Akhir

41K 3.3K 539
                                    

Hana keluar dari kamar mandi dan menatap benda di depannya dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Perempuan itu menghela napas agar tangisnya tidak pecah sekarang. "Alhamdulillah," lirihnya.

Dua garis merah.

Hana benar-benar senang saat dugaannya benar-benar terjadi. Ya, perempuan dua puluh tahun itu tengah mengandung saat ini.

Hana menatap jam di dinding, lalu melangkah keluar dari kamarnya sekarang. Perempuan itu berjalan naik ke atas tangga dan berhenti saat sampai di depan pintu ruang kerja Abian. Perempuan itu tersenyum, lalu membuka ruangan itu secara perlahan.

Saat pintu terbuka, Hana melihat Abian yang sedang sibuk menatap komputer di depannya dengan kacamata yang bertengger di hidungnya. "Kak," panggil Hana yang langsung membuat Abian menoleh. "Hana boleh masuk?" Lanjutnya bertanya yang tentu saja langsung Abian angguki.

Sebenarnya, hari ini adalah hari libur. Namun, Abian masih saja sibuk dengan pekerjaannya. Laki-laki itu terlihat lebih sibuk sejak kematian ayahnya dua bulan yang lalu.

Hana berjalan mendekati Abian setelah menutup kembali pintu ruangan. Perempuan itu mendudukan diri di depan Abian lalu menghela napas karena Abian malah kembali fokus menatap komputernya.

Hana menggenggam tespack yang ada di tangannya lalu tersenyum. "Kak, ada yang mau Hana bicarain sama Kakak," ucapnya dengan nada senang.

"Apa? Tunggu ya, Han. Aku beresin ini dulu sebentar," balas Abian lembut sembari masih fokus pada komputer. Membuat Hana menghela napas lalu beranjak dan melangkah menuju balkon yang mengarah pada taman bunga milik Wina di belakang rumah.

Melihat istrinya yang beranjak, Abian langsung menoleh dan membuka kacamatanya. Tidak lagi mempedulikan pekerjaannya, dan memilih ikut beranjak dan mengikuti Hana menuju balkon. "Masuk Han, di sini panas," kata Abian.

Hana menggeleng. "Gak terlalu kok, Kak," balas perempuan itu tersenyum lalu mendudukan dirinya di lantai.

Abian menunduk menatap Hana, lalu ikut duduk mendepani istrinya itu. Ia menatap Hana, lalu membenarkan mengusap rambut pirang istrinya. "Mau ngomong apa, Han?"

Hana yang masih tersenyum, kini melebarkan senyumannya. "Kak Bian beneran gak sibuk, kan?" tanyanya memastikan.

"Istri aku lebih penting," balas Abian tidak nyambung yang langsung membuat rona merah di pipi Hana timbul. Abian terkekeh, lalu mengacak rambut istrinya gemas. "Ada apa? Sok, ngomong aja."

"Tenang, sekarang Hana gak akan ngomongin Mbak Clarissa kok, mukanya kok jadi tegang gitu," kekeh Hana saat melihat wajah Abian yang serius menatapnya penasaran.

Ah iya, soal Clarissa. Perempuan itu ternyata adalah teman Abian. Ia meminta maaf pada Hana satu bulan yang lalu dengan bilang jika ia mencium Abian karena sudah terbiasa dengan kebiasaan di negara tempatnya kuliah.

Abian mendengkus. "Han, jangan mulai ya ...."

Hana menggeleng sembari tertawa renyah. "Hehe, Hana cuma bercanda kok Kak," katanya, "jadi, udah siap belum dengerin ucapan Hana?"

Abian mengangguk. "Iya siap, ada apa, hm?"

"Jadi gini kan, ya. Kemarin tuh, Hana baru nyadar kalau satu bulan ini Hana gak dapet haid. Terus, pas Hana tanya Nafi, Nafi suruh Hana cek," ucap Hana lalu menyodorkan tespack di tangannya pada Abian. "Ini hasilnya."

Abian menatap benda di tangan istrinya, ia terpaku beberapa saat sebelum menatap manik coklat istrinya yang sudah berkaca-kaca. "H-han?" Laki-laki itu bertanya memastikan.

Tangis Hana pecah, lalu mengangguk. "S-selamat, Kak," katanya lalu memeluk Abian dengan cepat setelahnya.

Abian masih diam mencerna semuanya. "Aku bakal punya anak, Han?" tanyanya masih tidak percaya pada Hana yang ada di pelukannya sekarang. Saat merasakan Hana mengangguk di dadanya, Abian langsung membalas pelukan Hana erat. "S-serius, Han? Alhamdulillah, Allahu akbar." Laki-laki itu berucap senang.

HANABIAN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang