Sejak tadi, Ilyas tak tahu akan melakukan kegiatan apa setelah mencuci motor. Dia bosan berdiam diri, tetapi di sisi lain merasa capek juga jika tak melakukan apa pun. Maka tak mengherankan ketika terdengar dering dari telepon genggamnya langsung dia tanggapi.
Digapainya gawai berwarna dasar hitam itu sebelum menyentuh tombol hijau di layar, begitu mengetahui bahwa Inara yang melakukan panggilan. Tanpa berlama-lama, ditempelkanlah benda itu ke telinga kiri.
"Wa'alaikumsalam, Sayang. Lagi ngapain?"
Kedua belah alis Ilyas mendekat, heran mendapati suara sok manis dari Inara yang sekaligus membuatnya berulang kali mencerna maksud gadis itu.
"Oh, gitu? Terus, kita ketemuan di mana, nih? Di tempatnya langsung? Atau kamu jemput aku aja, sekalian kenalan sama ayah bundaku?"
Kali ini, kerut tercetak jelas di kening Ilyas. Otaknya berputar memikirkan pertanyaan-pertanyaan dari sana. Kini dia memastikan bahwa Inara memang benar-benar menghubunginya, tidak mungkin salah sambung.
Ketemuan? Dalam rangka apa? Di tempatnya langsung? Di mana? Jemput? Kenalan sama ayah dan bunda? Untuk apa?
Belum sempat Ilyas menjawab atau meminta penjelasan, dia sudah mendengar Inara mencerocos lagi.
"Kamu lupa acara hari ini? Kita kan mau ke festival remaja soleh solehah, Yang. Kan kamu yang ngasih aku tiket masuknya. Gimana, sih?"
Nah, kali ini Ilyas baru yakin bahwa Inara sedari tadi memang berbicara dengannya. Murni bukan salah sambung. Buktinya adalah pembahasan tiket remaja Soleh Solehah yang dia berikan secara cuma-cuma. Hanya saja, seperti biasa, Inara tak memberinya kesempatan untuk berbicara. Lagi, untuk kesekian kalinya pada sesi ini.
"Eh, astaghfirullah. Aku yang lupa, Yang. Festivalnya besok, ding. Tuh, kan, gara-gara ingatnya sama kamu terus, aku sampai lupa ini hari apa. Risiko orang jatuh cinta, nih kayaknya." Inara tertawa-tawa geli sendiri, terdengar sangat jelas di telinga Ilyas yang masih terus menyimak. "Oh, iya, kamu udah makan atau belum, Sayang?"
Kembali tak yakin dengan pendengarannya, Ilyas mengecek layar ponsel di tangannya. Nama kontak seseorang yang menghubunginya adalah Inara. Suaranya pun jelas-jelas suara Inara yang sudah mulai dia hafal. Hanya saja, Ilyas masih sangat asing dengan tingkah Inara kali ini. Berubah seratus delapan puluh derajat dari biasanya yang nyolot dan suka mengajak ribut itu. Apalagi sekarang Inara membawa-bawa cinta di antara obrolan mereka.
"Belum makan? Ih, kamu kebiasaan, deh. Jangan gitulah, Sayang. Kamu harus makan, biar nggak sakit. Kan kalau kamu sakit, aku juga yang sedih. Kalau aku sedih padahal kamu lagi sakit, kan nggak ada yang bakalan hibur aku. Yang ada kan nantinya aku malah jadi ikutan sakit. Kalau kayak gitu, nggak ada soswit-soswitnya, dong. Masa, mau romantis-romantisan kayak pasangan yang lain aja mesti nunggu sakit berdua dulu? Makanya, makan yang teratur ya, Sayang."
Apakah ini mimpi atau halusinasi?
Atau sekarang Inara sudah seratus persen yakin untuk mengakui perasaannya? Makanya cewek itu berusaha jujur padanya?
Jujur bahwa Inara punya stok perhatian kepadanya, yang tak lagi ditutupi dengan sikap ketus dan sok menolak status mereka.
Jika memang iya, Ilyas pikir, mungkin sudah saatnya hubungan mereka mengalami kemajuan. Keduanya tidak perlu lagi berdebat tidak penting mengenai siapa yang menyatakan cinta duluan. "Iya, Sayang. Aku bakalan makan secara teratur, kok. Tapi disuapin, ya, Sayang," jawabnya sambil tersenyum.
Sementara itu, Inara berhenti mencerocos panjang lebar seperti tadi. Rupanya cewek itu malah memutus sambungan telepon secara sepihak.
"Kok malah ditutup?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Setala Gema
Teen Fiction"Kalau mau minta wawancara khusus apalagi minta putus ...." Jeda sesaat. Ilyas tersenyum menatap lawan bicaranya. "Syaratnya, kita harus kencan seharian. Masa, selama jadian kita nggak pernah jalan? Padahal kamu yang nembak, biarpun kamu sering pura...