Buagh!
Rena menunjok pipi kanan milik Tesya. Sang empu sempat memalaingkan wajah. Lalu, ia melirik ke arah Rena dan tersenyum miris.
Diraihnya sudut bibir yang berdarah, Setelah itu kembali menatap Rena dengan nyalang.
"Gua sebenernya masih bisa nolong lo. Tapi, lo terlalu bego, Sya sampe-sampe lo bikin gua sakit hati!" tegas Rena. Tesya hanya memicingkan matanya.
Ia berusaha berdiri tegak dengan tahanan tali di kedua tangan dan kakinya. Walau pun ada tali yang dapat menopang tubuhnya, jujur saja Tesya sangat lelah bertahan. Badanya terasa pegal. Belum lagi rasa perih yang menjalar di kulitnya akibat gesekan dari tanah dan batu-batu kerikil lainnya saat Rizal menyeretnya.
"Yang bego di sini siapa? Jelas-jelas lo ngikutin jalan yang salah masih aja pertahanin. Lo gak hanya bego! Lo juga bolot! Apa yang gua ucapin gak nyangkut di otak. So, kalo lo mau bego ya bego aja jangan ajak gua!" bantah Tesya. Ia tak habis pikir, kalau Rena masih saja mau bergabung dengan orang-orang toxic seperti Rizal dan lainnya. Ingin membuka hatinya sepertinya sudah terlambat.
"Bener ternyata, kalo udah menyangkut sama masalah cowok pasti lupa sama sahabatnya," ucap Rena. Tersenyum sinis
"Ah, lo ngelupain satu hal. Lo juga suka sama Bidin 'kan?" tanya Tesya sesantai mungkin.
Rena langsung melotot tajam. "Tapi gua gak munafik kayak lo! Gua mulai juga udah gak ada hubungan apa-apa sama dia!"
"Lo lebih munafik. Kasian, udah pdkt tapi gak jadian," ejek Tesya. Rena mengepalkan kedua tangannya.
Ia ingin mendaratkan kembali sebuah pukulan untuk Tesya. Namun, Rizal dengan cepat mencegahnya.
"Siapa yang lebih kasian? Rena yang pdkt kagak jadian atau lo yang hampir jadian tapi dibenci secara dadakan, udah gitu Gara ogah ketemu sama lo," cecar Lidya. Raut wajah Tesya yang tadi terihat santai kini mulai memerah.
Bukan karena amarah, namun karena sedih. Hatinya bagai tersambar petir, kedua bola matanya memerah menandakan air mata sudah terbendung dan hendak mengalir.
Tesya langsung mengangkat kepalanya dan menatap ke arah langit-langit. Bagaimana mungkin dia menangis di sini? Ingat! Jangan terlihat lemah di hadapan musuh! Itu yang sempat Tesya pikirkan.
Lidya tersenyum miring, ia kemudian mendekat ke arah Tesya dan meraih ujung dagunya. Ia belai dengan lembut sambil sesekali menatap wajah gadis itu penuh makna.
Plak!
Lagi-lagi Tesya mendapatkan serangan dadakan. Ia meringis kesakitan, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Apakah ini adalah karma baginya karena sudah mengkhianati anak jervanos? Jika iya, Tesya terima jika hidupnya akan berakhir.
"Kalo gua gak bisa dapetin Gara, lo juga gak boleh dapetin Gara!" seru Lidya.
Jleb!
Gadis berlesung pipi itu langsung menusukan sebuah benda tajam ke arah perut Tesya.
Rena terbelalak. Sementara Rizal langsung berdiri dari tempat duduknya.
"LIDYA!" Rizal sudah menatapnya dengan sangat garang.
"G-gua ... gua khilaf," ujarnya terbata-bata. Lalu belati itu pun di jatuhkan oleh Lidya, ia menatap Tesya yang sudah menitikan air mata serta darah yang menetes-netes ke lantai.
"Sya ...," lirih Rena. Ia mendekat ke arah Tesya. Dengan cepat ia langsung memeluknya.
"Sya maafin gua," isaknya. Air matanya sudah berderah. Rena langsung kembali menatap ke arah Tesya, ia tepuk beberapa kali pipi sahabatnya itu namun Tesya sudah kehilangan kesadarannya.
"Sya ... bangun!" rintihnya. Ia berusaha mengecek nadi milik Tesya. Namun ....
"SYAA! GUA MINTA MAAF!" tangisnya histeris. Ia peluk dan terus menatap ke arah Tesya. Namun gadis itu tak bergerak sedikit pun.
"Panggil dokter!" pinta Rizal terhadap Lidya.
"Ngapain pake diperiksa segala sih? Paling udah koit juga!" bantah Lidya.
"Kalo Tesya gak bisa sadar lagi. Siap-siap aja nerima hukuman dari gua!"
"Doni, Tino! Tolong hubungi dokter Robert!" seru Rizal. Keduanya langsung mengangguk dan kemudian mengeluarkan ponselnya.
Rizal sesekali melihat ke arah Rena. Ia berteriak histeris. Gadis itu meraba perut Tesya yang masih meneteskan darah. Rena merobek separuh baju miliknya lalu ia ikat ke perut sahabatnya agar darahnya tak keluar sangat banyak.
"Gua gak bakal maafin lo, Lidya!" teriak Rena.
Lidya mundur beberapa langkah. Degup jantungnya berpacu lebih cepat.
Rizal langsung menarik tangan Lidya dan mengajaknya keluar.
"Kayaknya kalo gua belum lenyapin yang namanya Gara. Lo belum kapok juga ternyata," ujar Rizal. Ia menatap ke arah Lidya dengan pandangan berapi-api.
Setelah itu ia meraih ponselnya dan hendak menghubungi seseorang. "Bang ... Bang! Jangan!" teriak Lidya. Ia berusaha mencegah Rizal. Namun, pria itu berjalan menjauh.
"Plaese! Bang Rizal!"
Rizal menepis tangan Lidya.
"Halo, Han. Gua ada tugas buat lo."
[ .... ]
"Tanpa gua jelasin lo juga tau apa yang harus lo lakuin."
[ .... ]
"Doni sama Tino yang bakal ngasih tau orangnya," ujar Rizal. Ia langsung mematikan ponselnya.
Lidya hendak merebut ponsel milik Rizal. Namun, pria itu langsung membantingnya hingga rusak berkeping-keping.
Sialnya! Lidya tidak tahu Han yang Rizal maksud. Apalagi ia tak memiliki kontak anak buahnya Rizal selain Aldo. Payah!
Rizal menatap ke arah Lidya dengan seksama. Setelah itu ia berjalan pergi meninggalkan adiknya.
"Arrghh!" teriak Lidya dengan frustasi. Ia mengepalkan kedua tangannya.
"AWAS LO BANG! KALO SAMPE GARA KENAPA-NAPA HIDUP LO BAKAL TERANCAM!" teriak Lidya. Rizal? Tak perduli sama sekali.
Karena menurutnya jika Lidya ingin menghancurkan hidup seorang Rizal. Dapat dipastikan ia tak bisa berbuat apa-apa. Bisa saja Rizal mencoret nama Lidya yang saat ini menyandang status sebagai adiknya.
Rizal memutuskan untuk kembali dan melihat kondisi Tesya. Saat ia sudah melangkah masuk. Pria itu dikejutkan dengan sesuatu.
Kemudian ia tersenyum manis
NEXT?
![](https://img.wattpad.com/cover/255702871-288-k820724.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah Dengan Badboy [REVISI]
Fiksi RemajaHaura Almahya Syiffani Siapa sangka gadis berhijab yang sempat menuntut ilmu di pesantren harus menikah dengan seorang cowok tengil seperti Glen? Perjodohannya begitu klasik, dimana dilakukan saat usia keduanya sama-sama masih duduk di bangku SMA. N...