Part 33

23.7K 2.8K 233
                                    

"Kak Bian gak mikir?!" pekik Hana tertahan, lalu memundurkan langkahnya perlahan. Setelah itu, ia membalikan badannya dan lari keluar dari gedung. Untung saja keadaan sangat ramai, jadi, Hana tidak terlalu menjadi perhatian karena berlari cepat dengan mata yang berkaca-kaca.

Perempuan itu melangkah keluar dari kawasan gedung, menuju tempat parkir yang lumayan sepi. Sedetik kemudian, tangisnya pecah.

Kenapa Abian sering sekali mempermainkan keadaan? Saat Hana sedang senang, bisa-bisa Abian membuat ulah yang membuatnya sedih. Dadanya sesak saat ini, entah karena melihat Abian yang terlihat senang bertemu dengan perempuan tadi, atau karena perempuan tadi yang sangat lancang mencium Abian didepannya.

"Hiks ...." Isakan lolos keluar dari mulut Hana sekarang, perempuan itu menunduk dan menangis di dalam kegelapan ini.

"Han, lo gila?!" Tiba-tiba saja, seseorang menarik tangannya kasar membuat Hana langsung mendongak dan menatap orang itu.

Ya, siapa lagi jika bukan Abian.

"Lo nampar Clarissa di depan orang banyak gitu? Lo gila, Han?! Lo udah mempermalukan dia!" Untuk pertama kalinya, setelah delapan hari ia tidak mendengarnya. Kini, Hana mendengar Abian kembali membentak.

Abian menarik Hana yang masih kaget karena bentakannya menuju mobil. Lalu mendorong perempuan itu masuk ke dalam mobil dengan kasar. Membuat Hana meringis dan semakin terisak. "Lo gak bisa kontrol diri lo, apa?!" Abian menatap Hana tajam saat sudah berada di kursinya.

"K-kak?" Hana berkata lirih.

"Apa?! Lo udah bikin gue malu, tau gak?!" Abian masih membentak Hana.

Hana mengusap air matanya. Lalu menatap Abian berani. "Hana salah? Nampar perempuan yang dengan lancangnya nyium suami Hana di depan Hana sendiri? Salah, Kak?!" Entah kenapa, rasanya ia sudah tidak tahan dengan semua ini. Hana rasa, ia akan menumpahkan semuanya sekarang.

"Salah, Kak?" Suara Hana bergetar.

"Turunin suara lo, Hana!" tajam Abian.

"Turunin, Kak? Apa Kakak gak liat diri Kakak sendiri? Kakak aja bentak Hana pake suara tinggi tadi!" balas Hana tak kalah tajam. "Kenapa sih, Kak? Hana tau, Kakak gak suka Hana. Tapi seenggaknya, bisa gak Kakak anggap Hana, sekali aja?" Kini, suara Hana mengecil.

"Hana harus gimana lagi, Kak? Hana harus gimana lagi supaya Kakak bisa anggap Hana?" Tangisnya kembali pecah. "Apa salah Hana, Kak? Sampai Kakak perlakuin Hana kayak gini setelah kita menikah? Apa? ... hiks."

"Salah lo? Iya?! Salah lo adalah lo nerima pernikahan ini!" Abian kini sudah terpancing emosi. "Salah lo adalah, lo masuk ke dalam hidup gue, Hana!"

"Hana nerima pernikahan ini, karena Hana emang mau ibadah bareng Kakak! Hana terima semua ini karena Hana kira ... Kak Bian bakalan jadi imam yang baik buat Hana, hiks ...." Hana menunduk. "Tapi kayaknya, semua yang Hana kira itu salah ...."

Abian memukul stir mobil kasar. "SIAL!" teriaknya frustasi.

Laki-laki itu nampak menyalakan mesin mobil dengan terburu-buru lalu menyalakannya. "K-kak? Kak Bian mau apa?" Hana meneggakan badannya. "J-jangan nyetir sekarang, Kak. Tolong," pintanya dengan tangis yang masih belum reda.

Abian menepis tangan Hana kasar. Lalu melajukan mobilnya. "Gue gak yakin sama ucapan lo, Han!" teriak Abian, laki-laki itu terus menginjak gas membuat mobil kini melaju dengan cepat.

Sedang Hana, kini perempuan itu sudah meremas gamisnya takut. Ia juga masih belum berhenti menangis, apalagi, Abian yang terus saja berteriak tak jelas.

"Kak, hiks ... tolong. Jangan nyetir dalam keadaan kayak gini." Tangis Hana semakin menjadi, perempuan itu memegang lengan Abian dan berusaha membuat Abian berhenti menyetir. Ia sungguh takut saat ini, Abian seperti orang yang tak terkendali sekarang.

Namun Abian nampak tidak peduli, laki-laki itu terus saja menyetir dan menepis tangan Hana kasar. Sampai mereka sampai di depan rumah, Abian langsung turun membuka pagar dengan kasar, lalu memasukan mobilnya.

Hana turun dari mobil dengan badan yang bergetar takut. Perempuan itu melangkah menuju pintu dengan tangisnya yang masih menjadi. Perempuan itu mengeluarkan kunci pintu dari tasnya dengan tangan yang masih gemetar. Ia juga terlihat kesulitan membuka pintu saking gemetarnya.

Melihat itu, Abian langsung menarik kunci dari Hana secara kasar dan membukanya tak kalah kasar juga. "Masuk, Hana!" bentaknya.

Setelah Hana masuk, ia ikut masuk. Abian kembali mengunci pintu dan menatap Hana yang sudah duduk lemah di ruang tamu. "Gue tanya sama lo sekarang, kenapa lo harus nampar Clarissa?!" tanya Abian marah. "Lo bener-bener buat gue malu, Hana!"

Hana menunduk dan terisak, tidak merespon suaminya sama sekali.

"Hana, jawab gue!" Abian membentak sekali lagi.

Namun Hana, perempuan itu masih saja belum merespon.

"JAWAB GUE HANA!"

"KAK!" Hana menutup telinganya dan berteriak. Tangisnya sudah tak terkontrol sekarang. Perempuan itu berdiri, mendongak dan menatap Abian dengan mata yang masih mengelurkan air mata. "U-udah ... j-jangan bentak Hana terus kayak gini, hiks ...."

"Makanya, lo jawab gue, Hana!" Abian membalas tajam.

Hana makin terisak. "H-hana harus gimana, Kak? Hana udah bilang, kan? Apa salah Hana nampar perempuan yang tiba-tiba nyium suami Hana? Salah, Kak? Apa salah Hana marah waktu liat suami Hana keliatan seneng ketemu perempuan lain sedang Kakak bersikap dingin sama Hana? Salah, Kak?"

Hana berjalan mendekat ke arah Abian. "J-jawab Hana, Kak ... hiks." Perempuan itu menunduk dengan isak yang terdengar jelas.

Abian nampak diam.

"Jawab, Kak!" Hana menangis. "Hana tuh istri Kakak sekarang! Seenggaknya Kakak hargai Hana!"

"Caranya gak gitu, Hana!"

"Hana harus gimana?! Biarin Kak Bian ciuman sama perempuan tadi? Iya?!" Hana memekik lalu mendorong Abian. "HANA CAPEK, KAK!"

"Hana capek terus kayak gini! Hana capek karena Kakak terus anggap Hana orang lain! Hana capek, Kak!" Hana menatap Abian, gadis itu menghela napas lalu menatap Abian. "Kenapa, Kak? Kakak gak bisa anggap Hana istri Kakak? Hana harus gimana lagi biar Kak Bian anggap Hana?!"

"Apa Kakak pernah berpikir gimana jadi Hana sekarang? Pernah?! Bersikap kuat padahal lemah, bersikap bahagia padahal sebaliknya, senyum padahal Hana pengen nangis, hiks ...."

"Pernah gak, Kak?"

"PERNAH, GAK?!"

Hana menjatuhkan dirinya ke lantai. "Hana capek terus kayak gini, bersikap baik tapi Kakak gak pernah hargai Hana sekalipun."

"K-kenapa, Kak? Apa Kakak gak bisa buka hati Kakak dan perlakuin Hana sebagai istri? Kak Bian bisa, kan? Nerima pernikahan ini? Itu gak sulit, kan?" Suara Hana kembali terdengar lirih.

"Gue gak pernah mau nikah sama lo, Hana! Gue gak pernah mau nikah sama perempuan gak normal kayak, lo!"

TBC

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

HANABIAN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang