"Emang harus, ya, Hana ikut?" Hana menatap dirinya di cermin. Perempuan itu kini memakai gamis berwarna coklat yang terlihat sangat cantik, apalagi ada terusan bahan berwarna hitam di bagian bawahmya.
"Ya terserah lo. Kalau lo mau di anggap menantu baik sama orang tua gue, ya lo harus ikut," jawab Abian dingin tanpa menatap Hana.
Hana mendengkus kesal saat mendengar jawaban Abian. "Hana nanya Kak Bian deh, Kakak mau gak bawa Hana ke sini?" tanyanya. Namun, Abian tidak menjawab sama sekali. Laki-laki itu masih saja fokus pada ponselnya.
Malam ini, mereka akan pergi ke undangan pernikahan putranya teman Wijaya. Jika Hana boleh jujur, sebenarnya ia tidak mau datang ke pesta-pesta pernikahan seperti ini. Apalagi, mengingat bagaimana kehidupan bebas rekan-rekan ayah mertua dan suaminya.
"Hana nanya Kak Bian lho ini, kalau Kak Bian gak jawab. Berarti Hana di sini aja, gak ikut," ucap Hana lagi. Mendengar itu, Abian langsung menghela napas dan menyimpan ponselnya, menatap Hana yang terlihat masih belum siap dengan dirinya sendiri.
"Lo siap aja belum, Han. Udah buruan siap-siap, gue tunggu di luar," balasnya lalu melangkah keluar dari kamar setelah itu.
Hana menatap Abian yang keluar dari cermin. "Gengsian, bilang aja mau bareng Hana ke sananya, kan?" gumamnya percaya diri. "Benaran ini, Kak Bian kayaknya mulai berubah." Setelah itu, ia tersenyum.
"Alhamdulillah."
Hana menatap dirinya, ia mengambil jilbab berwarna senada dengan gamisnya lalu memakainya dengan rapi. Setelah itu, menatap wajahnya yang pucat. "Kak Bian malu gak ya, bawa Hana yang albino ini?" Seketika pertanyaan itu terlintas di pikirannya.
Hana menatap wajahnya yang terlihat sangat pucat, lalu mengambil berwarna bibir berwarna netral dan memakainya. Hana memang agak asing dengan alat-alat make-up seperti ini. Tetapi, mau tidak mau sekarang ia harus memakainya walau dengan riasan tipis.
Tidak butuh waktu lama, kini Hana sudah selesai dengan penampilannya. Hana menatap wajahnya sendiri lalu tersenyum. "Gak terlalu buruk," gumamnya mengomentari penampilannya sendiri.
Hana menghela napas, lalu mengambil kaos kaki di lemarinya, memakainya lalu keluar dari kamar. "Ayo, Kak! Hana udah siap," katanya saat melihat Abian yang duduk di sofa ruang tengah.
Hana melihat Abian yang menoleh ke arahnya langsung terdiam. "Ada apa? Ada yang salah sama penampilan Hana? Atau Kak Bian diem kayak gini karena Hana keliatan cantik?" tanyanya berani.
Abian berdecak. "Biasa aja, ayo berangkat!" balasnya lalu beranjak dan melangkah keluar rumah.
Hana terkekeh melihat respon Abian. Perempuan itu menggeleng lalu mengikuti langkah suaminya keluar rumah. Saat Abian berjalan ke arah mobil, Hana mengunci pintu rumah, setelah itu, ia berjalan menuju pagar dan membukanya lebar.
Mesin mobil dinyalakan, dan Abian mengelurkan mobilnya dari pekarangan. Setelah itu, Hana menutup kembali pagarnya dan masuk ke dalam mobil, dan mobil pun melanju memecah jalanan.
Hana tidak tahu persis akan kemana mereka sekarang. Ia juga tidak bertanya pada suaminya. Sampai sekarang Abian menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung yang lumayan besar, lalu menatap Hana dan berucap, "Keluar, kita udah sampe."
Hana mengangguk dan menuruti Abian. Setelah keluar, Hana lihat Abian ikut keluar. "Ikutin gue," katanya lalu memegang tangan Hana dan membawanya masuk ke dalam kawasan gedung.
Hana beristigfar beberapa kali. Melihat suasana yang tidak enak di pandang di sekelilingnya. Bagaimana tidak, banyak perempuan memakai baju yang jauh dari kata layak untuk di pakai. Hana meringis, mengeratkan tangannya pada Abian lalu menunduk. Karena kini, semua tatap seakan tertuju padanya dan Abian.
KAMU SEDANG MEMBACA
HANABIAN ✓
Spiritual[15+ || Selesai] Berawal dari kesalahpahaman, Hana dan Abian menikah. Hana Putri Abqari, si gadis albino yang sabar, harus menikah dengan Abian Pratama, si laki-laki dingin yang ketus dan kasar. Hana juga di minta untuk merubah sikap laki-laki itu...