28. Trending Twitter

321 44 5
                                    

Rara heran mendapati putrinya yang mendadak jadi lebih pendiam. Begitu pula Drian yang langsung saja mengedikkan bahu, kala istrinya bertanya melalui tatapan mata.

"Mau cerita?" Rara akhirnya menawarkan diri untuk mendengarkan keluhan atau apa saja yang mengganjal pikiran putri sulungnya itu.

Ya, kali saja kencannya dengan sang suami tadi malam ternyata membuat Inara bosan dan jadi tidak enak hati pada pagi hari ini. Apalagi mereka pergi lumayan lama, sedangkan dirinya tak punya banyak waktu untuk bertanya pada saat itu juga karena sudah terlalu malam. Siapa tahu, kan?

Inara sempat menghela napas berat beberapa saat sebelum menatap ibunya. Piring di hadapannya sudah ia abaikan, meski sedari tadi pikirannya sedang tidak fokus. "Perlu istirahat lebih banyak aja kayaknya."

Rara tak bertanya lebih lanjut. Ia mendekati putrinya, setelah itu menempelkan punggung tangan kanannya di dahi si Sulung. "Agak hangat ini. Kamu kurang enak badan. Kamu merasa dingin?"

Inara hanya mengangguk membenarkan.

Setelahnya, Rara dan Drian saling tatap, berdiskusi melalui kontak mata. Lalu interaksi tanpa suara itu seketika terputus saat Drian mengedipkan mata kirinya, menggoda istrinya itu.

Sempat-sempatnya!

"Hari ini biar ayah dan Ilham saja yang jalan-jalan. Bunda menemani kamu di rumah, bagaimana?"

Bukan Inara yang bereaksi, melainkan Drian yang langsung menatap istrinya. Laki-laki itu merasa bahwa kesepakatan melalui kontak mata beberapa saat yang lalu tidak seperti ini. Aduh, istrinya ini kok masih suka pura-pura tidak peka, sih?

"Begini saja. Jalan-jalannya kita tunda dulu, kalau hari ini kamu kurang enak badan," putus Drian, menolak halus usulan sang istri, meski pandangannya tertuju kepada Inara.

"Eh, jangan gitu, Yah," tolak Inara sembari memandang ayahnya. "Kan udah janji sama Ilham. Biar aku aja yang nggak ikut."

"Yakin?"

"Yakin." Inara mengangguk mantap. "Kasihan Ilham kalau nggak jadi jalan. Aku di rumah sendiri nggak apa-apa."

"Sehabis ini Bunda gosok badan kamu pakai bawang merah, Ra, biar agak hangat."

***

Walau hanya tiduran sejak satu jam yang lalu, nyatanya rasa lelah tak luput Inara rasakan. Gadis itu pun merasa bahwa waktu berjalan begitu lambat sekaligus membosankan.

Dering ponsel membuyarkan kebosanan yang tengah Inara rasakan. Lantas tanpa perlu banyak berpikir, ia mengambil ponsel, melihat layar, kemudian menerima panggilan video yang ternyata dari Risa.

Sembari menunggu lawan bicaranya siap buka suara, Inara kembali tiduran dan melingkupi tubuhnya menggunakan selimut. Sebab, hanya duduk sebentar saja, kepalanya sudah pusing dan tubuhnya kembali menggigil.

"Lo sakit?" tanya Risa langsung, sesaat setelah wajah Inara menyembul di layar ponselnya. "Muka lo pucet banget," tambahnya.

"Masuk angin kayaknya." Gadis itu menggigit bibir bawahnya, teringat bahwa ia sengaja menerobos hujan sebelum Ilyas datang menjemputnya seperti janji cowok itu pada paginya.

"Halah, itu namanya kualat karena kemarin lo malah kabur dari Ilyas."

"Bukan kualat, Sa. Ya kamu bayangin, kemarin aku naik angkot yang rapet aja sekarang jadi masuk angin gini, apalagi kalau bareng Kak Ilyas. Mana motoran, kena angin, terus kehujanan juga. Apa nggak malah lebih parah?"

Risa tertawa saja mendengar pembelaan diri sahabatnya itu. Tetapi ia tertarik untuk menggoda manusia di seberang sana. "Eh, tapi kalau sama ayang beda, Ra. Hujan-hujanan tuh nggak bakalan kerasa dingin, soalnya kalah sama hangatnya interaksi yang ada."

Setala GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang