Angin malam ini cukup dingin di depan teras. Teras yang cukup memanjakan mata dengan berbagai macam bunga yang berjejer rapi di dekat pagar. Ada sebuah kandang kelinci di sudut tempat, sedikit tertutup oleh rumput liat di sekitarnya.
Aku memperhatikan satu anak kelinci yang sedang di depan rumahnya tengah tengkurap sembari memakan rumput. Kelinci kecil bewarna coklat ini cukup menjadi objek kebosananku saat ini.
Mengingat tentang kelinci, aku jadi terpikirkan dengan foto yang ditunjukkan 3 orang asing tadi. Apalagi dengan sedikit kilasan yang aku lihat sekelebat. Begitu cepat dan sangat jelas jika dia yang memiliki wajah sama dengan memanggilku. Hanya teriakan penuh kesedihan yang terekam jelas saat melihat foto tersebut sebelum terjadi percekcokan adu mulut dari mereka berempat. Ah, kecuali Bapak tadi yang hanya melihat semuanya dengan raut wajah datar, tidak mengekspresikan rasa terkejut maupun takut terhadap 4 orang berbadan besar sore tadi.
Dengan segala percekcokan yang terjadi akhirnya aku bisa lolos dari mereka, tentu saja dengan ucapan Bapak tersebut yang meyakinkan jika aku adalah anaknya, apalagi ditambah dengan berberapa bumbu sandiwara yang sangat mendukung.
Sempat bersin hampir sebanyak 7 kali yang membuat mereka percaya dengan ucapan sang Bapak. Itu adalah ketidaksengajaan yang membawa keberuntungan.
Mengatakan bahwa aku adalah anaknya yang sedang sakit tapi sedang membantunya untuk menjual kelinci. Cukup konyol, namun lebih konyol lagi mereka yang mempercayai kebohongan tersebut.
Aku sedikit tersenyum saat kelinci itu mulai bangkit dari tempatnya dan melompat menuju kandang, lebih tepatnya hanya sampai pintunya saja dia langsung merebahkan tubuh lagi dan mulai tertidur seperti yang lainnya. Sungguh imut sekali mereka, berjejer-jejer untuk tidur sehingga kandangnya tidak muat untuk menampung mereka.
Kandang kecil, namun terisi oleh banyak kelinci. Untungnya ukuran mereka masih sangat kecil, sehingga tidak takut jika kesempitan. Justru aku senang melihat mereka yang tengah berdesakan tidur seperti itu, jadi ingin memeluknya.
Aku mendongak ketika merasa ada sebuah tangan yang mengusap kepala.
"Ayo masuk," ajak Bapak itu dengan mengisyaratkan kepalanya untuk masuk ke dalam rumah.
Tanpa banyak bicara aku mengikuti langkahnya untuk masuk ke dalam rumah, melewati seorang wanita bayah tengah duduk di depan televisi sembari melipat. Sebenarnya aku tidak ingin bertatap muka dengan orang tersebut, namun tatapan yang dia berikan saat aku melintas begitu menakutkan.
Aku melihat sekilas tatapan tidak sukanya, matanya mengikuti setiap pergerakanku hingga berhenti di depan kamar kecil. Aku memutuskan kontak dengan wanita tadi dan beralih kepada sang Bapak. Dia hanya tersenyum dan mengkodeku untuk masuk ke dalam saat dia membukakan pintu.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku menyempatkan diri untuk melihat ke belakang ke arah wanita tersebut yang masih menatapku dengan tatapan permusuhan. Sedikit memberikan senyum meskipun yakin tidak akan direspon apapun, namun tetap saja harus memberikan sopan santun ketika bertamu orang asing, apalagi diperbolehkan untuk tinggal.
Begitu pintu tertutup aku mulai menghembuskan napas dengan lega, percayalah begitu melewati wanita tadi aku menahan napas dan berusaha untuk tidak takut.
Tetapi, ya sudahlah. Jika dia tidak suka akupun tidak memaksa. Aku mulai memperhatikan sekitar kamar ini, kamarnya rapi dengan satu kasur dan lemari kecil yang berseberangan. Ah, jangan lupakan jendela di pojok ruangan yang mengarah kepada lorong kecil yang sebenarnya adalah pemisah antar rumah ini dengan sebelah. Tidak begitu paham mengapa ada lorong gelap yang aku pastikan akan menjadi tempat bersarangnya tikus dan hewan sejenisnya. Untuk saja jendelanya sudah ditutup dengan rapat.
![](https://img.wattpad.com/cover/223081219-288-k29931.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Reyna
General FictionKebingungan Reyna perlahan terkuak dengan sendirinya. Jati dirinya yang cukup membingungkan mulai terpecahkan. Nyatanya Reyna tetap tidak akan pernah keluar dari zona lingkup keluarganya yang sangat protective Ps: belum revisi dan bahasa masih alay...