"Assalamualaikum!" Abian mengucap salam saat masuk ke dalam rumah. Matanya langsung menatap sekitar, mengerutkan keningnya saat tidak melihat Hana yang biasanya menyambutnya pulang.
Abian menghela napas saat menatap jam dinding. Sudah hampir pukul delapan rupanya. Ah, ia pulang telat hari ini. Dan mungkin, istrinya itu sudah tertidur saat ini. Saat baru saja akan melangkah menuju kamarnya, langkah Abian terhenti karena ia berpapasan dengan Wina.
"Ma, Assalamualaikum." Laki-laki itu menyalami tangan mamanya. "Hana udah tidur ya, Ma?" Lanjutnya bertanya.
"Waalaikumsalam, istri kamu ada di belakang tuh. Tadinya nunggu kamu pulang, tapi kamunya lama. Kamu gak kabarin dia lagi, ya, Bi?" balas Wina lalu menatap Abian yang menggeleng dan mendengkus. "Kamu mah kebiasaan, istri kamu khawatir tuh!"
"Ya udah, Bian samperin Hana dulu ya, Ma." Kini, laki-laki itu berencana melangkah ke belakang rumah. Namun, langkahnya terhenti karena Wina mencekal tangannya. "Ada apa, Ma?"
"Udah salat isya belum?" tanya Wina.
Abian menghela napas. "Udahlah, bareng sama Aryan tadi," jawabnya.
"Ya udah, kamu bersih-bersih dulu---"
"Nanti aja, Ma. Bian mau temuin Hana dulu," potong Abian lalu meninggalkan Wina dan melangkah menuju belakang rumah lewat dapur. Saat sampai, Abian lihat Hana tengah duduk di kursi yang biasanya dipakai Wina untuk berjemur. Suasana dibelakang rumahnya memang seperti taman. Karena lumayan banyak bunga yang Wina tanam disana..
Laki-laki itu tersenyum, berjalan mendekati Hana lalu mendudukan diri disamping istrinya itu. Membuat Hana sedikit terlonjak kaget dan beristigfar. "Astagfirullah, Kak Bian ini buat Hana kaget."
Abian terkekeh. "Assalamualaikum, Bundanya Dedek mungil, Dedek mungil juga," ucapnya sembari mengecup pipi Hana dan mengelus perut istrinya yang sudah membesar karena usia kandungannya hampir masuk bulan ke tujuh. "Ngapain diluar, hm? Dingin tau."
"Waalaikumsalam." Hana tersenyum. "Kak Bian kenapa gak bilang kalau pulang telat?"
"HP aku mati, Han. Tadi pagi gak di charger," jawab Abian. "Maaf, ya." Lalu, ia mengelus surai pirang Hana dan terkekeh lagi saat melihat pipi pucat Hana yang terlihat lucu karena mengembang akibat kehamilannya.
"Kak Bian kenapa sih kekeh-kekeh mulu kalau liat Hana? Ada yang lucu apa?" tanya Hana dengan sorot mata tak biasa. "Hana gendutan, ya?"
"Iya," balas Abian jujur.
"Ih, kok Ka--"
"Aku jujur loh, Han. Lagian kenapa kalau kamu gendutan? Lucu, tau. Dedek mungilnya juga berarti sehat. Aku suka kamu kayak gini," potong Abian menatap iris coklat terang istrinya. "Sekarang, yuk masuk! Disini dingin."
Hana menggeleng. "Kak Bian aja yang masuk duluan, bersih-bersih sana. Hana mau diem disini sebentar soalnya," tolaknya.
"Ya udah, aku masuk dulu, mau ganti baju. Nanti kesini lagi," balas Abian lalu berdiri.
"Hana mau bantuin Kak Bian ambil baju, tapi gak mau ah, soalnya gak mau beranjak. Jadi, Kak Bian ambil sendiri aja bajunya. Hati-hati ambilnya, jangan sampai lemarinya berantakan." Hana mendongak.
Abian menghela napas lirih dan tersenyum paksa. "Kalau gitu kenapa bilang, Han?" katanya menahan kesal. "Sabar Bian, sabar." Lanjutnya lalu pamit masuk ke dalam. Membuat Hana terkekeh melihat suaminya itu.
Abian benar-benar mengambil bajunya dengan hati-hati sekarang. Setelah itu, ia benar-benar membersihkan dirinya dengan cepat dan kembali melangkah menemui istrinya yang masih berada di belakang rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
HANABIAN ✓
Spiritual[15+ || Selesai] Berawal dari kesalahpahaman, Hana dan Abian menikah. Hana Putri Abqari, si gadis albino yang sabar, harus menikah dengan Abian Pratama, si laki-laki dingin yang ketus dan kasar. Hana juga di minta untuk merubah sikap laki-laki itu...