25. Jatuh Suka

377 67 6
                                    

Inara tak mengerti kenapa ia bisa berada di depan sebuah rumah. Ia kini tengah menimbang-nimbang keputusan akan tetap membuntuti adiknya yang sudah masuk atau tidak.

Memilih menunggu adiknya keluar ---yang entah kapan waktunya--- Inara duduk di tepian jalan. Hingga tiba-tiba suara dari belakang sudah mengagetkannya.

"Masuk aja, daripada bengong di sini."

Bukannya menurut, Inara justru menatap Ilyas curiga. Kini ia bisa menarik benang merah tentang hubungan antara anak laki-laki bernama Ibra, Ilyas, dan rumah yang kini menyita perhatiannya. "Nggak, deh. Aku nunggu di sini aja."

"Oke." Ilyas begitu saja meninggalkan Inara.

Saat Inara tengah menggeleng-geleng sambil sesekali menepuk nyamuk-nyamuk yang beterbangan di sekitarnya, seseorang menyerahkan satu sachet losion anti nyamuk serta satu kantong kresek yang entah apa isinya, kepadanya. Di bawah pencahayaan dari area rumah Ilyas, gadis itu menerima apa yang disodorkan padanya.

"Di sini banyak nyamuk, emang," terang Ilyas tanpa diminta. "Dimakan aja," ujarnya kemudian, saat melihat Inara mengecek isi kantong kresek yang baru saja diterima.

"Nyamuknya?"

"Satenya, lah, yang dimakan." Saat menyadari maksud gadis di sebelahnya, Ilyas tertawa. "Nyamuknya mau dimakan sekalian juga nggak apa-apa, sih."

Mau tak mau, Inara ikut tertawa menyadari kekonyolannya sendiri. "Nggak minta ganti beneran nih, buat satenya?"

Ilyas yang masih memperhatikan sisa-sisa tawa Inara, jelas saja tersenyum saat cewek di depannya itu bersikap sangat manis di matanya. "Beneran. Rezeki anak solehah itu."

"Makasih."

"Sama-sama. Dimakan gih, mumpung masih anget."

"Bentar, mau pakai ini dulu." Inara lebih memilih mengambil losion anti nyamuk untuk ia pakai.

Dari posisi duduknya di sebelah Inara, Ilyas tetap mengamati gerak-gerik gadis itu. Bagaimana Inara menyobek bungkus, mengeluarkan losion, lalu mengoleskan benda cair itu di area-area yang butuh perlindungan dari jailnya nyamuk, itu terasa sangat menakjubkan.

***

"Aku anak ketiga dari lima bersaudara. Kakak pertama udah kerja dan rencananya tahun ini mau nikah, kakak kedua lagi kuliah semester tujuh. Adikku, yang anak keempat kelas satu SMA, dan adik terakhirku yang lagi main truk oleng bareng calon iparnya."

Mendengar akhir ucapan Ilyas, Inara mendelik. Tidak terima dengan frasa 'calon ipar'. Karena ia dan Ilyas cuma pacaran aneh-anehan, kan?

"Itu satu ibu dan satu bapak?" tanya Inara meminta penjelasan.

"Nggak, sih. Anak pertama dan kedua itu anaknya Papa sama istri pertamanya."

"Eh, istri pertama? Emang ini ada unsur poligami?"

"Yaaa, bisa dibilang gitu. Itu pun atas izin istri pertama papa yang waktu itu emang lagi sakit. Kebetulan juga, istri pertama papa itu masih saudara gitu sama mama. Selama ini mama juga yang bantu ngurus kakak pertama dan kedua. Jadi, meskipun usia papa dan mama terpaut jauh, mereka nikah deh."

"Emang beda berapa tahun?"

"Ada kali 12 tahun."

"Jauh juga, ya. Terus, terus?" tagih Inara tak sabar akan kelanjutan cerita dari cowok di sebelahnya.

"Papa sama mama nikah belum ada setahun, istri pertama papa meninggal dunia."

"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."

Setala GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang