Nine

389 28 0
                                    

"Lemah banget bocah!"

Samar-samar aku mendengar sederet umpatan yang terselip di kalimatnya. Aku mengerjapkan mata saat pusing masih mengusai, teras pusing dan berat saat membuka mata, tetapi lebih sakit lagi semua badanku yang rasanya remuk saat ini.

Mau tidak mau aku mengedarkan pandangan ke seluruh arah dan menemukan wajah laki-laki tidak berperikemanusiaan tadi berada di atas kepala. Benar-benar bikin orang jantungan.

Wajahnya datar, bahkan menjerumus ke arah muak. Okey, itu berlebihan. Tetapi, sangat tidak enak dipandang, benar-benar menebarkan aura permusuhan.

Aku menutup kelopak mata dengan lengan untuk menghalangi tatapan permusuhannya. Kepala maish pusing lalu ditimpa dengan lengan, rasanya tidak usah ditanya. Aku sendiri juga tidak akan melakukannya jika dia tidak berada di atas kepala seperti ini.

"Cepat bangun, mau sampai kapan tidur di situ?"

Laki-laki itu berdiri dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Satu alisnya yang terangkat dengan sangat curam membuatku benar-benar terintimidasi. Benar-benar wajah yang sangat buruk, tidak enak dipandang, auranya pun menjadi sangat mencekik.

Aku hanya mengikuti perkataannya saja tanpa membalas tatapan ataupun ucapan kejinya. Begitu duduk dan merenggangkan tubuh, suara tulang-tulang berbunyi dengan bersamaan dan pinggangku langsung terasa nyeri, leher pun tak jauh beda. Rasanya sakit bukan main. Ini pertama kalinya tulang di sekitar pinggang dan leherku berbunyi cukup keras. Bahkan saat aku mengepalkan seluruh jari tangan dan kaki, semuanya ikut berbunyi. Mendengarnya menyenangkan, tetapi rasanya tidak mengenakkan.

Laki-laki tadi berjalan menjauh dan kembali dengan membawa kresek beserta minum yang ditaruh tepat di sampingku. Tanpa mengucapkan apapun dia kembali menjauh berjalan ke gerumbulan anak-anak kecil yang ramai akan rasa penasaran saat menatapku.

Mereka kompak memalingkan wajahnya untuk menatapku tanpa repot-repot mendekat. Bagus, setidaknya begitu jauh lebih baik daripada dikerubungi lagi seperti tadi. Kepalaku bisa tambah pusing jika mereka di sekitarku.

Aku memutuskan pandangan dari tatapan sekumpulan anak kecil tersebut dan berpaling menatapa bungkusan makanan di samping. Yah, setidaknya dia peka jika aku membutuhkan 2 benda tersebut saat ini.

Aku langsung memakan makanan tersebut dalam diam sembari meresapi pusing kepala yang perlahan mulai mereda. Perlahan-lahan makanannya habis tanpa sisa, begitu aku meminum air ada satu gadis kecil sekitar berumur 6 tahun yang membawa boneka cukup usang berjalan ke arahku dan duduk di samping. Tidak banyak bicara, namun sorot matanya menampakkan semua pertanyaan yang ingin dia ucapkan.

Selesai minum aku terdiam dan menatap gadis tersebut. Saling bertatap-tatapan hingga aku sendiri lelah menunggu dia yang ingin bertanya, namun tidak terucap satu kata pun.

"Tidak mau bertanya?"

Akhirnya aku memulai percakapan untuk memancingnya. Dia hanya menggelengkan kepalanya dengan raut wajah lesu.

Bohongnya gak tanggung-tanggung.

"Tanya aja daripada penasaran."

Anak kecil itu menggelengkan kepalanya sekali lagi, tetap keukeuh pada pendiriannya.

"Nanti dimarahin Kak Arta," adunya sambil menunjuk kecil kumpulan tersebut yang terdapat laki-laki tadi. Aku mengangguk paham.

"Bisik-bisik aja." Aku mencondongkan tubuh untuk bicara dekat telinganya dengan suara lirih. Dia menatapku dengan senyum kemenangan diiringi kepalanya yang mengangguk lucu.

Aku mengangguk-angguk saat dia selesai bicara. Paham dengan yang dimaksud, meskipun kata-kata yang disampaikannya belibet.

"Gak tau, Kakak juga gak kenal." Aku menggelengkan kepala sembari menatapnya yang tengah kebingungan. Dia bertanya tentang siapa Kak Anna yang dipanggil oleh teman-temannya tadi.

Reyna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang