Twenty five

97 9 0
                                    

Perlahan tubuhku menjauh mengikuti setiap langkahnya. Berdiri di sisi kasur, begitu pula dengannya yang berada di seberang. Wajahnya masih sama mengerikan, mungkin dia tidak memiliki minat untuk menghilangkan raut wajah tersebut.

"Kenapa menjauh? Kemarilah anak cantik."

Senyum di wajahnya semakin tertarik ke atas. Kedua tangannya direntangkan ke arahku, bahkan jari-jemarinya bergerak layaknya memberi perintah untuk mendekat.

Aku menggeleng dengan wajah pias, bisa kurasakan kedua tanganku mulai terasa dingin, bahkan gemetar dengan hebat. Aku meremas kedua ujung baju dengan sangat erat, menahan diri untuk tidak langsung berlari.

Ekspresinya perlahan berubah, senyumnya memudar. Tergantikan dengan raut sedih.

"Tidak mau kemari? Baiklah."

Diturunkan kedua tangannya, beralih menatapku sebentar sebelum kedua kakinya mulai melangkah memutari kasur, berjalan ke arahku.

Kepalaku terasa sangat pening karena memikirkan segala cara untuk kabur, namun tubuhku hanya memberi respon diam bak patung melihatnya berjalan semakin mendekat.

Bahkan usaha untuk mencubit kedua paha tidak membuahkan hasil, seperti diberi perekat yang begitu kuat pada keduanya. Tanganku masih bergemetar sembari berusaha mencubit kedua kaki, berharap keduanya bisa diajak bekerja sama.

Jantungku berdegup kencang melihat jemarinya menyentuh wajah, dielusnya perlahan dengan lembut sebelum mencengkam kedua pipiku dengan kencang.

Sakit, cengkramannya begitu sakit. Tetapi aku lebih takut dengan tatapan matanya. Keduanya melolot ke arahku dengan tajam, bahkan ucapannya mampu membuatku semakin diam tak berkutik.

"Kamu membuatku kecewa, Reyna."

Terjadi keheningan sesaat, tangannya yang semakin keras mencengkram kedua pipiku hingga terasa kebas.

"Ah, tidak asik, " ucapnya sembari melepaskan kedua pipiku dengan sentakkan.

Kepalaku tertoleh ke samping dengan keras. Tenaganya tidak main-main, seperti ingin mematahkan leherku.

Kupegang kedua pipi dengan tangan, terasa cukup panas saat melingkupinya. Aku manatapnya dengan was-was, sembari perlahan melangkah ke samping mendekati kasur.

Tetap menatapnya yang sedang berjalan menjauh. Langkahnya berjalan mendekati jendela kamar, hanya berdiam diri menatap jendela yang dilapisi jeruji besi.

Hening menyelimuti, tidak ada yang bersuara. Hanya hembusan angin yang terdengar keras dari sela-sela jeruji besi.

Aku perlahan mulai memberanikan diri untuk menaiki kasur dengan perlahan, mencoba untuk tidak menimbulkan suara hingga mencapai pintu.

Perlahan demi perlahan, sesekali melihat kondisi pria itu yang masih menatap jendela.

Kakiku sudah menampak kembali di lantai, kuangkat perlahan. Hingga mencapai ganggang pintu dan memutarnya hingga menimbulkan suara.

Aku meringis dan langsung beralih ke arah jendela. Benar saja, pria itu berbalik menatapku dengan wajah yang perlahan mulai menekuk kembali.

Aku spontan langsung menarik pintu dengan kencang dan berlari keluar hingga mendengar suaranya yang begitu marah dari kamar, berteriak menyumpahi.

"Kali ini aku benar-benar akan memotong kakimu, Reyna!"

Derap langkah terdengar kencang mengikuti di belakang, sepersekian detik di setiap langkah.

Ketukan sepatu yang berirama mengisi sunyinya rumah, diikuti dengan derap langkah lainnya yang mulai merusak irama.

Kali ini suaranya berseragam, tidak sekedar ketukan tipis. Bising-bising mulai terdengar, teriakannya mulai terdengar untuk memerintah dalam menangkapku.

Tak kutoleh sedikitpun pandangan untuk ke belakang, ketahuilah perangkap di depan tidak lebih buruk dari kondisi di belakang.

Kuayunkan kaki sekuat tenaga, untuk kesekian kalinya aku berlari dan mulai meliuk-liuk kabur dari pengawal yang sedang menghadang. Bak sang ahli ruangan, aku langsung berbelok tanpa ragu. Melewati tikungan dan mengambil jalan pintas yang sekiranya bukanlah ruangan buntu.

Tiada ruang untuk bersembunyi, tidak ada. Sekali berhenti maka game over dan aku akan tertangkap dengan ancaman yang dia teriakan sedari tadi.

"Aku akan memotong kakimu!"

Teriakannya begitu menggelegar dan mengiringi setiap langkah di rumah ini.

Aku tetap berlari dan berusaha untuk tidak mendengar teriakannya yang semakin menggila. Aku mencoba mengatur napasku yang mulai tersenggal-senggal karena kelelahan.

Dua menit berlalu, pelarian tanpa ujung masih panas terjadi.

Sikut-menyikut terjadi antar pengawal, suara benda serta tubuh yang terbanting ke lantai mulai menyakiti telinga. Alangkah baiknya mereka bekerja sama, tetapi nyatanya mereka selalu tertipu dengan elakanku.

Aku tidak tahu apa yang membuatku akhirnya bisa melawan mereka. Saat pelarian sebelumnya terasa begitu cepat untuk mengelak dari mereka. Mungkin hanya bisa dua atau tiga kali untuk lolos dalam jebakan pengawal, tetapi selanjutnya selalu berakhir dengan game over.

Tetapi, kali ini terasa begitu lama. Aku seperti sedang mempertaruhkan segala kemampuanku dalam pelarian ini, bahkan sudah tak terhitung berapa kali elakkan yang lolos kulakukan.

Mereka terlihat sudah kualahan menangkapku. Ditambah dengan teriakan penuh emosi yang sedari tadi memerintah, membentak serta mengancam untuk segera menangkapku.

Aku tetap berlari, berlari dan mencoba mencari ruangan yang bisa membuatku keluar dari rumah ini.

Kuhampiri semua pintu untuk mencoba membukanya dan semuanya nihil. Pintu terkunci dengan rapat tanpa bisa didorong sedikitpun.

Suara mesin mulai terdengar nyaring di sela-sela langkah kaki. Suaranya begitu kencang, aku mencoba untuk menengok ke belakang.

Alangkah terkejutnya melihat mesin gergaji sedang menyala dengan kencang dan di bawa oleh pria gila itu.

Dia bahkan berteriak untuk menangkapku dan tidak segan-segan mengarahkan besi gergaji ke arah pengawal yang sedang menghalanginya.

Aku kembali menatap depan dengan degup jantung yang tak karuan. Takut, lelah, hingga mulai merasakan sesak napas yang menghambat larianku.

Kakiku terasa sangat sakit dan keram, tetapi rasa takut saat teriakannya yang selalu mengiringi setiap langkahku mulai terngiang-ngiang hingga tak ada waktu untuk mengeluh.

Aku terus berlari, lari dan lari.

Kulompati mayat seseorang yang bersimbah darah. Ini adalah ulah si pria gila, dia tak segan-segan membunuh penhawalnya sendiri. Aku mulai mual melihat darah berceceran di lantai.

Entah sudah berapa menit aku berlari, kakiku mulai berada di ambang batas. Larianku mulai melambat. Bahkan tarikan dari belakang menghentikan langkahku.

Aku terjatuh ke depan dengan  posisi terngkurap, tidak bisa berdiri karena punggungku ditahan dengan kuat.

Bahkan tengukku di tekan ke lantai hingga sulit bernapas. Aku meronta-ronta.

Mencoba untuk melepaskan diri, tetapi tidak bisa. Aku takut saat mendengar suara mesin semakin keras, bahkan aku bisa mendengar langkah kaki semua orang terlah berhenti.

Tidak ada lagi yang berlarian, menyisahkan suara mesin yang begitu nyaring.

Aku tak tau harus berbuat apa, tidka ada harapan. Bahkan aku mulai merasakan sakit yang tak bisa dijelaskan.

Aku berteriak dengan melengking begitu kakiku terasa sakit. Sakit sekali, tidak tertahankan.

Hanya sakit dan rasa hangat yang menyelimuti di sekitarnya. Hanya itu sebelum aku benar-benar menutup mata untuk yang kesekian kalinya.

*****




Reyna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang