Part 44 [Jangan coba-coba kabur]

1K 85 5
                                    

Tesya menglangkah 'kan kakinya mendekat ke arah anak-anak jervanos yang sudah berkumpul di kantin. Gadis itu tersenyum manis.

"Gua dateng, pagi semua," sapanya. Yang lain membalas sapaan Tesya kecuali Gara, ia hanya terdiam. Jangankan membalas senyumannya, ia bahkan tak menoleh ke arah Tesya sedikit pun.

"Gar, lo udah sarapan?" tanya Tesya. Gara hanya diam, entah lah mungkin dia masih marah dengan gadis ini.

"Gar ...," panggil Tesya kembali. Tetap saja tak ada jawaban dari pria itu. Tesya akhirnya mendunduk, mungkinkah kesalahannya amat sangat fatal sehingga Gara menjauhin gadis itu?

"Gar, Tesya nanya kok lo diem aja?! Gak sopan," timpal Bidin. Lantas pria itu menoleh sebentar ke arah Tesya lalu menghela napas kasar.

Tatapan Gara kini berubah menjadi sangat dingin.

"Mata lo buta?! Liat ada mangkok di depan gua!" balas Gara terhadap Tesya. Kata-katanya sangat menyinggung perasaan gadis ini, Tesya tertunduk. Rasa perih di hati begitu terasa, secepat inikah Gara berpaling darinya?

"Eh, Bro! Tesya nanya baik-baik tapi lo malah nyolot. Dia punya perasaan Gar," bela Ega. Gara tak mengubris ucapan kawan-kawannya, ia segera menendang kursi kantin hingga pengunjung kantin tersentak kaget setelah itu Gara dengan 'bodo amat' pergi meninggalkan semuanya.

"Gara makin lama minta di geprek emang," desis Bidin.

"Mungkin lagi butuh waktu, udah biarin aja pasti nanti baikan lagi," jelas Glen. Ia lantas meraih ponselnya. Pria itu mengernyit memikirkan Haura, kemana Haura? Mengapa sejak tadi tidak ada di rumah bahkan gadis itu sama sekali tak mengabarinya.

"Maafin gua," lirih Tesya. Kedua bola matanya kembali berkaca-kaca. Semuanya saling berpandangan, ada rasa sedikit bersalah ketika melihat Tesya menunduk sedih seperti ini.

"Sampein maaf gua ke Gara. Please," lanjut Tesya. Kali ini ia menangis sejadi-jadinya membuat seluruh pengunjung kantin menatapnya dengan tatapan aneh.

Hana menghela napas, ia mendekat ke arah Tesya lalu mendekapnya dalam pelukan.

"Kak, jangan nangis. Mungkin Bang Gara lagi butuh waktu sendiri, Kakak ngertiin, ya?" tanya Hana. Di saat-saat seperti ini Tesya menyadari bahwa Hana yang masih ada untuknya. Kemana Rena? Gadis itu tak kelihatan sama sekali.

"Kayaknya untuk saat ini lo jangan deket-deket Gara dulu. Gua gak tau sampe kapan dia bakal giniin lo, ngertiin Gara sedikit aja." Katroy menimpali. Dapat ia lihat wajah sembab milik Tesya, kedua matanya mulai membengkak dikarenakan semalam Tesya sudah menangis.

"Hmm, Gara itu butuh perhatian," ucap Very. Ia sambil menaruh tangannya di pundak milik Hana.

"Sok tau," kata Bidin. Ia menatap nyalang ke arah pria itu.

"Ya kali si Gara cewek pake butuh perhatian segala," celoteh Ega tak mau kalah. Menurut dua curut ini si Very terlalu sok tau dengan urusan orang lain.

"Gak percaya? Coba aja sendiri," usul Very.

"Coba gih, Tes, kali aja si Gara balik lagi moodnya," timpal Bidin.

Tesya menghapus air matanya, ia tersenyum dan mengangguk. Segera ia pergi mencari Gara.

Kedua matanya melihat Gara sedang duduk di taman baca. Tesya dengan semangatnya menghampiri dan membawa cemilan untuk Gara. Pria itu tengah membaca buku dengan sangat santai.

"Gara, ini gua bawain cemilan buat lo."

Gadis itu menyodorkan satu kresek hitam kecil.

"Gua gak laper!" ketus Gara dengan sangat dingin.

"Bohong! Lo aja gak habis makan di kantin."

Gara menutup bukunya dan menatap tajam ke arah Tesya.

"Lo mau apa, sih? Gua bilang jangan deket-deket gua! Makanan lo?" Gara menerima dengan kasar cemilan yang diberikan oleh Tesya. Lalu ia jatuhkan dan dengan entengnya Gara menginjak-nginjak makanan itu.

Tesya melemah. Air matanya kembali menetes. Kini orang-orang di perpustakaan menggeleng-geleng, padahal di sini tidak boleh berisik.

"Gar, segitu bencinya lo sama gua?"

"Pergi!"

"Gua minta maaf ...."

"Gua bilang pergi!"

"Gar, t-tapi gua--"

"Gua yang pergi," lanjut Gara. Ia melangkahkan kakinya meninggalkan Tesya.

"Maaf, Mbak. Saya udah nyapu loh tadi, mohon maaf Mbaknya gak boleh kembali ke kelas dulu bersihin ini jajanannya," jelas penjaga perpustakaan.

Tesya akhirnya pasrah dan mengangguk. Pikirannya sangat kacau, bahkan ia sudah memutuskan untuk tidak kembali ke rumah Rizal.

Tiba-tiba seseorang menginjak kembali lantai yang baru saja Tesya sapu. Tesya menoleh mengangkat kepalanya untuk melihat siapa dia.

Terkejut!

Rizal sudah menatapnya dengan sangat tajam. Tesya dibuat mati kutu dengan semua ini, sial! Di saat-saat hancur seperti ini dia harus berurusan dengan Rizal.

Pria itu menyimpan sebuah arti dari tatapannya.

Lalu Rizal melempar sebuah kertas ke arah Tesya setelah itu pergi tanpa sepatah kata pun.

Seisi kantin dibuat iri dengan Tesya. Bisa-bisanya dia dekat dengan guru tampan di sekolah ini.

Iri? Tetapi bagaimana dengan kenyataannya bahwa Rizal adalah orang yang sangat menakutkan. Siapa pun yang sudah mengenalnya akan terus bermasalah dengan pria itu.

Setelah itu bagaimana nasib Tesya? Apa Rizal akan memaafkannya atau ...?

'Gua tunggu di rumah.'

Sebuah tulisan dengan bercak berwarna merah. Tesya perlahan-lahan mendekatkan kertas itu ke arah batang hidungnya.

Bau anyir darah!

Cepat-capat ia merobek dan membuangnya di tong sampah.

Ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Lantas ia mendapatkan sebuah notifikasi.

Rizal:

[Jangan coba-coba kabur atau gak dateng. Gua bakal ngelakuin hal lebih yang gak bisa lo lupain!]

Ia melihat kembali, Rizal berdiri di balik tembok karena sedang mengawasi Tesya. Lantas ia pergi begitu saja setelah Tesya melihatnya.

"Gu-gua harus dateng!" ucap Tesya dengan sangat mantap.

Bersambung ....

Menikah Dengan Badboy [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang