Setibanya di halaman rumah, Inara sudah tak kaget dengan situasi yang sepi, kosong bagai tak berpenghuni. Bukan hal baru pula baginya, mengingat kedua orangtuanya sama-sama bekerja.
Terkadang, dalam keadaan begini, Inara sering teringat dengan cerita para temannya yang saban hari ditinggal bekerja oleh kedua orangtua sehingga mereka kekurangan kasih sayang. Bagi teman-temannya, itu sudah cukup untuk dijadikan sebagai alasan untuk bertindak sesuka hati, sebagaimana orangtua mereka yang tak pernah memperhatikan tumbuh kembang sang anak.
"Kalaupun gue jadi anak nakal, ya orang-orang tuh harusnya jangan semata-mata nyalahin gue. Salahin tuh ortu yang sibuk kerja sampai ngelupain tanggung jawab buat ngasih kasih sayang ke gue. Dalam hal ini aja, orang-orang mestinya tahu kalau ortu gue udah gagal mendidik anaknya. Tapi lo tahu apa sih, soal anak yang tiap hari ditinggal kerja kayak gue? Hidup lo itu kan enak banget, Ra, pasti mana ngerti perasaan gue. Kalau lo ada di posisi gue sekarang, gue nggak yakin lo masih kuat jadi anak baik-baik sampai detik ini."
Beruntung, waktu itu Inara hanya mendengarkan, lantaran sejak awal dirinya dan salah satu siswa bermasalah itu sudah sepakat bahwa Inara hanya akan menyimak sebaik-baiknya. Lagi pun, ini memang demi kepentingan pribadi Inara ketika hendak membuat salah satu contoh laporan agar disetujui oleh ayah dan ibunya untuk ikut tim jurnalistik sekolah. Bahkan, ia mesti mengabaikan kenyataan bahwa sosok yang menjadi narasumber pertamanya adalah siswi yang dulu pernah merundungnya.
Mau tak mau, setiap kali mengingat pernyataan dari salah satu temannya itu, Inara selalu ingin berbisik kepada siapa pun yang senasib dengannya, namun sembarangan saja melabelinya dengan 'hidup sempurna ala dongeng'. "Kata pepatah Jawa, urip pancen sawang-sinawang."
Tak membuang banyak waktu, Inara mencari kunci duplikasi untuk membuka pintu rumah. Lantas ia mengucapkan salam, walau tahu tak ada yang akan membalas.
Terbiasa ditinggal sendiri, membuat gadis itu lebih mandiri. Terbiasa hidup begini, membuatnya terlatih untuk mencari berbagai kegiatan dalam upaya mengisi sepi. Satu hal yang patut disyukuri, terbiasa hidup dalam sunyi membuatnya terbiasa terawasi, walau secara kasatmata justru luput dari pengawasan.
Meski pada kenyataannya, lagi-lagi, banyak di antara para teman Inara yang menganggap bahwa hidup gadis itu terlalu lurus: membosankan, menjemukan, dan kurang menantang karena Inara tak pernah menunjukkan gejolak apa pun dalam dirinya. Gadis itu dinilai terlampau nerimo pada aturan yang dibuat oleh orangtua. Padahal dengan kondisi yang ada, sangat memungkinkan baginya untuk berbuat melenceng, mengingat pengawasan yang ia dapat sangatlah minim.
"Kalau aku sih sadar diri aja, Sa. Aku nggak terlahir dari rahim orang bergelimang harta, meski bisa dibilang, hidupku ini berkecukupan. Sedangkan untuk jadi anak nakal, aku perlu punya banyak modal. Minimal aku harus punya banyak uang dulu biar bisa sukses jadi biang onar. Biar kalau aku berulah, anak-anak bisa bilang, 'Maklum, horang kaya emang gitu, suka seenaknya.' Atau kalau nggak, ortuku harus jadi orang berpengaruh dulu, biar kalau aku berurusan sama polisi, jabatan ortuku bisa jadi jaminan yang meyakinkan." Begitu menyelesaikan penjelasannya kepada Risa perihal alasan sikapnya yang dicap terlalu lurus, Inara tertawa geli.
"Lo kalau nyindir suka nggak kira-kira," sergah Risa, mengerti ke mana arah pembicaraan Inara.
Inara makin bebas tertawa geli, apalagi melihat ekspresi kesal Risa saat ini. Memang tak ada yang perlu ditutup-tutupi. Latar belakang keluarganya dan Risa saja sudah berbeda, dan sudah tentu motif tindakan keduanya didasari oleh hal yang tak serupa pula.
Risa, berangkat dan pulang sekolah dengan sopir pribadi, mengingat sahabatnya itu merupakan anak dari pengusaha garmen yang sukses sekaligus cucu pejabat. Sedangkan Inara sendiri, hanya sesekali diantar maupun dijemput oleh ayah atau ibunya. Itu pun jika situasi dan kondisi benar-benar mendesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setala Gema
Teen Fiction"Kalau mau minta wawancara khusus apalagi minta putus ...." Jeda sesaat. Ilyas tersenyum menatap lawan bicaranya. "Syaratnya, kita harus kencan seharian. Masa, selama jadian kita nggak pernah jalan? Padahal kamu yang nembak, biarpun kamu sering pura...