32. Sadar Rasa

155 19 11
                                    

Setengah jam yang lalu....

"Maksudmu nembak cowok pakai nomor HP dan nama orang lain itu apa?" Ilyas benar-benar tak habis pikir akan apa yang ada di benak cewek di depannya itu saat memutuskan untuk 'menyatakan cinta' padanya namun dengan cara yang keliru dan akhir cerita yang membingungkan seperti ini.

"Gue pikir lo bakalan nganggap itu angin lalu kayak sebelum-sebelumnya. Gue nggak tahu lah kalau ternyata tanggapannya beda."

Mendengar Risa yang menggunakan 'lo-gue', Ilyas jadi ketrigger juga.

"Yang jadi masalah bukan soal pernyataan suka lo itu, tapi kenapa harus banget pinjam nomor dan nama orang lain? Pengecut tahu, nggak!?"

Tampak Risa menggigit bibir bawahnya, melampiaskan rasa bingung mengapa secara spontan ia melakukan hal tersebut pada waktu itu.

Tak kunjung mendapatkan jawaban dari cewek itu, Ilyas menyandarkan tangan di besi ayunan yang sedari tadi berada di dekatnya. "Sekarang gini, deh." Jari-jarinya mengetuk-ngetuk tiang besi itu hingga terdengar bunyi. "Coba, bisa nggak, jelasin siapa cewek yang sebenernya gue suka? Inara atau Risa yang ngaku sebagai Inara?"

Kali ini dahi Risa mengernyit. Kenapa pula namanya harus dibawa-bawa? "Maksud lo?"

"Nah ini nih!" Ilyas nyaris hilang kesabaran. Berurusan dengan cewek memang menguji iman. "Inara tahu kalau ternyata lo yang bilang suka biarpun pakai nama dia, makanya dia jadi nanyain soal ini."

Dirinya yakin bahwa sebenarnya dia suka pada Inara yang intens berkomunikasi dengannya, tapi di sisi lain, pemantik kesukaannya tersebut adalah ucapan cewek di telepon itu. Yang artinya, awalnya dia suka pada ... Risa?

"Loh, gue kira malah ...."

"Apa!?" Makin tak bisa menahan sabar, Ilyas otomatis ngegas.

Risa yang ragu, tengah menata kata-kata yang pas. Dia tak mau kegeeran juga kalau ternyata dirinya, Inara, Revan, dan Ilyas sedang berkubang dalam cinta belah ketupat.

"Lo kenapa bisa suka sama Inara?" tanya Risa akhirnya.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Ilyas mendadak gelagapan. Cowok itu malah memijat pelipisnya yang mendadak pening. Sulit menjelaskan mengapa perasaan nyaman itu tiba-tiba muncul sejak dirinya 'ditembak'. Kenapa, ya?

"Mungkin karena kami sering ketemu?" Ilyas menjawab, seperti kepada dirinya sendiri. Lebih tepatnya, memastikan bahwa alasannya masuk akal dan bisa diterima nalarnya yang mulai luntur. "Tapi, sebelum kami ketemu tiba-tiba udah main yakin aja, sih."

"Kalau gue boleh tahu, apa yang bikin lo yakin?"

"Kata-katanya bikin berkesan?" Lagi-lagi Ilyas menjawab dengan nada bertanya, karena dia juga bingung. "Nembaknya beda sendiri."

Diam-diam Risa mengembuskan napas lega. "Jadi, yang bikin lo suka itu cara nembaknya, ya?"

"Mungkin." Menyadari hal yang janggal, Ilyas lalu mengalihkan pandangan ke samping sembari menggumam, "Ngapain juga ni mulut cerita beginian ke orang yang baru dikenal."

"Jadi, udah jelas sekarang. Lo 100% suka sama Inara."

Pandangan Ilyas tertuju kepada Risa. "Kok bisa?"

"Lah, emangnya Inara belum cerita kalau dia pernah nembak lo pakai surat? Kalau soal gue yang nembak di telepon itu, isinya 98% kayak yang di suratnya Inara. Alih media doang gue mah."

Entah Ilyas harus senang atau bagaimana, tetapi ada perasaan lega setelah mendengar fakta barusan. Itu artinya, perasaannya bersambut? Malah, Inara yang suka duluan? Berarti tuduhannya selama ini memang benar, bahwa Inara yang menembak duluan.

"Emangnya kapan dia ngirim surat?"

"Setahunan ada kali, dulu gue titipin ke adek lo. Soalnya kalo ke elo langsung, dianya waktu itu sama sibuknya kek elo. Tapi surat dia dibales sama lo juga enggak. Makanya Inara males banget tiap kali liat muka lo. Udah nggak mau berurusan sama cowok yang gantungin perasaan dia."

