"Haura, nanti setelah kamu menikah dengan Glen, kamu di Jakarta mau satu rumah sama Mama, Papa atau kalian pengen punya rumah sendiri?" tanya Vara yang membuat Haura susah payah meneguk salivanya.
Apa yang harus ia katakan?
Sementara Haura sesekali menatap Glen yang kini sedang menghisap puntung rokoknya.
"Glen maunya kita punya rumah sendiri," tukas pria itu kemudian membuang bekas rokoknya dan menginjaknya.
Haura tak bisa berpikir jernih kala Glen mengatakan hal itu.
"Oke, Mama hargai keputusan kamu, Glen," balas Vara kemudian mengangguk paham.
"kalo kamu, Haura?" tanya wanita paruh baya itu.
"Haura ikut aja, Ma." Gadis itu kemudian tertunduk.
"Oke, Haura kamu mau 'kan ngelanjutin sekolahnya di Jakarta? Kamu bakal ngelanjutin di sekolahnya Glen. Jadi kalian kalo berangkat ke sekolah bareng, gak papa 'kan? Lagian kalian nanti juga udah sah," jelas Vara yang membuat gadis itu membelalakkan kedua bola matanya.
Tidak-tidak! Itu adalah kenyataan terburuk bagi Haura, masa iya dia harus pindah sekolah dan gak mondok lagi?
Gadis itu menatap Hilda dengan tatapan sayu. "Bun ...," lirihnya dengan kedua bola mata berkaca-kaca.
Sedangkan Hilda hanya tersenyum kemudian membelai lembut pucuk kepala putrinya. "Gak papa toh, Nduk, kamu 'kan sambil belajar."
"Ta-tapi, tapi Bunda sendiri di rumah gak ada Haura," ujar gadis itu merasa sedih.
"Enggak kok, nanti Bunda suruh Budhe Ratih tinggal di sini yang penting kamu jaga diri baik-baik dan Glen sebisa mungkin kamu harus melindungi Haura ya, Nak," tutur Hilda.
Kemudian pria itu merangkul pundak Haura yang membuat gadis itu memutarkan kedua bola matanya.
Sudah kubilang Glen, kalian bukan mahram?!
Budek!
"Tenang aja Mama mertua, Haura aman kok sama Glen yang ganteng dan dermawan ini. Siapa, sih yang gak kenal dengan seorang Glendara Panduarta Dillingham? Semua juga tau akan ketampanan, kecerdikan, dan kepintaran seorang, Glen. Iyakan, Mama?" Glen memicingkan pandangannya ke arah Vara sang Mama yang dibalas dengan tatapan bengis.
"Anak pungut gak usah belagu kamu, Glen!" seru Vara.
Glen membulatkan kedua bola matanya. "Jadi Glen selama ini anak pungut?! Mama jahat banget mungut Glen di tempat sampah," cicit Glen dengan perasaan pilu.
"Anak durhaka! Bilang makasih gitu, kalo gak Mama pungut kamu gak hidup mungkin kamu udah berenang-renang ke tepian neraka jahanam," cerca Vara panjang lebar.
Mengapa ibu dan anak terlihat sama-sama setres?
"Mama kaya tau neraka aja, oh ya, Ma Glen mau nanya."
"Tanya apa?"
"Burung Pawira warna apa?" tanya Glen yang membuat wanita paruh baya itu kebingungan.
Setahu Vara tidak ada burung namanya Pawaira, memangnya itu burung jenis apa?
Karena tidak tau jawabannya, Vara pun menjawab ngasal.
"Warna cokelat mungkin," jawab Vara sedikit ragu.
"What the jrot?! Emangnya burung Papa warna cokelat? Mama pandangin terus?!" Glen berhisteris yang membuat Vara dan tentunya Wira sang ayah membelalakan kedua bola matanya.
Anak tidak ada akhlak!
Tentu saja Vara merasa malu terhadap Haura dan Hilda karena kelakuan anaknya sangatlah durhaka, dengan otak mendidih wanita itu mengangkat high heelsnya kemudian melemparnya ke arah Glen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah Dengan Badboy [REVISI]
Teen FictionHaura Almahya Syiffani Siapa sangka gadis berhijab yang sempat menuntut ilmu di pesantren harus menikah dengan seorang cowok tengil seperti Glen? Perjodohannya begitu klasik, dimana dilakukan saat usia keduanya sama-sama masih duduk di bangku SMA. N...