"B-boleh Hana bersikap egois kayak Kakak sebelumnya?" Hana menghela napas. "Hana boleh, kan, capek sama semua yang terjadi sama kita? H-hana nyerah, Kak. Sekarang, terserah Kakak."
Hana memundurkan langkahnya. "Hana mau pulang, Assalamualaikum," katanya lalu membalikan badannya. Namun, saat baru saja ia akan keluar dari pintu. Abian langsung menutup pintu itu dengan cepat, membuat Hana kembali menghela napas dan memutarkan bola matanya.
"Lo boleh marah sama gue, Han. Lo boleh luapin emosi lo sekarang ke gue," kata Abian. "Lo boleh pukul gue, lo boleh nyindir gue terus-terusan. T-tapi tolong, dengerin gue. Sebentar aja."
Hana menggeleng. "Hana harus pulang, Kak. Sebelum Kak Sarah tau Hana gak di rumah."
Abian memegang kedua pipi Hana perlahan lalu menyuruh istrinya itu menatapnya. Kini, ia menatap Hana dalam. "Gue tau, gue gak pantes ngomong gini setelah apa yang gue lakuin sama lo. Tapi, gue suami lo. Sekarang, gue lebih berhak sama lo dari pada Sarah," katanya lembut.
Hana menepis tangan Abian cepat lalu tertawa hambar. "I-iya, Hana istri Kakak. Dan Kakak berhak lakuin apapun sama Hana. Walau dengan cara yang salah," sindirnya tajam. "Gitu, kan, Kak?"
"Gue tau gue salah, gue salah sama semua. Terutama sama Ayah dan lo," ucap Abian. "G-gue gak tau kalau Ayah larang gue deket sama Yasa karena di--"
"Berhenti, Kak. Hana gak masalah soal Mbak Yasa," potong Hana. "Hana udah bilang, kan? Hana butuh waktu sendiri sekarang. H-hana serahin semua sama Kakak, kalau emang apa yang Kakak ucapin malam itu--tentang Hana yang cuma Kakak angg--"
"Hana, tolong dengerin gue! Mau sampai kapan kita kayak gini? Gue cuma minta waktu ke lo, buat gue minta maaf dan jelasin semuanya." Kini, Abian yang memotong ucapan Hana.
"H-hana harus gimana, Kak? A-apa Hana bisa percaya kalau Kakak sekarang tulus?" Suara Hana kini bergetar, dadanya sesak menahan tangis, pandangannya juga mengabur karena bulir bening yang sudah siap jatuh dari pelupuk matanya.
"Hana udah berusaha biar Kakak bisa berubah dan bisa anggap Hana sebagai istri Kakak. Hana udah lakuin apa yang Hana mampu biar apa yang Hana mau bisa terwujud. Hana berusaha sabar walau Kakak selalu bicara kasar dan ketus, Hana berusaha gak marah padahal Kakak gak pernah ada waktu buat Hana. Hana udah berusaha kuat, padahal dalam diri Hana udah rapuh ...." Hana memundurkan langkahnya perlahan. "Sampai malam itu, Kakak hancurin semua pertahanan dan kesabaran yang Hana punya ... hiks."
Hana sudah tidak bisa lagi menahan tangisnya. Kini, perempuan itu menumpahkan tangis di depan suaminya.
"Hana gak masalah soal Kakak ambil hak Kakak sebagai suami. Wallahi, Hana ikhlas ... Hana istri Kakak dan Kakak emang berhak sama semua hal dalam diri Hana. Tapi, apa malam itu Kakak perlakuin Hana kayak istri?" Hana menghela napas. "Enggak, kan, Kak? Hiks ...."
"Hana udah sering banget denger kata-kata yang gak enak tentang keadaan fisik Hana. Tapi, Kakak tau? Hana paling ngerasain sakit, saat suami Hana sendiri yang permasalahin fisik yang Hana punya."
"Gue mint--"
"Kak Bian tau? Hana selalu pengen kalau kehidupan pernikahan Hana kayak pernikahan Ayah dan Bunda, hiks. Di mana Bunda yang selalu sayang dan gak pernah masalah dengan kelainan yang Ayah punya. Juga Ayah yang selalu ada buat Bunda sampai akhir napasnya." Hana tersenyum getir. "Tapi apa yang terjadi sama Hana?"
"Kalau Hana di suruh pilih. Hana lebih pilih Kak Bian bicara ketus dan kasar sama Hana. Asal, Kak Bian jangan permasalahin keistimewaan yang Allah kasih buat Hana, hiks ...."
"Dan ya. Hana mau kasih tau satu hal sama Kakak." Hana mengusap air mata di pipinya. "Kalau emang Kakak gak bisa buat seseorang bahagia, seenggaknya jangan buat orang itu sedih."
Tak lama setelah itu, Abian menjatuhkan lututnya ke lantai. Laki-laki itu menunduk dan menangis. "Gue minta maaf, Han. Yang gue lakuin sama lo emang udah keterlaluan ... gue minta maaf."
Tangis Hana pun kembali pecah, apalagi saat Abian memeluk kakinya. "B-bangun, Kak. Hiks ...."
"Maaf ...." Abian menggeleng.
Hana melepaskan pelukan Abian di kakinya. Lalu menunduk dan membantu Abian berdiri. Perempuan itu menghela napas. "Hana harus pulang," katanya, lalu mengusap pipi Abian halus.
Abian lagi-lagi menahan tangan Hana. "Gak, Han. Rumah lo di sini."
Hana tidak merespon ucapan Abian, perempuan itu melepaskan tangan Abian lalu melangkah keluar rumah setelah mengucapkan salam.
Abian tidak tinggal diam, laki-laki itu langsung mengambil kunci mobilnya dan melangkah mengikuti istrinya. "Han! Tunggu!"
Namun, Hana masih berjalan sampai depan pagar. Perempuan itu terlihat mengambil ponselnya dan membuka salah satu aplikasi untuk memesan taksi online.
Abian menghampiri Hana, lalu merebut ponsel milik istrinya itu. "Biar gue anterin lo," katanya.
"Gak us--"
"Gue suami lo, dan gue berhak banget buat anter istri gue biar selamat sampai tujuan," potong Abian. "Tunggu di teras, panas di sini. Gue ambil mobil gue dulu sebentar." Lanjutnya menyuruh Hana menunggu di teras. "Gak ada penolakan."
Akhirnya, Hana menurut. Perempuan itu berjalan menuju teras dan duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Sedang Abian, terlihat laki-laki itu melangkah keluar pagar dengan masih memegang ponsel Hana.
Hana menghela napas, perempuan itu bingung harus bagaimana sekarang.
Tak lama, terlihat mobil Abian yang kini sudah berhenti di depan pagar. Hana berdiri, lalu melangkah menuju mobil. Saat Abian keluar dan hendak membukakan pintu untuk Hana, Hana menggeleng. Perempuan itu cepat-cepat membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.
Abian menghela napas lirih, lalu kembali melangkah dan masuk ke dalam mobil juga. Tak lama, mobil yang Abian kendarai melaju.
Seperti biasa, hening menyapa saat mereka berdua di dalam mobil. Hana kini menatap lurus sembari meremas ujung jilbabnya. Sedang Abian, laki-laki itu bingung harus membuka pembicaraan atau tidak.
"Kasih gue kesempatan, Han." Akhirnya, Abian angkat bicara setelah hampir dua puluh lima menit mereka saling diam. "Gue tulus minta maaf, dan lo harus balik lagi pulang ke rumah kita."
Hana diam tidak merespon.
"Ayo kita mulai semuanya dari awal." Abian menghentikan mobilnya karena mereka sudah sampai di depan rumah orang tua Hana. "Lo mau gue berubah, kan? Bantu gue berubah, Han."
Hana akhirnya menatap Abian. "HP Hana, Kak?" katanya meminta ponselnya. Terlihat Abian langsung meronggoh saku celananya dan memberikan ponsel Hana pada pemiliknya.
Hana menerima ponselnya. "Makasih udah anterin Hana. Hana duluan, Assalamualaikum," katanya lalu keluar dari mobil.
Abian menatap Hana. "Sampai kapan, Han?" tanyanya membuat Hana menghentikan gerakan lengannya yang akan menutup mobil. "Sampai kapan kita kayak gini?"
Hana menggedikan bahunya. "Sampai Hana yakin, kalau Kak Bian bener-bener berubah," balasnya lembut. "Hana butuh waktu buat yakinin diri Hana, Kak."
"Karena sakit yang Kakak kasih, mungkin susah buat Hana lupain."
TBC
Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terimakasih sudah membaca part ini ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
HANABIAN ✓
Spiritual[15+ || Selesai] Berawal dari kesalahpahaman, Hana dan Abian menikah. Hana Putri Abqari, si gadis albino yang sabar, harus menikah dengan Abian Pratama, si laki-laki dingin yang ketus dan kasar. Hana juga di minta untuk merubah sikap laki-laki itu...