Part 26

21.5K 2.6K 135
                                    

⚠️ Kata-kata kasar.

Abian fokus menatap komputer, dengan kaca mata yang bertengger di hidungnya. Sesekali laki-laki itu menghela napas lalu membuangnya perlahan, tidak mempedulikan apa yang ada di sekitarnya, termasuk Aryan.

"Lo dari tadi denger gue gak sih, Bi?!" Aryan nampaknya sudah jengkel. Bagaimana tidak, laki-laki itu sedari tadi mengajak Abian berbicara, tetapi Abian sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari komputer.

Abian masih nampak tak peduli. Sebenarnya, ia tidak terlalu sibuk. Namun, rasanya malas meladeni Aryan sekarang.

"Gue serius, Bi! Ini bakal ngaruh ke lo juga!" Aryan memekik. Kini, Abian menghela napas kasar. Laki-laki itu menarik kaca matanya kasar lalu menatap Aryan tajam.

"Gue lagi kerja, Yan! Bisa gak, lo gak ganggu gue?" Abian bertanya dengan kesal. "Lagian ngapain lo di sini?! Kemarin aja lo sok-sokan marah ke gue!"

Aryan berdecak. "Sebenarnya, ya. Gue tuh udah marah banget sama lo. Habis kesabaran gue sebagai temen lo! Tapi ayolah, lo itu bukan anak kecil lagi, Bi. Lo udah nikah, udah dua puluh tujuh tahun," balasnya, "gue dari tadi cuma minta lo berhenti tolongin adiknya Yasa itu! Ini buat kebaikan lo juga."

"Gue harus gimana?! Abain Yara gitu? Dia itu butuh orang yang bantu dia, Yan. Dia butuh gue dan bantuan gue, emang lo tega biarin anak lima belas tahun yang punya penyakit gagal ginjal? Apalagi dia gak punya siapa-siapa." Abian masih menatap Aryan.

"Dia punya orang yang bantu dia sebelum dia minta bantuan lo, kan? Ada pembantu di rumah Yasa, dan gue tau dia masih ada di sana buat jagain Yara," timpal Aryan.

Abian menggeleng. "Lo tau kenapa Yara minta bantuan gue? Mbak Husna udah gak sanggup lagi ada di rumah itu!"

"Lo bisa, kan, sewa perawat atau apa. Gak gini caranya, Bian ...." Aryan menghela napas. "Bukannya gue tega sama adiknya Yasa itu, Bi. Lo harusnya intropeksi diri, lo punya istri yang lo sia-siain. Lo ngerti, kan, maksud gue?"

Abian terdiam.

"Bego!" umpat Aryan. "Lo gak mikirin gimana Hana? Istri yang lo perlakuin kasar itu? Bisa-bisanya lo tolongin orang yang bahkan gak ada hubungan apapun sama lo dan bersikap baik sama dia. Tapi lo perlakuin istri lo sendiri sebaliknya? Otak sama pikiran lo di mana sih? Gue tau hati lo tuh udah susah buat terketuk. Tapi seenggaknya mikir, Bian!"

"Yara adik Yasa, Aryan!"

"Hana istri lo, Bian!"

"Udahlah, lo gak capek nimbun dosa kayak gini apa? Harusnya lo tuh bersyukur punya istri kayak Hana. Walaupun kalian gak saling cinta dan lo gak bersikap baik sama dia, gue liat Hana tuh punya harapan besar biar bisa bahagia sama lo." Suara Aryan kini merendah. "Ayolah, lupain semuanya. Lagian, apa sih alasannya lo bersikap kayak gini sama Hana? Dia salah apa sama lo?"

Aryan menatap Abian yang masih diam. "Gue gak tau jalan pikiran lo. Lo emang bukan temen gue yang gue kenal dulu," ucapnya lagi. "Kalau akhirnya bakal kayak gini, kenapa lo ucapin ijab qobul lancar banget, Bian! Kenapa lo gak tolak aja kemauan Ayah lo itu!"

Abian menggebrak meja. "Kalau emang bisa! Tapi nyatanya apa, Yan?! Lo gak liat gimana kerasnya Ayah gue itu!" Laki-laki itu sedikit berteriak lalu berdiri. "Berhenti urusin hidup gue, Yan! Muak gue!"

Aryan membelalakan matanya. "Kita temenan udah lama banget! Lo itu udah kayak saudara gue sendiri, Bian! Lo udah kayak Kakak buat gue! Terus, apa gue harus diem aja saat lo bertindak salah gini?!"

Suasana di dalam ruang kerja Abian kini menjadi tegang. Kedua mata tajam yang saling memandang itu sama-sama menyiratkan emosi.

"Gue bilang kayak gini, karena gue gak mau lo nyesel akhirnya! Gue gak mau hubungan lo hancur karena lo sendiri. Dan kenapa gue gak setuju lo yang langsung jagain Yara? Karena gue gak mau karena itu Hana malah sakit hati." Aryan ikut berdiri. "Lo mikir gak sih gimana kalau lo ada di posisi Hana? Bayangin kalau lo ada di posisi dia, gimana perasaan lo?!"

"Oke, lo gak bisa nolak pernikahan ini. Jadi, kita anggap ini udah takdir yang Tuhan tulis buat lo. Tapi ayolah, bersikap sewajarnya aja, Bi. Hana itu istri lo, anggap dia bukan hal yang susah, kan?!"

"Gue tau gimana lo, gue tau Bian yang sekarang ini bukan Bian yang gue kenal! Karena apa? Karena Yasa! Karena Kakak dari orang yang lo tolongin sekarang ini!"

"ARYAN!"

"APA?! LO MAU MARAH SAMA GUE? LO MAU PUKUL GUE? PECAT GUE? SILAKAN!"

"Mata lo udah ketutup, hati lo juga. Gue pernah mikir, mungkin masuknya Hana ke dalam hidup lo itu adalah rencana Tuhan biar lo bisa berubah." Aryan menghela napas panjang. "Tapi nyatanya apa? Bukannya dia yang ngerubah lo jadi baik. Lo malah rubah dia jadi orang yang menyedihkan, bangsat!"

"Lo sedih sama kematian Yasa? Iya?! Gue juga, Bian! Bukan lo aja yang ngerasa kehilangan, bukan lo sendiri!" Aryan masih terus meluapkan emosinya. "Lo cinta, kan, sama dia? Iya?! Kenapa lo gak ikhlasin dia, Bian! Kenapa?!"

"Lo bisa bangkit, kan? Bangkit dan tinggalin semua kesedihan lo. Ada banyak orang yang sayang dan peduli sama lo. Mama lo, Ayah lo, Hana, bahkan gue!"

"Lo gak capek apa buat orang di sekitar lo sedih karena kelakuan lo ini?! Lo mikir gak gimana nantinya kalau Mama lo tau, putra kesayangannya jadi laki-laki berengsek dan bejat kayak gini?!"

"Lo tau, kan, penyebab kematin Yasa ...." Abian berkata lirih.

"Tau! Gue lebih dari tau, Bian! Gue yang nyaksiin semuanya!" balas Aryan. "Dan semuanya gak akan kembali kayak semula! Jadi, lo harus ikhlas. Lo merubah diri lo kayak gini, apa semua bisa balikin semuanya, Bian? Enggak, kan?"

Aryan berjalan mendekat ke arah Bian. "Gue tanya, apa lo bakalan terus kayak gini? Nyiptain rasa sakit lo sendiri. Pernah gak sih lo mikir buat bersikap baik dan terima Hana? Anggap dia, Bian. Sebelum semuanya terlambat."

"Gue yakin, gak selamanya Hana tuh bakalan sabar. Gak selamanya, Hana terima-terima aja lo perlakuin gini." Aryan menepuk pundak Abian. "Terima Hana, seenggaknya bersikap baik sama dia."

"Soal Yara, biar gue yang urus dia."

Abian menggeleng. "G-gue, gak bisa!"

Bugh!

Satu pukulan lolos mendarat di tulang pipi Abian, membuat sang empu meringis karenanya.

"Apa lo udah coba? Coba dulu, Bian!"

Abian memegang pipinya yang masih terasa nyeri, lalu melangkah keluar ruangannya tanpa berucap sepatah kata pun.

Aryan menghela napas kasar lalu mengusap wajahnya kasar. "SIALAN!"

TBC

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

HANABIAN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang