24. Tebusan Tujuh Tahun

472 60 12
                                    

Berhubung acara hari ini lancar dan waktu bisa digunakan untuk santai-santai, makanya lanjutan cerita ini saya lanjutkan. Terima kasih untuk yang setia menunggu.

Peringatan! Bagian ini banyakan adegan khusus Rara dan Drian yang mau numpang uwu-uwuan. Selamat membaca!

***

Kangen, yang

Pesan kiriman dari suaminya dua puluh menitan yang lalu itu membuat Rara tersenyum. Merasa aneh sekaligus geli, karena ia tak pernah melarang lelaki itu pulang untuk melepas rasa rindu, tetapi Drian mengetik demikian seolah-olah pria itu tak diperbolehkan pulang.

[Makanya pulang. Anak-anak juga kangen]

Selepas balasan pesannya bertanda dua centang biru, dering yang disertai pemberitahuan panggilan video langsung menyapa wanita itu. Merasa tak punya kegiatan yang mendesak, Rara menggeser tombol berwarna hijau, lalu mengucap salam.

"Wa'alaikumsalam. Ibunya anak-anak, nggak kangen juga?"

Tidak ada alasan bagi Rara untuk menahan tawa, ketika mengetahui bahwa suaminya rela repot-repot menelepon hanya untuk menanyakan hal sekonyol itu. "Kangen juga, kangen. Makanya pulang, nggak usah bertingkah seolah-olah aku melarang Mas pulang. Jarang pulang gini, kayak jarak bengkel ke rumah setara dari matahari ke bumi aja."

Kekehan keluar juga dari mulut Drian, ketika telinganya menangkap kekesalan istrinya lantaran akhir-akhir ini dirinya betah berada di bengkel sampai-sampai kerap menginap di sana. "Ya kan jarang pulang sebagai wujud tanggung jawab Mas ke keluarga kita, Sayang. Lagi pula memangnya mau dikasih apa kalau pulang?"

Walau mengerti ke mana arah pembicaraan suaminya, Rara tak ingin mengikuti isi pikiran pria itu. "Tadi siang sih bikin telur balado sama sup ayam. Masih ada sisa kayaknya. Aku kasih itu kalau Mas pulang."

"Kebiasaan."

Mau tak mau, Rara tertawa geli. "Apa?"

Di seberang sana, Drian ikutan tertawa. "Ya mana hilang kangennya kalau cuma dikasih itu."

"Oh, minta yang lain?"

"Jelas." Meski pancingannya mengenai sasaran, Drian ternyata tak ingin membahas lebih lanjut. Dia malah tertawa lagi. "Setelah magrib nanti Mas pulang. Nggak lupa kita punya janji mau jalan ke luar, kan?"

"Iya, ingat. Makanya nanti minta izin dulu ke anak-anak, boleh nggak ini bapaknya pinjam emaknya sebentar."

Di seberang sana, Drian menggeleng-geleng sambil tersenyum geli. "Sewaktu belum nikah, mesti minta izin dulu ke calon mertua. Sekarang, harus minta izin dulu ke anak-anak."

"Haha. Kalau minta izin ke anak-anak, harus ada sogokannya juga, malah."

Mendengar balasan dari Rara, Drian kembali tersenyum. Mengiyakan, sekaligus mengingat bahwa dirinya rela lembur selama dua minggu belakangan karena hendak 'menyogok' kedua anaknya. "Sampai ketemu nanti, Istri Tercinta. Love you."

"Iya, Suami Tercinta. Love you too."

Beberapa detik sebelum panggilan video diputus, Drian menggeleng-geleng, tak mengerti dengan perasaannya sendiri. Dia merasa seperti remaja tanggung yang baru saja mendengar pujaan hati membalas perasaan.

***

"Nggak boleeeeh! Ilham harus ikut!" Ilham merajuk, ketika ibunya meminta izin untuk pergi ke luar, sementara anak itu hendak ditinggal. Sudah dijelaskan bahwa sang kakak juga tidak ikut, nyatanya anak yang dua bulan lagi genap berusia delapan tahun itu tetap menarik tangan kanan ibunya agar tidak ditinggal.

Setala GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang