Aku memeluk guling dengan gemas, berguling ke sana ke mari hingga membuat seprai rusuh, tapi itu tidak masalah nanti akan ada orang yang membersihkannya. Yang jadi permasalahanku adalah Willy, sejak kemarin aku tidak melihat batang hidungnya sampai malam ini. Padahal aku tidak pernah absen bertemu Willy, selambat apapun dia pasti akan menyempatkan diri untuk menemuiku meski saat malam-malam.
Tapi buktinya saat jam menunjukkan angka 9 lebih, bahkan hampir menyentuh angka 10 Willy tidak datang juga ke kamarku. Bahkan aku seharian dikurung tidak keluar sendikitpun, hanya berberapa kali orang yang datang kemari untuk memberiku makanan sesuai jam biasanya, bahkan Kak Arga hari ini absen tidak mengecekku. Ini aneh, ada apa sebenarnya? Apakah Kak Arga marah padaku dan Willy.
Aku sekarang hanya butuh informasi dari keadaan Willy, setidaknya berikan sesuatu kalimat yang membuatku tenang agar tidak gusar mencemasi keadaan Willy, aku takut dia kenapa-napa mengingat Kak Arga jika marah selalu bermain tangan. Aku benci saat melihatnya, bahkan dengan tangan Kak Arga sendiri salah satu penjaga di rumah ini pernah sampai sekarat hingga masuk rumah sakit, aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi dari dulu sampai saat ini. Itulah kenapa aku takut setiap kali Kak Arga marah, dia seperti penjahat yang suka memukul orang.
Aku mengacak-acak rambut dengan kasar, lalu bangkit dari kasur menuju balkon. Yah, di kamarnya ada balkon yang lumayan besar berisi satu tempat duduk berupa ayunan yang bentuknya seperti telur ayam, tempatnya sangat nyaman disertai meja kecil di samping ayunan.
Angin malam selalu membuatku kedinginan, hawa dinginnya seakan-akan menembus kulit dan daging sehingga masuk ke dalam tulang. Benar-benar dingin, bahkan lebih dingin dari dalam kamar yang tersedia pendingin ruangan.
Aku tidak peduli meskipun hanya menggunakan baju dan celana pendek hari ini, aku hanya butuh menjernihkan otak agar tidak memikirkan hal aneh yang bersangkutan dengan Willy.Akibat terlalu nyaman berada di ayunan secara tidak sadar kegelapan perlahan merenggut kesadaranku, tertidur di balkon dengan hawa dingin yang cukup menusuk hingga keesokan paginya.
*****
Aku tersadar saat tubuh terasa tidak nyaman, mengerjapkan mata perlahan hingga melihat dada seseorang, lalu mendongak untuk melihat siapa yang tengah menggendongku. Kak Regan, itupun jika tidak salah menebaknya. Aku baru terbangun dari tidur dan dihadapkan dengan seseorang yang memiliki wajah kembar, itu tidaklah mudah bagi otak untuk membedakan siapa orang yang bersama denganku saat ini.
"Kak Regan?" Aku mengucapkan dengan suara lirih, tenggorokanku sakit sekali, ada apa ini?
Tubuhku direbahkan di atas kasur, setelah itu Kak Regan langsung keluar dari kamar, aku menatap bingung pintu kamar yang telah tertutup. Kenapa dengan Kak Regan? Aku ada salah dengannya?
Aku mencoba untuk duduk, tapi mengapa kepala ini sangat berat? Pengelihatanku menjadi sangat banyak, pusing sekali. Aku menggelengkan kepala guna memfokuskan pandangan, dicoba lagi ternyata lumayan berhasil, hanya tinggal menyesuaikan saja setelah itu akan fokus sendiri. Tapi pusingnya tidak ingin hilang, bahkan saat aku menggerakkan leherku terasa sangat sakit, sepertinya aku salah posisi saat tidur kemarin.
Suara pintu terbuka, tampak Kak Regan yang masuk dengan membawa tampan berisi makanan. Kak Regan menaruh nampan di meja samping kasur lalu duduk di sebelahku, dia menghembuskan napas dengan kasar. Aku mengerutkan dahi bingung dengan tingkahnya, "kenapa?"
"Kenapa kamu nakal banget, hmm?"
Kak Regan menarik pipiku dengan kencang, aku menepuk tangannya berulangkali agar dilepaskan. Kak Regan membawa nampan itu ke atas kasur, lalu memberikannya padaku.
"Dimakan, habis itu minum obat. Nanti malam Kak Arga ke sini, jangan sampai dia tau kamu lagi sakit."
Aku mendelik tak suka dengan pernyataannya jika aku sedang sakit. Aku baik-baik saja, sehat lahir batin.
"Aku gak sakit ya," tukasku tidak terima.
"Gak sakit gimana? Badan panas kayak gitu, ketahuan orang rumah dikurung lagi selama seminggu kamu mau?"
Melihat tangan Kak Regan yang terjulur menuju pipi, spontan aku langsung menangkupnya demi menghalangi Kak Regan yang ingin mencubitnya lagi. Tapi ternyata sasaran Kak Regan berbeda tempat, hidungku ditarik dengan keras kali ini hingga berteriak kesakitan. Rasanya panas saat dilepas, aku yakin ini akan memerah secara merata di hidung.
"Kak, sakit tau."
Kak Regan hanya tersenyum meresponnya, aku menghela napas panjang berusaha untuk sabar.
"Kak," panggilku saat mulai memakan makanan yang dibawa Kak Regan. Kak Regan berdeham menunggu ucapanku selanjutnya.
"Willy gimana?" Kak Regan langsung menautkan alisnya dengan tatapan tidak suka, "gak gimana-gimana." Sekarang gantian aku yang menekuk alis tidak terima dengan jawabannya, aku langsung berhenti makan untuk mendengar kelanjutan dari jawaban Kak Regan.
"Kak," ucapku sambil mengetuk-ngetuk sendok di piring.
"Willy di mana sekarang?"
Aku melihat jam di dinding nakas, sudah menunjukkan jam 8 pagi. Lama juga ternyata aku bangun, biasanya jam setengah 7 sudah bangun dan turun untuk makan pagi di bawah.
Kak Regan menepuk dahiku pelan, benar-benar pelan seperti gemas dengan pertanyaanku, lalu menarik pipiku lagi. Sial aku kecolongan!
"Udah sekolah cantik, ngapain nyariin Willy terus?" Ada nada tidak senang di ucapannya, aku hanya mengabaikannya saja, mungkin Kak Regan sedang ada masalah dengan Willy sehingga menunjukkan ciri-ciri tidak suka saat membahas Willy.
Aku menggeleng, lalu kembali hening menyantap makanan. Kak Regan seperti tidak ingin pergi dari sini, ia terus menatapku yang sedang makan dengan intens. Jujur saja sebenarnya cukup risih dilihat seperti ini, apalagi Kak Regan melihat diriku dengan wajah tanpa ekspresi, aku tidak bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan.
"Kak–" ucapanku terpotong saat Kak Regan menarik hidungku hingga aku ikut memajukan wajah sedikit. "Makan dulu baru tanya!"
Aku mendengus kesal, tapi tetap menuruti apa yang dikatakan Kak Regan. Begitu sudah selesai makan dan meminum obat, aku ingin melanjutkan pertanyaan tadi yang dipotong. Tetapi lagi-lagi dipotong oleh perintah Kak Regan yang cukup membuatku geram.
"Sekarang tidur lagi, kapan-kapan aja kalau ingin tanya." Aku mendelik tidak terima, yang benar saja! Aku baru bangun dan sekarang disuruh tidur lagi, mana ada rasa mengantuk di jam segini, kadang aku berpikir jika otak Kak Regan sepertinya memiliki IQ rendah. Bahkan anak TK pun tahu jika orang sudah bangun tidur maka itu artinya dia tidak mengantuk.
"Yang benar saja Kak, aku baru bangun berberapa menit yang lalu." Kak Regan seakan tidak peduli dengan protesanku. Buktinya dia malah ikut naik ke tengah ranjang ranjang sambil menyender di punggung kasur. Kak Regan menepuk sebelahnya saat melihat posisiku yang cukup jauh, aku malas jika disuruh tidur lagi. Hari ini aku ingin keluar untuk pergi ke taman belakang rumah melihat perkembangan bunga-bunga yang ditanam berberapa seminggu yang lalu.
Kak Regan yang melihat tidak ada pergerakan sedikitpun langsung menarik lenganku sembari memberikan ancaman yang cukup membuat bungkam dan patuh. "Mau sembuh gak? Kak Arga pulangnya nanti malam."
Aku akhirnya mengalah dan berbaring di samping Kak Regan yang sedang duduk, lalu tubuhku dimiringkan menghadap dirinya. Aku merasakan usapan di punggung dari tangan besar milik Kak Regan, cukup menenangkan. "Cepet tidur, nanti gak sembuh pas Kak Arga dateng." Aku menuruti perintah Kak Regan, mencoba untuk menutup kedua mata meskipun rasa ngantuk belum menguasai. Tapi yang membuatku bingung adalah lama kelamaan rasa ngantuk mulai menghampiri, tidak mungkin jika ini rasa mengantuk alamiah. Karena secara logika aku sudah tidak mengantuk, lalu aku memiliki kecurigaan yang cukup meyakinkan.
"Kak Regan gak taruh obat tidur 'kan?" Aku bertanya was-was, itu masih dugaan dan belum tentu Kak Regan melakukannya bukan?
"Sayangnya sudah Kakak campur," ucap Kak Regan dengan senyum miring. Aku terkejut dengan jawabannya, saat ingin membantah Kak Regan langsung membungkukkan tubuhnya mengurungku, tetapi jatuhnya seperti sedang memeluk. Lalu mencium dahiku lama sembari mengucapkan kata selamat tidur dengan tangan masih setia mengusap punggungku. Dan rasa ngantuk sudah tidak tertahankan, hanya berselang berberapa menit aku tertidur di pelukan Kak Regan.
*****
Ditulis: 26 September 2020
Dipublish:

KAMU SEDANG MEMBACA
Reyna
Ficción GeneralKebingungan Reyna perlahan terkuak dengan sendirinya. Jati dirinya yang cukup membingungkan mulai terpecahkan. Nyatanya Reyna tetap tidak akan pernah keluar dari zona lingkup keluarganya yang sangat protective Ps: belum revisi dan bahasa masih alay...