Tubuhku meluruh di lantai, akibat besi di leher yang semakin menyesakkan seperti mengecil. Aku menunduk sembari memegang besi di leher, berusaha memasukkan jari-jariku ke sela yang memiliki ruang, menahannya supaya menyisakan ruang untuk bernapas.
Aku berteriak kala sengatan listrik terasa saat jemariku memasukinya, sontak tanganku terlepas. Sengatan itu tergantikan dengan ikatan di leher semakin mengecil, menghilangkan ruang untuk bernapas.
Aku mendongak berusaha meraih oksigen sebanyak mungkin, dengan mulut terbuka dan tangan berusaha melonggarkan ikatan besi. Dadaku terasa sesak, menyisakan rasa sakit yang begitu menusuk. Air mata semakin jatuh kala rasa takut mulai menyeruak, aku takut untuk mati.
Sebelum akhirnya aku mengambil napas dengan rakus kala ikatan besi di leher terasa longgar.
Kepalaku ditarik dengan paksa untuk mendongak, menatap raut wajahnya yang sudah menatapku tajam, sebelum kata-katanya membuatku benar-benar ketakutan.
"Sudah kukatan, jangan bertingkah! Berperilakulah sebagai gadis baik."
Tanganku ditarik untuk berdiri mengikuti langkahnya yang lebar, berjalan setengah menyeret di belakang.
Menatap punggung lebarnya dengan penuh amarah, air mata yang sudah mengering pun enggan untuk keluar lagi.
Mencoba kabur? Sudah kulakukan beberapa kali begitu sampai di sini dan berakhir dengan sengatan ringan di leher. Namun yang terkahir adalah paling parah, aku tidak tahu jika ikatan besi ini bisa mengecil, bahkan membuatku hampir merenggang nyawa.
Begitu sampai di ruangan, tubuhku kembali dihempas ke atas kasur, seperti sebelumnya. Kabur, berhasil tertangkap, maka kembali dikurung dalam kamar. Begitu terus, entah sudah berapa kali aku mencoba lari dari kamar ini.
Tubuhnya menjulang tinggi di samping kasur sembari menatapku tajam, sebelum ancaman selanjutnya sukses membuatku ciut.
"Sekali lagi kabur dari ruangan ini, aku tak segan-segan untuk memotong kedua kakimu!"
Aku menatapnya dengan tajam sembari berteriak penuh emosi.
"Sebenarnya apa maumu?"
Bukan perkara hal aneh pertanyaan itu selalu bersemayam dan terucap berkali-kali, melihat yang dia lakukan hanyalah mengurungku di sini tanpa melakukan apapun. Dia tidak akan mengganggu bahkan menyakitiku jika bukan karena aku yang kabur untuk keluar.
Benar-benar hanya dikurung di dalam kamar, lalu ditinggal begitu saja.
"Kamu sudah mengetahuinya, Reyna. Kamu, hanya itu, apakah sulit?"
Sederet umpatan keluar dari mulutku meski hanya berupa gumaman. Hanya itu katanya? Hanya apa sebenarnya yang dimaksud?
Rasanya aku ingin berteriak layaknya orang gila setiap kali mendengar jawabannya. Kamu, kamu dan kamu. Selalu itu saja jawabannya, tidak ada titik terang!
Lama-lama aku bisa menjadi orang gila menghadapinya. Yang terjadi nantinya bukan hanya dia saja yang gila, aku juga akan berubah jadi gila! Orang gila itu ternyata sedang mencari sekutu, sialan!
Dia duduk di atas kasur dan aku menjauhinya. Saat tanganya ingin menyentuhku, aku semakin menghindar.
"Kemari, jangan banyak bertingkah."
Kali ini dia menahan tanganku dengan lembut, bahkan menarik tubuhku dengan perlahan. Tangannya mulai mengangkat besi di leher sampai menyentuh rahang bawah, lalu sebuah benda dingin mulai menyelimuti di tempat yang berkali-kali kena setruman.
Kutebak itu sebuah gel atau sesuatu, sebelumnya dia juga memberikan hal yang sama.
"Apa tujuanmu mengurungku di sini?"
Aku bertanya dengan wajah sedikit mendongak ke atas karena dia masih mengoleskan gel itu di sekitar leher. Mungkin sebuah hal yang bagus juga karena bisa melihat ekspresi wajahnya yang terlihat serius saat mengobati.
"Tidak ada," jawabnya dengan singkat.
Aku memutar bola mata dengan jengah. Perilakunya hanya berputar-putar dan tidak terlihat memiliki tujuan yang jelas.
"Apakah kamu berniat membuatku mati dengan ini?"
Aku bertanya sembari mengetuk besi yang terikat di leher begitu dia selesai dengan urusannya.
Dia berpaling menaruh obat tadi di atas meja sembari menjawab.
"Kamu tidak akan mati hanya dengan sengatan listrik yang tidak terasa, Reyna. Aku sudah mencobanya berkali-kali."
Aku mengernyitkan dahi bingung. Meski harus kuakui jika sengatannya tidak berdampak apapun pada leherku, tetapi tetap saja rasanya akan sakit saat tersengat.
"Lalu apa?"
Lagi dan lagi jawabannya selalu sama.
"Tidak ada."
Baik, aku menyerah bertanya dengan orang gila di depanku. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini, baru pada kesempatan akhir-akhir ini aku berani bertanya. Alasannya tentu saja, karena sebelumnya aku masih menyesuaikan kondisi tubuh sembari menangis dan meratapi nasib.
Tapi setelah merasakan apa yang terjadi di sini, aku sedikit rileks. Mulai berpikir secara logika dan mencermati tingkah lakunya, karena aku merasa tingkah lakunya seperti berbeda. Masih sebuah perkiraan saja.
Karena saat pertama kali bertemu, aku merasa dia benar-benar menakutkan. Maka dari itulah saat pertama kali di sini, aku masih menangis dan hanya berpikir bagaimana caranya untuk kabur.
Setelah berberapa kali kabur dan sikap dia setelahnya yang membuatku mulai tersadar, seperti diberi sebuah tamparan untuk sadar. Akhirnya aku beralih untuk berpikir menggunakan logika, hingga bisa ditarik sebuah kesimpulan setelah mendengar jawaban ambigunya.
Dia tidak memiliki tujuan apapun, mungkin. Yang pasti dia tidak memiliki niat untuk membunuh, yang ini bisa kupastikan. Dan yang terakhir emosinya labil sekali, dia hanya akan marah dan berperilaku kasar saat mengetahui aku kabur, tapi sesudahnya? Dia biasa saja, bahkan terlalu baik hingga membuatku sedikit khawatir melihat perubahan sikapnya yang begitu cepat.
Dari ketiga hal tersebut, dapat disimpulkan, karena dia selalu pergi setelah mengoleskan obat di sekitar leher dan tidak kembali, hanya mengirim seseorang untuk mengantar makanan ataupun baju untuk ganti. Sisanya tidak ada hal mengerikan, kecuali saat aku kabur, maka amarahnya akan muncul.
Aku merasa seperti dihukum tidak boleh keluar kamar oleh Ayah, serius.
"Lalu, kamu siapa?"
Aku bertanya tepat sebelum dia membuka pintu. Respon tubuhnya tersentak, lalu berbalik menatapku dengan raut terkejut.
"Kamu tidak mengenalku?"
Dia bertanya masih dengan wajah terkejut, tidak luntur sedikit pun. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban.
Masih dengan kebisuannya, wajahnya mulai kembali normal. Lalu, tak lama suara tawa mulai terdengar, awalnya memang pelan, namun lama-lama tawanya terdengar keras dan membuatku mulai ketakutan.
Raut wajahnya yang tadi tenang kini mulai memunculkan senyum lebarnya.
Aku ingat!
Senyum, serta raut wajahnya yang menatapku dengan minat, itulah yang membuatku merinding dan selalu takut kepadanya. Wajah itu yang terkahir kali kulihat saat di ruang mayat.
"Apakah harus kuingatkan sesuatu, Reyna? Atau namamu adalah Anna?"
Perlahan, dia berjalan mendekatiku, masih dengan raut wajah yang menyeramkan.
Alarm dalam diriku mulai berbunyi kencang, menyuruhku untuk kabur, bagaimana pun caranya tidak boleh sampai tertangkap oleh orang gila ini!
*****
9 Desember 2022Kalian tidak menghilang bukan? Jangan pergi dulu, identitas orang gilanya belum ketahuan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Reyna
Ficción GeneralKebingungan Reyna perlahan terkuak dengan sendirinya. Jati dirinya yang cukup membingungkan mulai terpecahkan. Nyatanya Reyna tetap tidak akan pernah keluar dari zona lingkup keluarganya yang sangat protective Ps: belum revisi dan bahasa masih alay...