Warning! Ada umpatan-umpatan kasar di bagian ini! Mohon jangan dimasukkan ke hati, apalagi ditiru. Pokoknya jangan!
🍂🍂🍂
Sebagaimana kesepakatan kemarin sore, pagi ini Ilyas sudah tiba di depan bengkel Om Drian yang belum buka, hendak menunggu Inara. Dia tak mau memberi kesempatan kepada gadis itu untuk kabur, sebab, ada urusan rumah tangga yang mestinya mereka selesaikan berdua.
Selepas mematikan mesin motor, cowok itu celingukan sebentar, lantas turun dari atas kendaraan bermesin yang dia naiki. Dia menunggu, sembari beberapa kali mengecek waktu di arloji. Pukul enam lebih delapan menit.
Sembari menunggu, Ilyas menghirup udara yang belum terkontaminasi polusi pada pagi hari ini. Matanya memandang apa saja yang bisa dijangkau penglihatan, termasuk Om Drian yang tengah lari pagi. "Udah lari sampai mana aja, Om?" tanyanya, begitu lawan bicaranya itu tiba di hadapan.
"Cuma keliling bengkel saja, kok. Lumayan, keluar keringat."
Ilyas mengangguk mengerti. Hendak bertanya apakah Inara sudah berangkat duluan atau belum, tetapi urung dia lakukan. Lagi pula, laki-laki di depannya sudah pamit ingin melanjutkan kegiatan olahraganya.
Bersama kepala yang kembali celingukan, kini bibir Ilyas membentuk senyum ketika mengenali siapa yang datang. Dia melihat, di atas sebuah motor matic, Tante Rara memboncengkan Inara. Meski bagian tubuh atas Inara tertutup sweter putih, dia yakin bahwa gadis yang tengah ia tunggu itu mengenakan seragam Pramuka, sama sepertinya.
Sebuah motor berhenti di depan Ilyas. Cowok itu lekas-lekas menyalami ibu dari pacarnya, lantas mengutarakan apa yang sudah menjadi perjanjiannya dengan Inara kemarin.
"Iya, ayahnya Inara sudah bilang, kok." Rara menanggapi sambil tersenyum. "Tapi, memangnya tidak merepotkan kamu?" lanjutnya bertanya.
"Nggak, kok. Nggak sama sekali. Kan biar sekalian, Tante." Setelahnya, dapat Ilyas dengar ucapan terima kasih dari calon mertua perempuannya itu.
Kali ini pandangan Ilyas beralih ke arah Inara yang tengah berekspresi entah bingung, malu, sungkan, marah, gugup, atau apa, dia tak mengerti. Tetapi pada saat-saat seperti ini, dia bisa melihat banyaknya kemiripan Inara dengan Om Drian. Mulai dari mata, hidung, bibir, hingga bentuk wajah, membuktikan bahwa Inara adalah versi perempuan sang ayah ketika muda dulu. Yang membedakan hanyalah bentuk alis, sebab, bagian itu diwariskan dari sang ibu.
Ilyas memakai helmnya, kemudian memosisikan diri di atas motor. "Naik, Ra," tuturnya, tak ingin membuang waktu lebih lama.
Sempat menatap ibunya sebentar, Inara akhirnya mendekat ke motor Ilyas setelah mencium punggung tangan ibunya. "Bunda langsung pulang, ya. Ilham belum selesai siap-siapnya." Inara mengangguk, begitu suara ibunya itu terdengar.
"Dek Ilyas, titip Inara, ya. Sekali lagi, terima kasih."
Ilyas menoleh agar bisa memberi tanda siap melalui anggukan dan senyum. Setelahnya, pandangan cowok itu kembali ke depan. Dia menunggu sambil melirik gerak-gerik gadis di belakangnya melalui kaca spion. Lalu dia menoleh saat menyadari satu hal, kemudian mengambil benda di pijakan kakinya. "Helm, helm," katanya, menyerahkan benda di tangan.
Namun, Inara tak segera menerima barang yang disodorkan kepadanya. Sebab, ia sendiri merasa aneh. Reaksinya itu mengundang Ilyas untuk menyempatkan diri turun dari motor. Tanpa basa-basi apalagi banyak bicara, cowok itu memakaikan helm di kepala Inara yang berkerudung.
Untuk beberapa saat lamanya Inara tak paham dengan situasi dan perasaan yang melandanya, ketika wajah Ilyas hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya. Padahal cowok di depannya itu tengah serius memasang pengait helm, tak mengatakan apa-apa, tak melakukan hal lebih pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setala Gema
Teen Fiction"Kalau mau minta wawancara khusus apalagi minta putus ...." Jeda sesaat. Ilyas tersenyum menatap lawan bicaranya. "Syaratnya, kita harus kencan seharian. Masa, selama jadian kita nggak pernah jalan? Padahal kamu yang nembak, biarpun kamu sering pura...