"Yara pengen tau aja, kenapa kalian baik banget sama Yara. Apa karena Yara yang penyakitan ini, atau karena Yara adik Mbak Yasa."
"Karena kita peduli sama kamu, Ra. Kamu juga adik Yasa, sahabat Mas sama Bian. Jadi, ya karena itu ... udah, ya? Jangan terlalu mikirin itu, sekarang kamu fokus sama keadaan kamu aja," balas Aryan akhirnya.
Setelah itu, Hana tidak mendengar apa-apa lagi. Perempuan itu memejamkan mata sebentar, menghela napas lalu kembali melangkah. "Assalamualaikum," ucapnya memberi salam saat baru saja menginjakan kakinya di dalam rumah.
Terlihat ketiga orang yang sedang duduk di sofa itu menoleh dan menjawab salam Hana. "Mbak Hana!" seru Yara girang setelahnya.
Hana tersenyum lalu berjalan menghampiri mereka, memeluk Yara yang langsung berdiri, lalu mendudukan dirinya di sebelah Abian. Hana juga tersenyum singkat pada Aryan. "Kalian apa kabar?" tanyanya.
Yara ikut tersenyum. "Yara baik, Mbak," balasnya, di sambung Aryan yang berbicara sama juga.
"Gak apa-apa, kan, kita ke sini? Hari ini Ibu gue ada acara, jadi kita gak bisa berdua aja di rumah," kata Aryan.
Hana menggeleng. "Gak apa-apa, Hana seneng banget malah kalian kesini," katanya, "jadi gak bosen lagi." Kalimat yang baru saja ia ucapkan sebenarnya menyinggung Abian, jika suaminya itu peka. Namun, nampaknya Abian biasa saja.
"Ah iya, Hana baru beli cemilan ... kalau Kak Aryan mau, ambil aja di keresek itu," kata Hana menunjukan kantung plastik yang tadi ia bawa, lalu perempuan itu berdiri dan berucap, "Hana ambil minum dulu." Dan melangkah menuju dapur.
"Yara ikut, Mbak!" Yara yang baru saja duduk kini kembali berdiri. Gadis itu berjalan mengikuti Hana.
Kini, mereka berdua sudah berada di dapur. Hana tidak langsung membuat minuman, melainkan menyuruh Yara duduk di kursi dekat meja yang ada di sana. Setelah Yara duduk, Hana menatap gadis itu. "Kamu baik-baik aja, kan, Ra?" tanyanya.
Wajah pucat Yara kini menyunggingkan senyuman. "Yara baik-baik aja, Mbak. Alhamdulillah. Tante Mila baik sama Yara dan anggap Yara kayak putrinya sendiri," jawabnya.
"Alhamdulillah ...." Hana kini mulai membawa gelas dan mengambil jus kemasan di dalam kulkas. "Mbak seneng, cuci darah kamu juga lancar, kan?"
"I-iya Mbak." Kini, suara Yara terdengar lemah. Membuat Hana yang baru saja menuangkan jusnya menoleh.
"Kenapa?"
"Yara kayaknya gak apa-apa sendiri aja, Mbak. Lama kelamaan, Yara jadi gak enak sama kalian semua ... Yara tiba-tiba datang, terus nyusahin Mbak, Mas Bian, Mas Aryan sama Ibunya Mas Aryan. Apalagi, Mas Bian sama Mas Aryan yang biayain cuc--"
"Ra." Hana memotong ucapan Yara. Perempuan itu menyimpan jus kemasan yang ada di tangannya lalu mendekat ke arah gadis itu, menyentuh pundak Yara lembut lalu berucap, "Jangan gitu, Ra. Kayak gini lebih, baik, kan? Lagian, mana mungkin Kak Aryan sama Kak Bian tega lepasin kamu sendirian ... kamu adiknya Mbak Yasa, kan? Dia itu sahabat mereka."
Yara menatap Hana. "Mbak Hana tau, kenapa Mbak Yasa, Mas Bian, sama Mas Aryan deket?" tanyanya yang sukses membuat Hana terpaku. Dari mana ia mengetahui tentang Yasa? Suaminya saja enggan bercerita padanya. Yang ia tahu hanyalah Yasa adalah sahabat dekat Aryan dan suaminya, tetapi Yasa mempunyai hubungan yang lebih dengan Abian.
Hana juga tidak tahu, bagaimana bisa Abian sampai berubah karena kematian Yasa? Apakah karena itu saja? Ah, pikiran-pikiran itu terus-menerus terlintas di kepalanya akhir-akhir ini. Namun, seperti yang Hana bilang, ia hanya mau mendengar penjelasannya dari sudut pandang Abian.
Dan sampai sekarang, Abian masih saja bungkam.
"Mbak?"
Hana langsung tersadar dari lamunannya, perempuan itu menggeleng dan beristigfar. "E-eh, Mbak gak tau persis," katanya cepat.
Yara menghela napas. "Kadang Yara suka bingung, Mbak. Mbak Husna aja yang udah hampir dua puluh tahun bareng sama keluarga Yara, akhirnya nyerah dan ninggalin Yara. Kok Mas Bian sama Mas Aryan mau bantuin Yara kayak gini?" cicitnya, "Yara seneng banget sebenernya, cuma--"
"Mbak ngerti," potong Hana tersenyum, ia kini mengusap pundak Yara lembut. "Mereka emang baik, Ra. Mereka bantu kamu, ya karena mereka anggap kamu adik mereka sendiri, kan?"
Yara mengangguk.
"Ya udah, yuk keluar," ajak Hana, lalu membawa dua gelas jus untuk Aryan dan suaminya yang tadi ia tuangkan dan melangkah menuju ruang tamu.
Hana menyimpan gelas jus itu. "Eh, Kak Bian mana?" tanyanya, karena ia tidak melihat keberadaan suaminya di ruang tamu.
"Ke luar sebentar katanya," jawab Aryan santai.
Hana mengangguk, lalu duduk di sebelah Yara.
"Gue mau ngomong sama lo, Han," kata Aryan tiba-tiba.
Seakan mengerti ucapan Aryan, Yara langsung berdiri. "Mas, Mbak. Yara duduk di ruang tengah aja kali, ya? Yara mau nonton TV Soalnya," katanya. Lalu melangkah meninggalkan mereka di ruang tamu.
"Ada apa, Kak?" tanya Hana.
"Lo sama Abian baik-baik aja, kan?" tanya Aryan, nada suaranya sengaja ia rendahkan. Karena takut Yara yang ada di ruang tengah mendengar.
Hana menghela napas lalu mengangguk. "Hana sama Kak Bian baik-baik aja kok, emang ada apa? Kok tiba-tiba nanya kayak gitu?" balasnya.
"G-gue cuma mau mastiin aja," ucap Aryan.
Hana menatap Aryan sebentar. "Kak Aryan, Hana bukan maksud apa-apa nih, ya. Hana cuma mau nanya." Perempuan itu meneggakan badannya. "Kenapa Kak Aryan baik banget, sampai mau gantiin jaga Yara buat hubungan Hana sama Kak Bian?" tanyanya. Pertanyaan yang ingin sekali Hana tanyakan. Mau bagaimapun, hanya Aryan yang mengetahui hubungannya dan Abian yang--kalian pasti mengerti. Dan Aryan juga seakan berperan penting di dalam hubungan mereka.
Aryan tersenyum. "Gue udah bilang, kan? Abian itu temen gue, sahabat gue, bahkan gue udah anggap dia kayak Kakak gue sendiri. Dan, ya. Yang gue lakuin adalah bantu dia. Bantu dia biar bisa berubah, seenggaknya mikir, kalau apa yang dia lakuin salah," jelasnya.
"Semenjak Kak Aryan bawa Yara, menurut Hana Kak Bian mulai berubah ... walapun keadaan kita malah jadi canggung karena Kak Bian lebih banyak diem," ungkap Hana. "Hana gak tau apa yang Kak Aryan bilang ke suami Hana. Tapi kayaknya, Hana harus bilang makasih sama Kakak."
Aryan terkekeh. "Gue bahagia kalau si Bian mulai berubah," katanya, "kadang gue heran, kenapa dia bersikap kayak gitu sama lo. Apa ka--" Aryan menggantung ucapannya.
"Karena apa?" tanya Hana.
Aryan menggeleng. "Ah, kayaknya gue gak boleh ngomong gitu ... pikiran gue bisa aja salah, kan? Jadi, gak apa-apa kok. Yang penting suami lo udah mulai berubah, kan?"
"Tenang Hana, jangan pusingin semuanya. Lo tau, kan? Sebesar apapun masalahnya, semuanya pasti bisa di selesaikan."
Hana mengangguk kaku lalu menunduk. "Semua pasti bakal selesai, kan?" cicitnya, "Dan Hana selalu berharap, penyelesaian dari semua ini berakhir bahagia, Kak."
"Dan kalau seandainya, penyelesaian dari semua ini berbanding terbalik sama apa yang Hana harapin. H-hana harus gimana?"
TBC
Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
HANABIAN ✓
Spiritual[15+ || Selesai] Berawal dari kesalahpahaman, Hana dan Abian menikah. Hana Putri Abqari, si gadis albino yang sabar, harus menikah dengan Abian Pratama, si laki-laki dingin yang ketus dan kasar. Hana juga di minta untuk merubah sikap laki-laki itu...