15. Lamaran

505 94 2
                                    

Alhamdulillah bisa update lagi, setelah sekian lama nggak ada kesempatan lanjutin cerita ini. Ternyata udah sebulan lebih loh saya gak lanjut. Wkwk. Maaf, atas sebulan lebih yg tak menyenangkan ini.

Tapi kenapa judul sub-babnya Lamaran? Iya, Inara yang lamaran. Wkwk

Selamat membaca!

<( ̄︶ ̄)><( ̄︶ ̄)><( ̄︶ ̄)>

Rumah keluarga kecil Drian masih begitu ramai pada pukul setengah sembilan malam ini. Suasananya yang terbangun memang nyaman sekali untuk manja-manjaan dengan keluarga.

Ilham tampak tengah menginjak-injak punggung sang ayah untuk memulihkan tenaga dari lelaki di bawahnya. Dia mesti menjaga keseimbangannya agar tak oleng meski diganggu oleh sang kakak.

Inara kini membisiki Ilham sesuatu. Lalu adiknya yang berusia 8 tahun itu mengangguk setuju seraya menahan diri untuk tidak cekikikan setelah mendengarkan ide darinya.

"Kok berhenti, Ham?" tanya Drian heran.

"Sebentar, Yah, aku turun sebentar, terus naik lagi," jawab Ilham sebelum menutup mulutnya agar tak tertawa.

Akan tetapi, kali ini bukan kaki Ilham yang naik, melainkan Inara yang berdiri sambil bersiap-siap untuk menginjakkan kaki kanannya di punggung sang ayah. Namun, belum sempat misinya berhasil, tubuh ayahnya telah berbalik.

"Hayo, kamu mau ngapain?"

Pecahlah tawa Ilham, yang kemudian diikuti oleh tawa Inara.

Rara geleng-geleng ketika melihat interaksi suami beserta anak-anak mereka yang tak bisa diam begitu jika sudah berkumpul. Namun, setelahnya ia tetap tersenyum juga. Terlebih, ketika dirinya melihat bahwa Ilham tengah menginjak-injakkan kaki di punggung kokoh ayahnya untuk memberi tenaga lagi, menjadi pemandangan yang tak bisa diabaikan keberadaannya.

"Kak Na jangan gelitikin!" teriak Ilham sambil berkelit, saat Inara mulai jail lagi terhadapnya.

Sementara Drian meringis karena gerakan Ilham makin tak keruan, dan sudah tentu tekanan dari kaki anak laki-lakinya itu jadi berkali lipat lebih kuat. Dagunya sampai harus terantuk lantai yang menjadi alas tengkurapnya. Dadanya tak luput mendapatkan tekanan kuat, hingga beberapa kali suara, "Hekkk," terdengar samar dari mulutnya. Bahkan, untuk bersuara saja dia sudah kesulitan.

"Sudah, Ham, sudah." Ketika berujar demikian secara susah payah, napas Drian terdengar ngos-ngosan. "Ini yang ada punggung Ayah jadi tambah sakit, kalau kamu begitu."

"Kak Na, Yah."

"Iya maaf, Yah. Aku janji nggak jailin Ilham lagi." Namun, jari Inara menggelitik perut Ilham untuk kesekian kalinya pada malam hari ini.

"Inara, jangan tunggu adikmu menangis dulu baru berhenti mengganggu," tegur Drian kemudian. Lalu dia tengkurap kembali. "Ayo naik lagi, Ham," lanjutnya, dan langsung disanggupi.

Kaki Ilham bergerak ke kiri dan kanan secara teratur. Sedangkan kedua telapak tangannya menempel ke dinding untuk mendapatkan keseimbangan tubuh. Sementara di belakangnya, ada Inara yang setia menjadi penonton.

"Kan kalau aku yang nginjak-nginjak punggung Ayah, sama aja. Malah lebih mantap injakanku daripada Ilham. Aku nginjaknya pasti sekuat tenaga dan sepenuh hati."

Sambil menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan yang diberikan oleh kaki Ilham, Drian tetap menjawab, "Ya beda, Ra. Badanmu itu lho, sudah besar. Yang ada badan Ayah jadi remuk kalau kamu yang menginjak-injak." Kali ini servis dari anaknya terasa lebih menjanjikan. "Terus, Ham, ke bawah lagi."

Setala GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang