Twenty Six

134 9 0
                                    

Sebenarnya chap ini sudah ditulis pertengahan bulan Juni 2023, tapi karena lupa belum nyalakan wifi/paketan, alhasil ceritanya hilang karena tidak tersimpan. Akhrinya baru bisa move on dan nulis lagi sekarang.

Okey, terima kasih yang masih bertahan untuk menunggu cerita ini update. Saya selama ini selalu nunggu komentar, tapi semakin lama ternyata semakin hilang.

Ya sudah tidak papa, karena saya sendiri updatenya juga tidak konsisten, semoga suka dengan cerita ini.

Tetap ditunggu vote dan komennya.

Happy Reading

*****

Langkah kaki beriringan menciptakan suara yang begitu keras, begitu pula dengan derap kaki di belakang yang terdengar lebih keras.

Pandangannya berbalik sebentar dan terkejut melihat benda bergerigi yang sedang menyala. Suaranya tertutupi oleh langkah kaki dari sepatu orang-orang di belakangnya.

"Jangan lihat ke belakang!"

Tarikan lengan di sampingnya kembali memfokuskan pandangan ke depan. Wajahnya orang di samping tidak terlihat, tertutup gelapnya malam dan rimbunan pohon yang semakin menghalau cahaya masuk.

Suara tembakan mulai terdengar, seperti ditembakan secara sembarangan karena berbunyi dengan beruntun.

"Lari sedikit lagi Reyna, lebih kencang!"

Genggamannya semakin menguat, rasa sakit dari cengkramannya membuatku hilang fokus. Sampai akhirnya dorongan yang dilakukannya mengakibatkan cengkraman terlepas.

"Lari."

Suaranya sangat kecil seperti sebuah lirihan. Aku tetap berlari mengikuti perintahnya. Berlari dengan kencang dan sekuat tenaga.

Sampai teriakan yang begitu keras terdengar membuatku berhenti dan berbalik.

Benda yang kulihat tadi mereka arahkan pada tubuh manusia di bawahnya, suara teriakan terdengar lagi di sertai perintah yang begitu jelas.

"LARI!"

Mataku terbuka sempurna, aku bisa melihat langit-langit ruangan meski tidak jelas. Cahaya dari lampu begitu menyilaukan mata, membuat pusing.

Sesak, dadaku seperti ditimpa oleh berat yang tak terhingga sampai kesusahan bernapas. Kepalan di kedua tanganku tidak bisa melampiaskan rasa sakitnya. Setiap tarikan napas rasanya mencekik leher. Bahkan otakku seperti melupakan sistem kerja cara bernapas.


Tetapi aku masih mencoba untuk bernapas. Aku ingin berteriak meminta tolong, tetapi idak bisa karena untuk bernapas saja sudah terlalu susah apalagi berteriak.

Bayangan lain terlihat, entah siapa yang sedang berada di atasku. Tidak terlihat apapun selain siluet bagian atasnya.

Kurasan sebuah benda dipasangkan pada hidung dan mulutku secara cepat. Pada detik itu juga akhirnya aku bisa menghiruo oksigen yang sedari tadi sedang kucari.

Rasanya lega, dadaku masih sakit meski berangsur-angsur mulai menghilang.

Merasakan dadaku diusap-usap dengan perlahan membuatku tersenyum lega karena tangannya terasa hangat dan begitu menenangkan.

Reyna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang