"Apa Bun, menikah?!" tegas seorang gadis dengan kedua bola mata yang mulai memanas, tenggorokannya seakan-akan merasa tercekik kala mendengarkan hal itu. Ia menatap sang Bunda dengan tatapan tajam.
Menikah diusia tujuh belas tahun? Haura harap ini hanyalah mimpi dan tidak akan pernah terjadi seumur hidupnya. Demi apa ia menikah diusia semuda itu? Jangankan hamil di luar nikah, berkenalan dengan seorang pria pun ia tak pernah, karena Haura sedang menjaga kehormatannya sebagaimana ia menjadi sebaik-baiknya wanita.
Sedangkan wanita paruh baya yang ada di hadapan gadis itu hanya bisa terdiam dan bingung, ini memang terlihat cepat sekali jika Haura menikah tetapi jodoh tidak ada yang tahu. Sang Bunda berusaha untuk tersenyum. "Biar lebih jelasnya kita ke ruang tamu aja dulu, yuk. Udah ada tamu loh, gak baik kalau gak ditemuin," ujarnya mengalihkan pembicaraan.
Keduanya menuruni anak tangga, dan benar saja sudah ada pasangan suami istri yang setia duduk untuk menunggu kehadiran calon menantunya.
Haura terdiam.
"Monggo, diminum tehnya," tutur Hilda, wanita yang dipanggil bunda oleh Haura beberapa menit yang lalu.
"Iya terimakasih, Da. Ngomong-ngomong gimana? Apa kamu setuju?" tanya seorang wanita dengan pakaian rapi ala pekerja kantoran, berambut pendek, serta make up natural yang menghiasi wajahnya.
Hilda hanya tersenyum simpul. "Aku tidak tahu, selengkapnya kalian bisa tanyakan kepada Haura sendiri," ujar Hilda seraya menatap putrinya.
"Ma-maaf Tante, bukannya Haura menolak hanya saja Haura masih sekolah dan ... Haura mondok, Ta--"
Piuit!
Seorang pria dengan gaya angkuhnya bersandar di ambang pintu dengan seragam osis yang terlihat tak rapi, ia seraya bersiul untuk membuat semua orang yang ada di rumah ini menatap dirinya, ya, semua pandangan tertuju ke arahnya kecuali Haura. Gadis itu terus saja tertunduk karena ia ingat apa yang diajarkan selama ia mondok, yaitu menjaga pandangan dari lawan jenis.
Dengan rambut acak-acakan, baju osis yang kekecilan serta celana abu-abu yang terlihat sobek-sobek dan lusuh membuat pria itu terlihat seperti pria bar-bar, sungguh tidak ada kata 'pria sholeh' untuknya.
"Lo semua udah nunggu kehadiran gua dari tadi? Sorry, gua ada urusan soalnya makanya telat," ujar pria itu tanpa memakai bahasa sopan dan santun. Lo-gua? Memangnya begitu cara berbicara kepada orang yang lebih tua? Bahasanya tidak sopan!
Vara, wanita paruh baya berambut pendek itu mengepalkan kedua tangannya. "GLEN!" histeris Vara kemudian mendapatkan cubitan kecil dari Wira, suaminya.
Pria itu berjalan angkuh seolah-olah ia merasa sangat keren dan gaul. "Mana, nih katanya ini rumahnya calon bini gua, mana calonnya? Mama 'kan janji bakal cariin yang cantik yang aduhay, terus juga yang bahe--"
Vara kemudian berdiri dari tempat duduknya. "GLEN, MAJU KAMU!" teriaknya sehingga suaranya menggema di seluruh ruangan.
"Ma, jangan teriak-teriak ini di rumah orang," bisik Wira suaminya kemudian wanita itu menyengir.
"Eh, iya maaf ya, Da," ucapnya sambil tersenyum semanis mungkin, sedangkan Hilda hanya menganggukkan kepalanya.
"Gak papa kok Vara anggap saja rumah sendiri," tutur Hilda dengan lembut.
"Tau tuh Mama, gak sopan di rumah orang main teriak-teriak aja," celoteh pria bernama Glen yang tak mau kalah dari sang Mama.
Vara merasa sangat diuji kesabarannya, ia menatap horor putranya seakan-akan ia sedang mengatakan 'bisa tidak ya anak ini sehari saja tidak buat ulah?' Akhirnya dengan perasaan sabar Vara tersenyum.
"Glen, sini Mama mau bilang sesuatu ke kamu," ujar Vara dengan lembut seraya memberikan senyuman manis, semanis es gula batu.
"Tumben mau senyum biasanya tu muka kucel kayak Mak Lampir," ucap Glen yang tak henti-hentinya mengomentari.
Vara mengelus-elus dadanya. 'Sabar, Vara ini anak kamu, kalau anak pungut mungkin udah kamu tendang ke jurang,' batinnya, Vara tersenyum sambil menahan kekesalan.
"Glen tolong kamu ajak ke butik, ya? Calon istri kamu ini, sambil ngobrol-ngobrol biar kalian sedikit akrab," jelas Wira sambil mengelus-elus pucuk kepala pria ini.
Glen menatap Haura yang sedari tadi tertunduk. "Ini calon bininya, Glen, Ma? Kok gak montok, kok gak bohay terus juga kenapa nunduk terus? Dia punya kelainan? Dia ngalamin sekoliosis?" tanya Glen seraya mendapatkan injakan high heels dari Vara.
"A-aduh! Sakit tau," ringis Glen.
Vara mendekatkan bibirnya di telinga sang anak. "Yang sopan di rumah orang kalo gak mau dapet hukuman," bisik Vara yang membuat putranya merinding seketika.
"Yee kirain bakal dapet mobil baru," balas Glen.
"Bisa sopan gak kamu, Glen? Jangan bikin Mama darah tinggi ngadepin sikap kamu," bisik Vara kembali, kali ini lebih terdengar sangat menekan.
"Ya maap, ampun Mbak jago sorry Mbak jago." Duh, kenapa malah nyanyi? Glen seraya menangkupkan kedua tangannya dan ia gerakan maju mundur.
"Anak kamu kenapa jadi stres?" tanya Wira dengan berbisik di telinga Vara. Kemudian wanita itu membelalakan kedua bola matanya.
"Loh, sembarangan kamu. Anak aku anak kamu juga, kan kamu yang produksi," bisik Vara tak terima. Tolong tetaplah berpikir positif walau artinya negatif.
"Oh ya, Glen tolong kamu pilih baju-baju di butik sama Haura, ya? Nanti Mama sama Papa nyusul," titah Vara kemudian mendapatkan anggukan mantap dari Glen.
Kemudian pria itu mencekal erat pergelangan tangan milik Haura, sontak gadis itu menatap Glen kemudian ia kembali tertunduk, bibir mungil gadis itu seakan-akan berkata 'jangan sentuh aku, kita belum mahram.'
"Ayok Haura jalan-jalan sama Babang ganteng Glen," ujarnya. Ck! Dasar sableng, sedangkan Vara hanya menatap geli putranya.
"Pa, anak kita gak stres 'kan? Dia gak geger otak 'kan gara-gara kecelakaan kemarin?" tanya Vara seraya kembali berbisik di telinga Vara.
Ya, Glen kemarin malam mengalami kecelakaan akibat balap liar, itu memang hoby pria badboy ini.
"Enggak kok, gak stres. Cuma sedikit gila aja sama kayak Mama," ucap Wira dengan jujur, duh! sangat mencubit hati.
"Papa!" teriaknya namun berbisik, Vara kemudian menginjak kaki Wira sedangkan pria paruh baya itu meringis kesakitan. Benar apa yang dikatakan oleh Glen, Vara tidak jauh dari kata mak lampir.
Sementara itu Glen sudah membawa Haura ke halaman rumah dan bersiap untuk menaiki motor sportnya. Haura terlihat sangat cemas, ia memikirkan apa yang tidak pernah gadis lain pikirkan, yaitu mana boleh pasangan bukan mahram berboncengan seperti ini? Sekalipun akan menikah.
"M-maaf, Kak kenapa kita gak pake mobil atau naik angkot aja? S-soalnya a-ak--"
"Kelamaan, mending pake motor cepet nyampe, lo belum pernah 'kan naik motor bareng gua? Lo harusnya bersyukur karena gua dengan lapang dada mempersilahkan lo buat naik motor sama gua soalnya di luaran sana banyak ciwik-ciwik yang ngantri naik motor bareng gua cuma karna pengen nempel-nempel doang," jelas Glen panjang lebar. Sejujurnya ini tidak penting untuk Haura, gadis itu tak akan paham.
"Ta-tapi 'kan, Kak kita bukan mahram karena belum menikah," ucap Haura sambil sesekali menatap Glen.
Pria itu tersenyum miring. "Nanti 'kan kita juga bakal nikah," ujar Glen.
Pria itu menatap Haura yang tengah bingung. "Kenapa? Lo gak sabar, ya buat malam pertama nanti? Lo emang gak bohay dan aduhay sama yang gua pinginin tapi malam pertama nanti gua bakal ngasih yang lebih kok buat lo, kalo lo kurang, lo boleh minta lagi," jelas Glen seraya mengedipkan sebelah matanya kemudian memakai helmnya dan menaiki motor sportnya.
Astagfirullah! Bukan percakapan seperti ini yang Haura inginkan! Tolong positifkan pikiran Haura ya Allah!
Next Or Stop?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah Dengan Badboy [REVISI]
Teen FictionHaura Almahya Syiffani Siapa sangka gadis berhijab yang sempat menuntut ilmu di pesantren harus menikah dengan seorang cowok tengil seperti Glen? Perjodohannya begitu klasik, dimana dilakukan saat usia keduanya sama-sama masih duduk di bangku SMA. N...