Ilyas tak percaya. Apa iya, saking kecewanya karena perasaan digantung selama satu tahun itulah yang membuat Inara selalu bersikap ketus padanya saat awal-awal jadian?

Kalau memang iya ada surat dari Inara, di mana surat itu sekarang? Mungkinkah berada di tumpukan surat-surat lain yang diterimanya? Tapi seingatnya, dia tak pernah menerima surat atau apa pun melalui adiknya.

"Begitu tahu kalian jadian, gue lega sih. Akhirnya setelah Inara nunggu setahun tanpa ada balesan, lo dengan gentle dateng ke dia langsung dan bales perasaan dia. Gue nggak ada kepikiran kalo lo dateng ke dia justru karena gue yang nelepon pake nomer & nama dia," jelas Risa.

Jika dirunut kembali, Inara seperti kebingungan saat Ilyas menyatakan bahwa dirinya bersedia menjadi pacar gadis itu. Lalu ketika menyadari bahwa seseorang yang membuat Ilyas terkesan adalah suara cewek dari telepon yang tanpa sengaja Ilyas rekam, Inara seperti ... kecewa?

"Kalo Inara nanyain soal perasaan lo yang udah jelas-jelas suka sama dia, berarti dia salah paham doang itu."

Meski fakta-fakta yang disajikan sudah seterang itu, nyatanya Ilyas masih ragu kalau Inara akan percaya bahwa mereka punya perasaan yang sama.

"Tapi perasaan lo sendiri ke gue, gimana?" tanya Ilyas yang tak mau dirinya diperebutkan oleh dua cewek yang bersahabat karib.

"Gue?" Risa menunjuk dirinya sendiri. "Gue mah udah punya gebetan, jauh sebelum Inara naksir sama lo."

"Syukur, deh." Bukan tanpa alasan Ilyas lega. Karena dia jadi tak perlu khawatir Risa akan mengarang bebas agar hubungannya dengan Inara berakhir. Hanya saja, untuk menjelaskan kepada Inara, menjadi bagian tersulit bagi Ilyas, mengingat bagaimana sifat gadis itu. "Kalau gitu lo mau, kan, jelasin ke Inara soal semuanya?"

"Beres itu!"

Selanjutnya, mereka bersepakat untuk bersama-sama menjenguk Inara. Jika memungkinkan, sekalian untuk memberi penjelasan. Setelah mendapatkan buah tangan untuk dibawa berkunjung, keduanya melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan.

Saat laju kendaraan yang ditumpanginya memelan sebelum akhirnya berhenti, Risa memandang motor yang sangat familiar baginya tengah terparkir manis di depan rumah sahabatnya. Dia tak mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pemilik motor itu di rumah ini, karena ia sudah hafal dengan semuanya.

Begitu turun dari motor dan mendekati pintu, Risa tak langsung mengetuk pintu di depannya. Dia justru menunggu Ilyas yang masih memarkirkan motor. Tanpa sengaja, dirinya mendengar obrolan sepasang remaja di dalam rumah.

"Ketiga, yang suka sama kamu itu Risa. Biarpun gitu, dia bukannya ngejar kamu, tapi malah nyomblangin kamu sama aku. Keempat, justru perasaan kamu ke Risa itu sama kayak perasaan Risa ke kamu. Tapi kamunya aja yang denial."

Deg. Risa berdebar ketika suara Inara terdengar begitu jelas dan terang kepada lawan bicaranya.

"Aku nggak ada perasaan apa-apa ke Risa. Suka sama Risa?" Revan menggeleng-geleng, menepis dugaan Inara bahwa dirinya menyukai Risa secara tidak sadar.

Selama ini Risa tak pernah mendengar penolakan semacam itu dari Revan. Ia pikir, ia ada harapan. Tetapi, kali ini berbeda. Sebab, Revan berkata sejelas itu, memupuskan harapan yang sudah sekian lama Risa pupuk.

Beberapa saat, suara-suara itu tak terdengar. Tanpa permisi juga aba-aba, Ilyas mengetuk pintu begitu saja.

"Assalamualaikum," ucap Ilyas tanpa mempertimbangkan apalagi memikirkan reaksi dari cewek yang berdiri di sebelahnya. Lalu dia berdecak. "Ck. Cowok ini lagi," lanjutnya bergumam.

Risa sendiri hanya meringis saat Inara dan Revan menoleh lalu menatap ke arah kedatangannya.

Bersambung.

Iya, maap ya para juragan semua. Saya sibuk panen duku soalnya. Wkwkwk

Setala GemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang