"A-ayo kita salat berjamaah, Han!"
Hana terdiam sejenak menatap Abian. Tidak mungkin, kan, ia menolak hal seperti ini? Akhirnya, perempuan itu mengangguk, lalu berjalan menuju kamarnya dan diikuti oleh Abian.
"Kak Bian wudu dulu, biar Hana siapin alat salat-nya," kata Hana saat mereka sudah sampai di kamar. Perempuan itu berbicara dengan nada datar, juga tanpa ada ekspresi apapun di wajahnya.
Hana berjalan menuju lemarinya, mengambil satu sejadah dan menggerainya di dekat ranjang. Setelah itu, mengambil sejadah lain dan menggerainya di belakang sejadah tadi. Perempuan itu menghela napas, ia tidak mau munafik dengan bilang kalau ia tidak senang dengan semua ini.
Hana senang, sangat senang. Apalagi, ini adalah kali pertamanya ia salat berjamaah dengan sang suami setelah hampir satu bulan menikah. Perempuan itu selesai menyiapkan alat salat bertepatan dengan Abian yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah berwudu.
Tanpa sepatah kata, Hana melangkah masuk untuk berwudu juga. Lalu kembali dan memakai mukenanya. Abian juga sedari tadi diam, memperhatikan istrinya yang terlihat memasang wajah datar. "Kalau emang gak mau salat berjamaah, gak apa-apa," kata laki-laki itu.
Hana menggeleng, lalu memposisikan dirinya di belakang Abian. Membuat senyuman kecil terlihat di wajah laki-laki itu. Abian menghela napas, membenarkan posisinya dan memejamkan mata membaca niat. "Allahu akbar ...."
Hana mengikuti gerakan Abian, memejamkan mata dan mendengarkan suaminya itu membaca ayat suci Al-Qur'an untuk pertama kalinya.
"Assalamualaikum warahmatullahi ...."
"Assalamualaikum warahmatullahi ...."
Mereka menyelesaikan salatnya. Setelah itu, Abian langsung membalikan badannya dan menatap istrinya yang masih menunduk. "Han," panggilnya lembut. Membuat Hana meneggakan kepalanya membuat manik keduanya kini bertemu.
Abian mengubah posisinya menjadi duduk di sebelah Hana. Tersenyum tulus pada istrinya itu lalu berucap, "G-gue harus gimana lagi? Biar lo yakin kalau gue bener-bener mau berubah."
Hana tidak merespon ucapan Abian. Membuat Abian menghela napas lalu menunduk. Tangan laki-laki itu bergerak menggenggam tangan Hana dari balik mukena yang di kenakan istrinya itu. "Mau sampai kapan kita kayak gini, Han?" tanyanya lagi.
"Lo mau gue berubah, kan? Sekarang, gue bakal berubah. Dan ya, gue butuh lo buat itu." Abian meneggakan kepalanya. "Yang gue lakuin ke lo emang bakal susah lo lupain. Gue emang berengsek, gue harusnya gak lo maafin. Tapi ayolah, b-bantu gue."
"Lo istri gue. Jadi, kasih gue kesempatan buat perlakuin lo sebagai istri, ya? Gue gak tau, tapi gue gak mau lo terus kayak gini." Abian mengeratkan genggamannya. "Ayo, Han. Kita buat pernikahan kita kayak pernikahan yang lo mau."
Hana menghela napas. "K-kak ...."
"Lo boleh luapain emosi lo sama gue. Ta-tapi tolong, jangan menghindar terus kayak gini," lirih Abian. "Kalau kita terus ada di situasi kayak gini, kapan semua ini berakhir?"
Detik itu juga, tangis Hana kembali pecah. Membuat Abian langsung merapatkan tubuhnya dan membawa istrinya itu ke dalam pelukannya. "K-kak Bian jahat, tau gak?" lirih perempuan itu.
"Iya, gue emang jahat ... lucu, ya? Padahal gue sendiri yang pertamanya mau lo pergi dari hidup gue ... tapi sekarang, gue yang ngemis-ngemis biar lo balik lagi." Abian tertawa hambar.
Hana memukul dada Abian lemah sembari terus terisak. "H-hana g-gak bisa, hiks ...."
Abian mengeleng. "Lo bisa, Han. Lo harus bisa nerima gue lagi. Boleh gue maksa?" ucapnya, "gue mohon, Han. Gue tau lo masih belum bisa maafin gue, tapi tolong, jangan kayak gini."
"Udah, ya, nangisnya? Gue gak mau lagi, perempuan kuat yang ada di pelukan gue ini nangis karena si laki-laki berengsek ini." Abian kini melepaskan pelukan dan genggamannya, lalu menatap Hana dan menghapus air mata di pipi perempuan itu. "Kasih gue kesempatan ya, Han?"
Hana menghela napas, lalu menunduk menenangkan dirinya. "Kak Bian pulang, ya? Kak Sarah bentar lagi pulang, kalau Kak Sarah liat Kakak di sini, bakal jadi masalah." Bukannya membalas ucapan Abian, perempuan itu malah menyuruh Abian segera pergi.
"Gue gak mau pulang, Han. Kecuali pulangnya sama lo," kata Abian. "Ayo, kita pulang ke rumah kita, Han."
Hana menggeleng.
"Ya udah, gue tidur di sini aja." Abian bersikeras. "Tapi, Han? Bukannya seorang istri harus ikutin kemana suaminya melangkah?"
Hana menghela napas. "Kak Sarah gak ak--"
"Sarah? Masalah Sarah biar gue yang urus, Han. Sekarang, pulang sama gue, ya? Gue mohon, Han." Abian memotong ucapan Hana. "Kalau lo emang kasih kesempatan ke gue sekarang, gue janji, gak akan sia-siain kesempatan yang lo kasih."
Hana terdiam sebentar dan menatap Abian. "Maafin Hana, Kak," lirihnya, "t-tapi Hana gak bisa ...."
Abian menatap Hana penuh harap. "Gue mohon, Han. Ayo pul--"
"Han-- eh? Ngapain lo di sini?!" Abian dan Hana langsung menoleh pada sumber suara. Ya, siapa lagi jika bukan Sarah yang kini berdiri di dekat pintu kamar Hana. "Pergi, lo! Berani banget lo ke sini!"
Hana langsung berdiri. "Kak, jangan gitu," katanya lalu mendekati Sarah.
"Jangan apanya?! Ngapain lagi lo bolehin si berengsek ini ke sini?" Sarah menatap Hana, lalu menatap Abian setelahnya. "Gue udah bilang, kan? Jangan lagi lo temuin adik gue!"
Abian balik menatap Sarah. "Emang salah, ya? Gue temuin istri gue sendiri? Dan ya, kayaknya gue lebih berhak sama Hana dari pada lo," balasnya, "gue mau bawa Hana pulang, Sar."
"Lo bilang dia istri lo, tapi gak pernah bersikap baik sebagai suami. Emang pantes?!" tajam Sarah.
Abian menghela napas. "Please, gue gak mau ribut. Gue cuma mau istri gue balik lagi."
"Setelah apa yang lo lakuin sama dia?"
"Gue udah bilang, kan, Sar? Gue bener-bener mau berubah. Tolong percaya gue, gue bakal bersikap baik sebagai suami buat adik lo," jelas Abian. "Gue bakal berusaha buat adik lo bahagia sekarang."
Hana menoleh menatap Abian, perempuan itu tersenyum kecil mendengar penuturan suaminya itu.
"Gak! Gue gak akan percaya semudah itu sama lo!" balas Sarah.
"Gue harus apa biar lo percaya? Biar kalian percaya sama gue?" Abian mengusap wajahnya. "Tolong kasih gue kesempatan buat buktiin semua ucapan gue. Bisa, kan?"
Hana menatap Sarah. "Kak," lirihnya.
"Gue ma--
Drttt drtttt
Abian langsung menunduk saat merasakan ponsel yang ada di saku celananya bergetar. Laki-laki itu langsung mengambilnya dan melihat siapa yang menelepon. Dan ternyata, yang menelepon adalah Wina.
Tanpa menunggu lama, Abian langsung menerima telepon itu, membuat Sarah pun sontak terdiam tidak menyelesaikan ucapannya. "Assalamualaikum, Ma. Ada apa?" kata Abian.
"B-bi, cepet kesini, hiks ...."
Mendengar mamanya yang terisak, Abian langsung khawatir. Laki-laki itu menenggakan tubuhnya. "Ada apa, Ma? Mama nangis?"
"A-ayah kamu ...."
TBC
Double up, terima kasih buat 50k pembacanya🥺❤Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan 😊
Terima kasih sudah membaca part ini ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
HANABIAN ✓
Espiritual[15+ || Selesai] Berawal dari kesalahpahaman, Hana dan Abian menikah. Hana Putri Abqari, si gadis albino yang sabar, harus menikah dengan Abian Pratama, si laki-laki dingin yang ketus dan kasar. Hana juga di minta untuk merubah sikap laki-laki itu...