3. Arahan Pertama

846 138 50
                                    

Sedari menyelesaikan buang air kecil kemudian kembali ke tempat semula, Inara dibuat heran oleh tingkah Risa yang mendadak aneh. Sahabatnya itu tiba-tiba menyengir tanpa alasan yang jelas, senyumnya pun tampak mencurigakan. Terlalu ganjil untuk disebut sebagai bagian dari sedekah.

"Kamu kenapa, sih? Sakit?" tanya Inara, melampiaskan rasa heran yang makin tak bisa ia tahan lama-lama. "Apa ada yang aneh sama mukaku?"

"Nggak ada." Lagi-lagi Risa nyengir. Sikap tersebut kian membuat Inara curiga, walau ponsel sudah ia serahkan kepada pemilik aslinya.

"Hapeku nggak kamu apa-apain, kan?" tanya Inara lagi, seraya menerima sodoran ponsel. Setelah itu, ia menggeser-geser layarnya. Memastikan bahwa Risa tak berbuat yang aneh-aneh untuk mengerjainya.

Namun, mulut Risa yang hampir terbuka, sontak tertutup lagi. Lalu cewek itu memasang cengiran untuk yang sekian kali. Meyakinkan lawan bicaranya bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan ataupun dicurigai sejauh itu. "Ng-nggak, lah. Ada-ada aja lo." Cewek itu tersenyum sumbang, menertawakan ekspresi penuh kesangsian milik Inara. "Kurang kerjaan kali ah, kalau gue ngapa-ngapain hape lo. Kayak gue nggak punya hape aja. Lagian hape gue lebih bagus, kan? Hahahaha." Lagi-lagi Risa tertawa sumbang ketika memungkasi kalimat-kalimat penjelasannya yang lebih banyak daripada yang Inara butuhkan.

Walau masih menatap heran pada Risa, pada akhirnya Inara hanya mengangkat bahu. Kali ini ia percaya pada Risa. Lagi pula, temannya itu sudah aneh sejak dulu. Jadi, bukan hal baru baginya jika sikap Risa mendadak tidak bisa dinalar.

"Barusan sewaktu pipis, aku dapat ide ...." Belum juga Inara menyelesaikan kalimatnya, suara Risa sudah terdengar.

"Ya ampun, Ra. Nggak ada tempat yang lebih elit buat nyari ide, apa!? Kenapa harus di WC banget, coba!?"

Untuk beberapa detik lamanya Inara hanya memandang Risa, aneh. "Makanya kalau ada orang ngomong tuh dengerin dulu, jangan main potong sembarangan. Udah nggak sopan, ngegas lagi."

"Lagian lo tuh ada-ada aja, nyari ide di WC."

Inara memutar kedua bola matanya. Sebal. "Ya udah deh, nggak jadi aku kasih tahu idenya apaan."

"Yaaah, yaaah. Jangan ngambek dong, Ra. Gue minta maaf, deh. Itu kan cuma reflek gue yang nggak nyangka lo bisa dapet ide secepet ini. Maafin, ya." Risa menjawil dagu Inara, yang langsung dibalas pelototan. "Inara cantik, deh."

"Kalau masih mau sok genit gini, aku pulang nih!"

"Iya, iya. Galak banget, sih, Ra. Gue kan tadi cuma bercanda."

Mendengar pembelaan Risa itu, Inara hampir bangkit dari posisi duduknya. Hendak pulang betulan, andai Risa tak lekas menarik lengannya.

"Iya, Ra. Iya, ini gue dengerin apa aja yang mau lo omongin." Kemudian Risa menggumam perihal sikap Inara yang sensitif itu. Dugaannya, Inara tengah mengalami fase menjelang menstruasi.

Setelah meredam kejengkelan tanpa sebab yang bisa ia mengerti, Inara duduk lagi. Kemudian cewek itu membuka tutup stoples, lalu mengambil sejumput kuaci. "Kemarin kan kamu minta pendapat soal hukuman yang nggak kejam buat anak MOS. Nah, aku jadi inget bundaku pernah bilang kalau hukuman buat para pelanggar aturan di SMA bunda dulu tuh disuruh wudu atau baca Qur'an. Kadang baca salawat. Jadi, aku pikir, kita bisa pakai itu buat opsi."

"Emang bunda lo dulu sekolah di mana, Ra? Kok hukumannya islami gitu?"

"Oh, bundaku sekolah di SMA Taas."

"SMA Taas yang di lingkungan pesantren itu?"

"Yoi."

"Pantesan." Risa mengangguk-angguk. Ia menunggu Inara melanjutkan penjelasan, namun lawan bicaranya itu malah asyik makan kuaci. "Selain wudu sama baca Qur'an, ada pilihan lain? Kan di sekolah kita pastinya nggak cuma muslim dan muslimah, Ra."

Setala GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang