Ilyas.
Cowok ini masih menatap ayahnya lekat-lekat. Belum mengerti akan maksud perkataan ayahnya beberapa saat yang lalu. Namun, bisa saja ia hanya salah dengar. Tidak mungkin sang ayah memintanya untuk mengumandangkan azan di masjid.
"Bilang apa, Pa?" tanya cowok itu meminta penjelasan.
"Muazin masjid komplek kita sedang sakit. Jadi, Papa minta, kamu yang azan untuk beberapa waktu ke depan sebelum kamu kembali ke kos. Syukur-syukur sampai beliau sembuh." Pak Faqih mengulang pernyataannya kepada sang anak.
"Nggak deh, Pa," tolak Ilyas. "Ilyas masih capek," tambahnya, memperkuat alasan untuk menolak, mengingat baru tadi siang ia pulang tour bersama band-nya.
"Harus mau. Kan sama saja, antara menyanyi di panggung dan jadi muazin. Sama-sama megangnya mik. Masa biasa manggung di mana-mana, dari sekolah ke sekolah, lomba ke lomba, festival ke festival, diminta azan di masjid komplek sendiri malah menolak?" sindir ayahnya terang-terangan.
Kali ini Ilyas tak bisa mencegah mulutnya yang menganga lebar. Ia memang vokalis, tetapi kalau untuk mengumandangkan azan di masjid, nyalinya tak sebesar itu.
Menurut remaja laki-laki itu, jika suaranya mendadak sumbang saat berada di panggung, ia bisa tertolong oleh bisingnya musik pengiring. Sementara bila nanti suaranya sumbang saat mengumandangkan azan, dirinya hanya bisa pasrah.
Masih mending kalau hanya suara yang sumbang. Belum lagi kalau ia salah lafal. Harusnya mengucapkan takbir dan kalimat syahadat sebanyak dua kali, malah hanya satu kali. Atau justru kebablasan hingga tiga kali, kan repot!
"Kalau untuk itu, kamu bisa latihan. Masih ada waktu 15 menit sampai isya nanti." Ucapan Pak Faqih kali ini bernada final, dan tak bisa diganggu gugat.
Lima belas menit yang sudah berkurang sebanyak setengah menit ini, harus dimanfaatkan oleh Ilyas untuk latihan. Ayahnya bilang, kuncinya hanya konsentrasi. Makanya sekarang ia bergegas ke kamar, lalu menutup pintu rapat-rapat. Ia pun berharap bahwa semoga adik perempuannya yang tengil itu tak akan mengganggu, pada saat ia berlatih menjadi Bilal bin Rabbah masa depan.
Sementara itu, pada jarak kira-kira 600 meter dari rumah keluarga Pak Faqih, tampak seorang gadis tengah duduk sambil mengobrol melalui telepon genggam. Sesekali sosok itu tertawa, kadang pula mencibir lawan bicaranya di seberang. Seperti itu, yang terjadi semenjak sepuluh menit yang lalu hingga sepuluh menit setelahnya.
"Terus lo punya ide nggak, ntar kalau ngasih hukuman ke murid-murid baru yang ngelanggar aturan itu gimana? Yang antimainstream, tapi nggak kejam."
"Itu sih urusan panitia MOS. Aku maunya cuma ngurusin pendaftaran."
"Rese' lo! Sama sahabat sendiri gitu. Bantuin gue mikir, kek."
"Diem dulu, Kin. Di tempatku udah mau azan, nih. Aku hold bentar ya."
"Mulai sok alim, deh."
Ujaran cewek di seberang sudah tak digubris, sebab Inara mulai mendengar bacaan doa dari seseorang melalui pengeras suara masjid, hingga ia lupa memutus sambungan telepon untuk sementara. Hanya saja, itu bukan suara yang biasanya ia dengar. Dan benar, itu bukan suara Pak Hasan. Melainkan suara laki-laki yang tak dikenal.
Jantung Inara kini berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Permukaan kulitnya pun merinding. Suara yang sedang ia dengar secara saksama itu merdu. Benar-benar merdu. Lembut, meski masih sempat terdengar bergetar. Akan tetapi, itu sama sekali tak mengurangi keterhanyutan perasaan Inara yang serasa pergi ke dimensi lain.
Selepas suara itu berhenti, gadis itu justru masih membeku. Juga tak mendengar saat panggilan dari sahabatnya sudah berubah menjadi teriakan. Bukannya tak sadar, ia hanya memilih menengadahkan kedua tangan, berkomat-kamit membaca doa. Lalu ia mengusap wajahnya, begitu doa selesai ia panjatkan.
"Ra. Inara! Halo, Inara! LO MASIH DI SITU KAN, RA!?"
Merasa bahwa teriakan itu tak kunjung berhenti, barulah Inara tertarik untuk menanggapi. "Bisa lebih kenceng, nggak?" omelnya, namun tak ada tanggapan. Diperiksanya layar telepon genggam di tangan, memastikan sambungan. "Yaaah, udah ditutup."
Selanjutnya, Inara hanya angkat bahu. Jika begini, ia bisa mendengar salawat yang tengah dikumandangkan pula oleh muazin yang sedari tadi telah menyita perhatiannya. Dan coba saja rumahnya dekat dengan sumber bunyi di seberang sana. Sudah pasti ia akan berlari ke masjid untuk mendengarkan suara muazin itu dari dekat agar lebih jelas.
***
Halo!
Setelah nemu judul dan bikin cover, akhirnya bagian awal cerita ini saya publikasikan! Hayo, yang kemarinan minta dibikinin sekuel dari cerita Klop! mana komentarnya??
Sebetulnya, cerita ini udah pernah saya publikasikan. Tapi berhubung waktu itu macet ide, jadinya saya tarik lagi dari peredaran. Hahaha. Trus, lantaran ada mood nulis fiksi remaja lagi, ini saya coba bagikan ke kalian. Dan rencananya mau update rutin, mungkin seminggu sekali pada Sabtu malam. Semoga suka, yaaa.
Nggak mau terlalu banyak cuap-cuap nggak jelas, cukup sekian perkenalan singkat ini. Terima kasih sudah membaca, memberi dukungan, mengomentari, dan membagikan cerita ini. Sampai jumpa di bagian selanjutnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Setala Gema
Teen Fiction"Kalau mau minta wawancara khusus apalagi minta putus ...." Jeda sesaat. Ilyas tersenyum menatap lawan bicaranya. "Syaratnya, kita harus kencan seharian. Masa, selama jadian kita nggak pernah jalan? Padahal kamu yang nembak, biarpun kamu sering pura...