30. Meraba Rasa

234 27 6
                                    

Halooooooooo. Daripada saya dikurbankan saat idul adha karena karena jarang update, ini saya kasih sogokan 🤣🤣

Doain juga semoga makin ada banyak hari libur atau cuti bersama biar ada waktu lanjutin ini. Yaaa tapi ada banyak liburnya juga kalo sayanya lagi males ya nggak ada bedanya sih 🤣

Intronya udahan lah, daripada ntar lebih panjang daripada ceritanya.

.
.
.
.
.

Walau sempoyongan, Inara tetap memaksakan diri untuk bangun dari atas tempat tidur, setelah sekian waktu ia duduk untuk menyesuaikan diri. Kepalanya memang masih pusing, tetapi jika tak dipaksa untuk bangun, pikirnya, justru sakitnya akan berlarut-larut. Lagi pula, berbaring saja itu membosankan.

Segala benda yang sekiranya kokoh, terus ia jadikan pegangan agar tubuhnya seimbang. Meski butuh waktu lama untuk berjalan, setidaknya keadaannya sudah lebih baik daripada tadi malam.

Setibanya di kamar mandi, Inara mendadak bergidik dan agak gemetar ketika menyentuh air yang menurutnya sedingin es. Baru mau berwudhu saja ia kedinginan, bagaimana kalau ia nanti mandi?

Dalam pikiran yang maju mundur, gadis itu belum berani mengambil air wudhu. Padahal azan sudah mulai berkumandang, dan ia perlu melaksanakan salat subuh, setelah itu bersiap untuk berangkat sekolah.

Melihat sang putri yang sikap keras kepalanya sedang kambuh, Rara menggeleng pelan. "Bunda bilang juga apa, Kak? Tayamum saja, dan salatnya seperti saat salat isya tadi malam."

"Tapi ini aku udah mendingan, kok." Segera saja Inara memutar keran sehingga airnya memancar dan siap untuk digunakan. Cepat-cepat dirinya membasuh anggota tubuh untuk bersuci dari hadas kecil.

Sementara itu, Rara tak heran oleh pemandangan yang ada. Dirinya sudah paham betul watak gadis yang tengah membasuh telapak kaki itu. Lalu dengan sigap Rara menuntun putrinya yang baru selesai berwudhu. "Salat di kamar saja, biar setelahnya bisa tiduran lagi, ya, Kak."

"Kok tiduran, sih, Bun? Hari ini aku ikut paduan suara buat upacara bendera."

"Kamu banyak istirahat dulu sampai benar-benar sehat. Nanti biar bunda yang izin ke sekolah."

Entah Rara harus bersyukur atau heran menghadapi putrinya. Jika anak lain mungkin mencari-cari alasan untuk tidak masuk sekolah, Inara malah mencari-cari alasan agar bisa masuk sekolah meski keadaan sedang kurang sehat.

"Juga jangan puasa dulu, Kak. Nanti bunda buatkan sup."

Jika tidak diberitahu secara tegas, Inara mungkin akan tetap berpuasa, apalagi gadis itu sejak kemarin memang tak berselera untuk makan.

Lagi pula, salah satu alasan Rara menyarankan agar Inara berpuasa sunah pun untuk meredam emosi yang meledak-ledak, supaya gadis itu tak bertambah temperamental. Sementara itu, keadaan Inara saat ini tak memungkinkan untuk marah-marah, kan?

***

Pagi ini, Senin, pukul 06.58, Risa baru saja tiba di sekolah. Kedua mata cewek itu balut, seperti sehabis menangis semalaman. Makanya cewek itu memakai kacamata untuk menyamarkan bekas tangis itu agar tak disadari oleh para temannya.

Sebelum masuk ke kelasnya, Risa sempat memastikan keberadaan Inara. Hanya saja jika biasanya pagi-pagi sekali Inara sudah duduk manis bersama laptop atau buku, ternyata gadis itu tidak ada.

Di satu sisi, Risa lega karena sahabatnya itu tak muncul di hadapannya. Sedangkan di sini lain ia pun belum tahu bagaimana mesti bereaksi jika nantinya bertemu dengan Inara.

Pukul tujuh tepat, bel berbunyi. Risa segera mengeluarkan topi, merapikan dasi dan seragamnya, setelah itu menuju lapangan upacara. Hari ini dia ikut bertugas sebagai paduan suara.

Risa telah berdiri di barisan paling kiri, sekaligus barisan paling belakang sebelum barisan laki-laki. Tepat ketika dirijen menyiapkan barisan paduan suara, ia melihat saat Revan baru datang lalu lewat di sebelahnya. Tiada sapaan yang biasa ia peroleh dari cowok itu, meski dirinya yakin bahwa Revan menyadari keberadaanya.

Memilih untuk tak menghiraukan sikap Revan kepadanya, Risa menunduk untuk meredam rasa kecewa. Tetapi tetap saja, situasi semacam ini tak mudah dia hadapi.

Beruntung, hingga upacara bendera dimulai hingga selesai, batang hidung Inara tak tampak juga. Di satu sisi Risa merasa lega karena situasi tak menyenangkan ini tidak makin menjadi. Tetapi di sisi lain, itu artinya Inara belum sembuh dari sakit.

***

Saat hendak pulang setelah penanda bahwa jam sekolah selesai terdengar, Risa agak terkejut saat Ilyas sudah di depan gerbang sekolahnya.

Awalnya cewek itu tak mengenali sosok berhelm itu. Lalu ketika beberapa saat mengamati, akhirnya ia mengenali. Meski dirinya belum tahu apa tujuan cowok itu menunggunya.

"Ya dia nungguin Inara, lah. Biasanya juga gitu," batinnya menjelaskan keingintahuannya sendiri.

Kalau memang tujuan Ilyas ke sini untuk menjemput Inara seperti hari Sabtu lalu, Risa akan memberitahu bahwa Inara hari ini tidak masuk sekolah karena sakit. Jadi, cowok itu tak kecewa karena sosok yang dicari dan ditunggu tidak muncul-muncul juga.

Tetapi saat Risa telah mendekat dan bersiap untuk membuka suara, Ilyas malah bertanya, "Risa temannya Inara, ya?"

"Iya." Risa tak heran Ilyas tahu namanya, karena nyatanya tempo hari mereka memang sudah berkenalan. Walau Ilyas hanya menganggap angin lalu, ternyata ingatan cowok itu tajam juga. "Nunggu Inara?"

"Inara nggak masuk, kan?" Bukannya menjawab, Ilyas justru bertanya, lebih tepatnya memastikan.

"Kalau udah tahu, ngapain repot-repot ke sini?"

"Ada urusan sama kamu."

"Soal?"

Bukannya menjawab, Ilyas justru celingukan sebentar. Seperti memastikan situasi dan kondisi, sebelum akhirnya kembali menatap lawan bicaranya. "Lanjut ngobrol di tempat lain aja, gimana?"

Risa jadi ikut-ikutan celingukan, turut memastikan. "Di mana?"

"Ngikut aja, yang penting jangan di sini."

Risa mengangguk. "Di Taman Ancar aja, gimana? Yang dekat musola Al Amin. Deket juga dari sini."

"Ya udah, ayo." Ilyas mengode agar lawan bicaranya itu lekas naik motornya.

Sedangkan Risa justru menatap pacar dari sahabatnya itu ragu, sebelum memberi keputusan. "Aku hubungin sopirku dulu, biar jemputnya agak nanti aja."

Begitu pula Ilyas yang sepertinya ragu-ragu juga untuk menawarkan. "Nanti pulang aku antar, deh. Ayo."

Lah? Risa justru bingung. "Bentar, aku hubungin sopirku dulu." Lantas cewek itu mengambil ponsel di ransel, kemudian mengetikkan pesan singkat untuk sopirnya agar menjemput nanti saja kalau ia sudah mengabari.

Tetapi sebelum menutup aplikasi perpesanan, cewek itu mendapatkan satu pesan dari Ulul. "Cieee, yang lagi mau jalan berdua. Sukses ya, Kak," bacanya di dalam hati.

Bukannya lekas naik motor, setelah mengembalikan ponsel ke tempat semula, Risa justru celingukan, mencari sosok Ulul, yang sayangnya tak bisa dia temukan.

"Ayo." Ilyas yang sudah tak sabar untuk menyelesaikan satu problem ini, mengingatkan perihal keberadaannya.

Risa buru-buru naik. Berhubung akan berkendara jarak dekat, tak apa-apa lah, dirinya tak mengenakan helm.

Sementara itu, dari arah tempat parkir, Revan tampak mengamati keduanya dari belakang. Dia tentu mengenali si perempuan, juga sudah tak asing lagi dengan si laki-laki. Bahkan, dia sempat memotret dua remaja sepantarannya itu saat mereka tengah berbincang.

Bersambung....

.
.
.
.
.
.
.
.

Eeee, ini niatnya mau mengurai benang yang kusut. Tapi kalo ketahuan Revan, yang ada makin kusut.

Setala GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang