Haura terus berlari, hingga sampai ke jalan raya. Namun tubuhnya lemas seketika saat melihat mobil Iwan sudah berjalan meninggalkannya. Dia lupa mengatakan kalau dirinya ingin keluar sebentar dari mobil.
"Astagfirullah haladzim ya Allah, aku harus gimana," rintihnya dengan harapan yang hampir putus asa. Haura mengusap wajahnya dengan sangat kasar. Rasanya ia ingin menangis saat ini juga.
Akhirnya Haura terpaksa berjalan kaki hingga menemukan tumpangan. Semoga saja ia tak ada Doni dan Tino yang menemukan dirinya.
Sedangkan Glen mondar-mandir tak karuan. Sudah dua hari Haura menghilang, ditelpon pun tak pernah diangkat. Apa Haura marah karena Glen diam-diam keluar jam dua belas malam, waktu ia hendak tawuran dengan Aldo.
"Lu dimana sih, Ra? Bikin gua khawatir aja," gerutu Glen. Hatinya merasa sangat cemas karena memikirkan keberadaan sang istri yang entah saat ini ada dimana.
Glen memutuskan untuk pergi ke basecamp, siapa tau teman-temannya sempat melihat Haura kemana perginya. Eh, tetapi bagaimana mungkin? Sedangkan Haura menghilang sejak dirinya sudah sampai di rumah saat setelah selesai bertawuran.
Pria itu juga tersadar. Bunda? Wanita paruh baya itu. "Apa Haura pergi sama Bunda, ya? Tapi kemana coba?" tanyanya terhadap dirinya sendiri.
"Assalamu'alaikum." Glen menoleh ketika mendengar salam. Bergegas pria itu keluar, ia menghela napas lega. Ternyata sudah ada Bunda, kedua orang tuanya, dan ... pria itu mengernyit.
"Dia siapa Bund?" tanya Glen sembari memicingkan matanya. Ia melihat seorang pria dengan gaya yang sedikit sok cool.
"Kenalin, gua Iwan cowok yang sempet mau dijodohin sama Haura," ucap pria itu. Tentu saja dia sangat ngawur, memangnya Glen akan merasa kepanasan? Tentu saja tidak.
"Oh," sahut Glen dengan singkat. Ia melihat ke arah sang Mama dengan tatapan sulit untuk diartikan.
"Kamu ngapain liatin Mama kayak gitu? Terpesona ya ngeliat Mama pake hijab?" tanya Vara dengan sangat PD. Glen terkekeh geli.
"Itu sanggul apa punuk unta, Ma? Tinggi amat," ejeknya tanpa merasa berdosa. Vara mengerucutkan bibirnya, ia mencebik kesal bisa-bisanya anaknya menertawakan dirinya di hadapan orang lain. Sedangkan Iwan? Ia juga terkekeh geli.
"Biadab banget kamu ya Glen, kayaknya suka banget ngeliat Mama ternistakan," cerca Vara. Wanita paruh baya itu kemudian menoleh ke arah Wira. Seketika Wira langsung terdiam, ternyata bapak sama anak sama saja suka menertawakan. Sedangkan Hilda hanya menggeleng pelan lantas tersenyum tipis.
Vara berlalu bergitu sama. "Eh, iya Bunda Haura mana?" tanya Glen. Hilda tersadar dan kembali mengedarkan pandangannya.
"Haura ...? Iwan, Haura kemana?" tanya Hilda, wanita itu sontak terkejut karena tak mendapati sosok putrinya. Dilihat pun sepertinya mobil sudah kosong, tak menemukan tanda-tanda Haura di sana.
"Aduh, Iwan gak tau Bund," balas pria itu sama-sama merasa cemas.
"Emangnya Bunda sama Haura habis kemana?" tanya Glen. Kedua netranya menatap tajam ke arah Iwan.
"Itu Le, Haura tadi nyusul dan sempet cegat Bunda sama Iwan dia bilang kalo Budhe baik-baik aja padahal tadi Bunda dapet kabar dari Iwan kalo Budhe Ratih meninggal," jelas Bunda, wanita itu gemetar hebat.
Glen mendesah saat melihat Iwan tertunduk. "Lo ikut gua!" titah Glen dengan sorot mata tajam. Pria itu langsung membuntuti Glen.
Ada apa ini? Apakah semua ini ada hubungannya dengan Rizal? Kalau saja iya, Glen tak akan pernah memaafkan pria itu sedikit pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah Dengan Badboy [REVISI]
Teen FictionHaura Almahya Syiffani Siapa sangka gadis berhijab yang sempat menuntut ilmu di pesantren harus menikah dengan seorang cowok tengil seperti Glen? Perjodohannya begitu klasik, dimana dilakukan saat usia keduanya sama-sama masih duduk di bangku SMA. N...