Part 2

31.1K 3.7K 280
                                    

"ABIAN KAMU NGAPAIN?!"

Mata Hana dan laki-laki itu bertemu, langsung saja Hana memalingkan wajahnya. Lalu laki-laki yang menindih Hana itu mencoba berdiri. Namun ia malah kehilangan keseimbangan karena kakinya tersangkut pada gamis milik Hana, membuatnya kembali menindih Hana.

Hana membulatkan matanya lagi. Ia merasakan bibir mereka menempel. Membuat gadis itu refleks mendorong tubuh laki-laki itu kasar sembari berteriak.

"KURANG AJAR KAMU, BIAN!" Hana menunduk saat laki-laki paruh baya yang tadi berteriak kembali berteriak. "Kamu mau apain gadis itu?!"

"Aya--"

"--Ada apa?!" Terlihat semua orang datang ke dapur, membuat Hana semakin menunduk sembari terus beristigfar saat mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Tubuh gadis itu sangat gemetar, air mata sudah siap jatuh dari pelupuk matanya.

"Anak kamu bikin ulah lagi, Ma! Liat, baru aja dia nindih sama cium gadis itu," jawab laki-laki itu tajam. "Ini bukan pertama kalinya Ayah liat kamu gini, ya, Bian!"

"Aya--"

"--Bian! Ikut Mama sama Ayah, sekarang!"

Tangis Hana pecah, gadis itu menangis sembari menunduk. Setelah itu, Nafi yang baru masuk ke dalam dapur langsung memeluk tubuh Hana yang sudah bergetar hebat akibat menangis. Dengan cepat, Nafi langsung membawa Hana melangkah keluar dapur dan berjalan menuju kamar.

Saat masuk ke dalam kamar, gadis itu langsung menjatuhkan diri di lantai. "Fi ... hiks," lirihnya. Membuat Nafi ikut duduk di lantai dan mengusap bahu Hana supaya temannya itu tenang.

"Kamu kenapa, Han? Kamu di apain sama Bang Bian?" tanya Nafi hati-hati.

Hana menatap Nafi. "L-laki-laki tadi cium bibir Hana," jawabnya lalu tangisnya kembali pecah.

"APA?! KURANG AJAR YA SI BANG BIAN!" Nafi langsung memekik, lalu ia berdiri dengan wajah marahnya. Melihat itu, Hana menggeleng, ia ikut berdiri dan memegang tangan Nafi.

"Gak, Fi," ucap Hana. "Jangan ...."

"Kenapa, Han?! Si Bang Bian itu emang harus dapet pelajaran, dasar, ya! Kali ini, Nafi mau marah sama dia," balas Nafi.

"K-kamu salah paham, Fi." Hana menghela napas, menenangkan dirinya lalu beristigfar. "Tadi dia nabrak Hana, terus karena tadi Hana mau jatuh, Hana refleks narik bajunya ... tadi dia cuma jatuh dan nindih Hana. Tapi, pas dia mau berdiri, kakinya nyangkut sama gamis Hana, Fi. Jadi, dia balik nindih Hana terus ...." Hana menggantung ucapannya, gadis itu menunduk.

Nafi membulatkan matanya, gadis berambut hitam legam itu kembali memeluk tubuh Hana, terdengar temannya itu masih terus saja beristigfar. "Han, gak apa-apa, kok. Gak sengaja, kan?" ucapnya, "sekarang, kita ke bawah, yuk? Kita jelasin ke Om Jaya sama Tante Wina."

Hana mengangguk, terdiam sejenak untuk menenangkan diri, lalu mengikuti langkah Nafi keluar kamar.

"Ini bukan yang pertama kalinya, ya, Bian!" Hana terkaget, karena baru saja ia keluar kamar, ia langsung mendengar suara orang marah di bawah.

"Gak apa-apa, Han. Ayo," ajak Nafi, seakan tahu apa yang di pikirkan oleh temannya itu.

"Ayah masih diem ya kemarin-kemarin, Ayah masih tahan. T-tapi sekarang? Kamu udah bertindak melewati batas, apalagi sama gadis yang kayak gitu." Mendengar itu, Hana langsung menghentikan langkahnya. Menghela napas lalu memejamkan mata, entah maksud gadis seperti apa yang baru laki-laki paruh baya itu ucapkan, namun, kata-kata itu mampu membuatnya merasa tersudut.

"Kamu sekarang udah berani, ya?! Bertindak gak sopan sama gadis yang berpakaian serba panjang kayak gitu?! Kamu liat Mama kamu, apa kamu rela Mama kamu juga ngerasain kayak gadis itu, ha?!" Hana menunduk, ternyata, maksud gadis yang diucapkan laki-laki paruh baya itu adalah apa yang baru saja ia denger.

"Aya--"

"---Apa?! Jangan mengelak, Abian!"

Hana menggenggam tangan Nafi, sepertinya laki-laki itu belum sama sekali tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Merasakan tangannya di genggam, Nafi menoleh, menatap Hana yang menunduk. Setelah itu, ia mengajak Hana melangkah mendekati orang-orang yang ada di ruang tengah.

"Om," panggil Nafi, yang langsung membuat laki-laki itu menoleh menatapnya.

"Ada apa?" tanya Wijaya---nama laki-laki itu--- dengan suara yang melembut.

"Ini semua salah paham, Om," ucap Nafi, lalu melepaskan genggaman tangan Hana dan menatap Abian--nama laki-laki yang tadi menabrak Hana-- yang ada di samping sang Ibu. "Tadi Bang Bian nabrak Hana, terus mereka berdua jatuh."

"Apa?" Wijaya mengerutkan keningnya, membuat Nafi langsung menjelaskan semuanya.

"Y-yang Nafi omongin bener, Om. Ini gara-gara Hana narik baju putra Om, maaf." Hana memberanikan diri berucap setelah Nafi menjelaskan semuanya. Gadis itu meremas tangan pucatnya sembari menatap ujung kakinya yang terbalut kaos kaki.

Wijaya tampak menghela napas, laki-laki itu mendudukan dirinya dan menatap Abian. "Tapi tetep aja, Ayah masih marah sama kamu, Bian. Ini bukan pertama kalinya Ayah liat kamu kayak gini," ucapnya pada sang putra. "Kamu harus berubah, Abian."

"Yah, Ayah udah denger, kan? Ini semua salah paham." Abian menatap ayahnya.

"Ayah tau, Ayah udah denger sendiri. Tapi, sebelum-sebelumnya itu apa, Bian? Ayah sering ya liat kamu sama perempuan-perempuan gak jelas itu. Dan Ayah udah peringatkan kamu, kan? Kamu ini muslim, Bian! Itu di larang!" balas Wijaya. "Harus ada orang yang bisa buat kamu berubah, kamu harus menikah secepatnya."

"Nikah?!" kaget Abian. "Umur Bian masih dua puluh tujuh tahun, Ayah! Ngapain Bian harus nikah di usia Bian yang segini?!"

Wijaya menatap putranya tajam. "Ayah dan Mama kamu udah seberapa kali ingetin ini sama kamu, supaya kamu jangan sampai berada di jalan yang salah. Dan sekarang, Ayah baru sadar, kalau ternyata, kamu itu butuh orang yang bener-bener bisa buat kamu berubah," katanya, "dan itu bukan Ayah atau Mama kamu lagi."

Hana sedari tadi terus saja meremas jari-jarinya, seharusnya ia tidak ada di suasana seperti ini. Namun, ini semua terjadi karenanya. Ia semakin menunduk, saat melihat tatapan Wijaya tertuju padanya.

"Siapa namanya, Fi?" tanya Wijaya pada Nafi.

"Hana, Om," jawab Nafi langsung.

Senyuman Wijaya tertarik. "Hana, kayaknya kamu orang yang cocok buat putra saya," ucapnya yang langsung membuat semuanya tertegun.

"Kalau emang iya kamu bersedia, saya akan melamar kamu," ucapnya, "untuk putra saya."

"APA?!"

TBC

Mohonmaaf bila ada kesalahan penulisan😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡

HANABIAN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang