Suasan mencekam langsung menyebar ke seluruh ruangan, tidak ada tempat untuk bernapas dengan bebas. Begitu masuk rumah sudah banyak orang berkumpul di ruang tamu dan para pelayan serta penjaga mulai berjaga di depan pintu siap dengan peran masing-masing.
Jangan salah, mereka hanya siap siaga jika terjadi sesuatu. Salah satu contohnya barang yang mungkin akan rusak?
Itu adalah hal yang sudah pasti terjadi, tidak lain dan tidak bukan sang pelaku adalah pura sulung dan tertua di keluarga ini. Itu adalah hal biasa, namun untukku bukan hal biasa.
Aku masuk berdua dengan Kak Regan. Bedanya aku duduk di sofa single dan langsung mendapatkan tatapan tidak bersahabat milik mereka, lain pula untuk Kak Regan yang sudah ikut masuk ke barisan orang dengan tampang 'siap untuk menumpahkan emosi.'
Ayah mulai berjalan dan berdiri di sampingku, tidak banyak bicara namun dari tatapannya sudah menunjukkan tanda jika dia bertanya tentang kejadian kemarin.
"Berikan alasamu."
Alasan yang harus masuk akal. Apa yang harus kukatakan? Mereka tidak sebodoh penculik kemarin yang bisa termakan karangan palsu!
Jika kukatakan yang sebenarnya mereka pasti akan tetap memarahiku, karena dari awal akar permasalahannya adalah niat untuk keluar dari kamar, hanya saja aku salah perhitungan hingga bisa keluar dari rumah dan terjadi hal buruk secara terus menerus.
Jika kukatakan 'kemarin ada yang menyuruhku berbelanja' atau 'kemarin ada pelayan yang mengajakku berbelanja.'
Otomatis yang bersalah bukan hanya aku, tetapi para pelayan akan terkena imbasnya juga. Alasan apa yang harus kuberikan pada mereka agar aku tidak terkena imbasnya?
Seketika saat memikirkannya ada sepintas ide yang datang begitu saja.
"Ada berberapa orang yang menerobos masuk ke dalam kamar saat aku ingin mandi dan ada pelayan di dalam kamar yang sedang mengantarkan makanan. Mereka terlihat bingung saat melihat kita berdua, seperti orang salah masuk kamar. Karena pelayan itu tidak mengenakan seragamnya, dia juga masih seumuran denganku. Dan hal selanjutnya kita dibawa pergi, tetapi sayangnya saat berusaha kabur yang tertangkap kembali bukanlah aku."
Aku berusaha menjelaskannya dengan tenang dan berakting sedikit ketakutan dengan menundukkan kepala.
Tetapi sayangnya aku yang dibuat jantungan karena Ayah memegang kepalaku dengan sedikit kasar dan mendongakkannya agar mata kita saling bertatapan.
"Apa kamu kira Ayah sebodoh itu akan menerima cerita karanganmu?"
Aku langsung mengalihkan pandangan saat raut wajah Ayah sudah tidak bisa ditoleransi. Meskipun begitu Ayah masih menahan kepalaku agar tetap mendongak menatapnya.
"Tatap wajah Ayah, jangan palingkan pndanganmu!"
Aku menurutinya karena sentakan yang membuatku mau tidak mau bersitatap dengan Ayah lagi.
"Katakan!" Meskipun tidak membentak namun penekanan dari ucapan Ayah sudah membuktikan bahwa emosinya sedang diujung tanduk, aku mencari gara-gara lagi yang ada akan semakin memperparah keadaan.
Setelah itu aku langsung menceritakan kejadiannya dengan jujur tanpa dihilangkan satupun termasuk niat awal untuk keluar dari kamar dan lain-lainnya.
Barulah Ayah melepaskan tangannya dari kepalaku dan mengelus sebentar sebelum kembali berbicara.
"Pergilah ke kamar, nanti akan Ayah lanjutkan untuk hukumanmu."
Aku menurut dan langsung naik menuju kamar tanpa mengatakan sepatah katapun. Begitu di kamar aku memikirkan nasib Tera yang ternyata sekarang tidak ada di rumah, tadi aku sempat bertanya pada pelayan di depan pintu. Aku juga baru tahu jika Tera adalah anak dari kepala pelayan dapur dan baru bekerja saat kejadian kemarin.
Sekarang aku jadi semakin menyesali perbuatanku. Sekarang hanya bisa berandai-andai agar Tera seharusnya tidak ikut terlibat. Aku merasa bersalah saat melihat wajah kepala pelayan yang berdiri di depan pintu saat menanyakan tentang Tera. Aku yakin dia pasti belum tahu jika anaknya sedang diculik karena menggantikanku.
"Masuk," jawabku saat ada yang mengetuk pintu kamar, lalu terlihatlah wajah Bunda di dekat pintu sedang tersenyum sedih.
Aku merasa bersalah saat melihat raut wajah Bunda, terlihat sekali jika aku sangat nakal hingga membuatnya sedih seperti ini. Aku paling tidak tega jika melihat wajah Bunda seperti orang yang paling tidak bisa menjagaku dengan benar.
Aku diam saja saat Bunda duduk di samping dan memelukku dengan erat. Meskipun begitu, tetapi dalam hati aku sangat menikmatinya. Yang aku butuhkan sekarang Memanglah pelukan seperti ini. Tetapi aku tetap tidak membalasnya dan hanya diam mematung.
Terkadang aku tidak suka dengan sikap defensifku yang seakan-akan Bunda bukanlah Bunda. Meskipun kesimpulan yang aku tau selama ini adalah mereka orang tuaku, tetap saja ada sepercik tidak keyakinan di dalamnya. Meskipun aku tau seharusnya tidak melakukan hal itu, tetapi tetap saja sikap was-was dan takut akan sesuatu yang berubah secara mendadak terngiang-ngiang bagaikan alarm pembatas. Aku hanya sedang bersikap agar tidak terlena dengan kebaikan mereka.
Tetapi aku tidak bisa menampik satu hal, aku menikmati semua yang kudapat, meskipun hidup terkekang seperti burung dalam sangkar emas.
Pelukan Bunda sedikit menenangkan hatiku yang gusar karena semua hal, ditambah dengan sapuan hangat di kepala yang membuat semakin nyaman dan tidak ingin melepaskan kepala dari pundak Bunda.
"Jangan dimasukkan ke hati ya, nanti Bunda bicara sama Ayah biar tidak ada hukuman untukmu," ucap Bunda sembari memberikan kecupan di pilipisku dan melepaskan pelukannya.
Aku hanya mengangguk menyetujuinya, tetapi tidak yakin dengan hal yang dibicarakan Bunda. Mempercayai Ayah yang akan melepaskanku begitu saja sepertinya tidak semudah yang dibicarakan.
Bunda menarik kedua pipiku dengan pelan sembari berucap.
"Senyum dong."
Bukannya aku yang tersenyum, tetapi malah Bunda yang tersenyum. Melihat Bunda yang tersenyum seperti itu mau tidak mau aku sedikit menarik kedua pipiku, meskipun sedikit canggung.
Bunda tertawa kecil melihat respon yang kuberikan. Ia beranjak dan memainkan pipiku sebentar lalu diakhiri dengan kecupan di kedua pipi yang lama.
"Mandi sana, anak Bunda kok bau." Bunda tertawa saat mengatakannya dan mendorongku untuk beranjak dari kasur ke arah kamar mandi.
Begitu aku masuk ke dalam kamar mandi, Bunda menyembulkan kepalanya dari balik pintu dan berkata.
"Mandinya jangan lama-lama ya, nanti langsung turun ke ruang makan."
Dan diakhir dengan senyuman khas Bunda. Begitu pintu ditutup aku langsung menghadap ke arah cermin.
Lalu menatap ke dalam diri ke arah cermin dengan pandangan ragu sembari menangkup kedua pipi bekas ciuman Bunda.
Apakah sudah benar sikap yang kuberikan kepada Bunda saat ini?
Entah kenapa aku menjadi seperti seorang yang jahat sekali jika dapat menghilangkan senyuman dari wajah cantik Bunda.
******
Ditulis: 29 Juli 2021
Diupload: 30 Juli 2021

KAMU SEDANG MEMBACA
Reyna
Genel KurguKebingungan Reyna perlahan terkuak dengan sendirinya. Jati dirinya yang cukup membingungkan mulai terpecahkan. Nyatanya Reyna tetap tidak akan pernah keluar dari zona lingkup keluarganya yang sangat protective Ps: belum revisi dan bahasa masih alay...