risa, kan? Dia aja tadi bilang sendiri kalau nggak ada acara sama siapa pun."

Kali ini Inara menelan ludah. Sekaligus menyadari bahwa Revan tak mempan dengan penolakannya. "Van," panggilnya kemudian, sebelum mengembuskan napas berat. "Bisa nggak, kalau kamu nggak usah deketin aku lagi?"

"Nggak bisa. Emang kenapa, kalau aku deketin kamu? Lagian, aku dan kamu sama-sama nggak punya pacar. Jadi, sah-sah aja lah kita deketan. Nggak gangguin hubungan orang lain gini."

"Kamu salah, Van. Aku ...." Entah kenapa Inara sulit sekali mengatakan apa yang ada di dalam benaknya. "Selama ini aku udah punya pacar. Sori."

Bukannya terkejut, Revan malah tertawa keras. Dia makin yakin bahwa Inara memang tak punya bakat untuk berbohong sama sekali. Terlihat sangat amatir baginya. "Kamu bercanda, kalau ini. Ya ampun, Ra. Aku tahu kamu nggak punya pacar."

"Aku serius, Van. Aku udah punya pacar. Kalau kamu nggak percaya, tanya aja sama Risa."

Untuk pernyataan Inara yang terakhir, Revan hanya menanggapi dengan sikap diamnya. Mencari-cari celah yang bisa dia temukan untuk menyangkal perkataan Inara barusan. "Ra, jangan bercanda."

"Aku nggak bercanda. Aku telepon pacarku sekarang juga, kalau kamu masih belum percaya sama apa yang aku bilang." Sekarang Inara mengambil telepon genggamnya yang ada di kamar. Sebelum kembali ke tempat semula, Inara sempat mengganti nama kontak Ilyas. Nama, yang bahkan ia sendiri ngeri saat membacanya, lantaran lebih norak dari julukan yang Risa berikan untuk vokalis Tambal Band itu.

Sekembalinya Inara ke sekitar Revan, jari-jari cewek itu secara cepat mencari kontak seseorang, lantas hendak menyambungkan telepon.

"Coba aku lihat. Buat mastiiin kalau yang kamu hubungi itu bukan Risa."

Sempat menelan ludah sebentar, Inara kini memberanikan diri untuk menunjukkan nomor yang sudah siap panggil itu.

"My Lovely Future," baca Revan. "Masa Depan Kesayanganku?"

"Kenapa? Emang itu panggilan kesayanganku buat dia, kok." Untuk menutupi rasa aneh dan gugupnya, Inara memanggil nomor yang baru saja ia tunjukkan kepada Revan. Entah tersambung atau tidak, pokoknya ia perlu melakukan kegiatan selanjutnya agar Revan percaya bahwa ia adalah pacar orang.

Catat. Pa-car o-rang!

"Wa'alaikumsalam, Sayang. Lagi ngapain?" Inara tampak membiarkan lawan bicaranya menjawab pertanyaan darinya. "Oh, gitu? Terus, kita ketemuan di mana, nih? Di tempatnya langsung? Atau kamu jemput aku aja, sekalian kenalan sama ayah bundaku?"

Revan mengamati ekspresi Inara yang begitu penuh cinta saat menelepon pacarnya itu. Mesra, penuh perhatian, serta lemah lembut.

"Kamu lupa acara hari ini? Kita kan mau ke festival remaja soleh solehah, Yang. Kan kamu yang ngasih aku tiket masuknya. Gimana, sih?" Inara tak berbohong perihal tiket masuk ke festival. Ilyas memang memberinya secara cuma-cuma, meski sebelumnya harus ada drama.

Tanpa menunggu tanggapan apa pun dari seberang karena sedari tadi memang tak ada lawan bicaranya, Inara melanjutkan, "Eh, astaghfirullah. Aku yang lupa, Yang. Festivalnya besok, ding. Tuh, kan, gara-gara ingatnya sama kamu terus, aku sampai lupa ini hari apa. Risiko orang jatuh cinta, nih kayaknya." Inara tertawa-tawa geli sendiri, seolah di seberang sana ada yang ikut tertawa bersamanya. "Oh, iya, kamu udah makan atau belum, Sayang?"

Lagi-lagi, Inara menerka waktu yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan darinya.

"Belum makan? Ih, kamu kebiasaan, deh. Jangan gitulah, Sayang. Kamu harus makan, biar nggak sakit. Kan kalau kamu sakit, aku juga yang sedih. Kalau aku sedih padahal kamu lagi sakit, kan nggak ada yang bakalan hibur aku. Yang ada kan nantinya aku malah jadi ikutan sakit. Kalau kayak gitu, nggak ada soswit-soswitnya, dong. Masa, mau romantis-romantisan kayak pasangan yang lain aja mesti nunggu sakit berdua dulu? Makanya, makan yang teratur ya, Sayang."

Diam-diam Inara menahan diri untuk tidak mual saat mendengar suaranya sendiri. Dalam hati pun, ia bergumam, "Kamu dari tadi ngomong apaan, sih, Ra!?"

"Iya, Sayang. Aku bakalan makan secara teratur, kok. Tapi disuapin, ya, Sayang."

Meragukan pendengarannya sendiri, Inara mengecek layar ponselnya. Lalu, tubuhnya melemas seketika. Terpaksa menelan bulat-bulat perasaan malunya yang sembarangan memanggil Ilyas dengan sebutan "Sayang", lalu sok-sokan mengingatkan agar cowok itu makan secara teratur. Pikirnya, Ilyas sibuk latihan vokal atau apalah bersama bandnya. Tapi, nyatanya?

Jadi, dari tadi teleponnya betulan tersambung!?

***

Dikit aja, yak. Hihi.

Kalau saya jadi Inara, langsung minta surat pindah ke Saturnus.

Setala GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang