Twenty

158 12 4
                                    

Aku berjalan dengan hati kesal menuju kamar. Setelah menyelesaikan pembayaran tadi kita langsung memutuskan kembali ke kamar untuk menghindari segala pertanyaan yang ingin Arta tanyakan. Bahkan sejak tadi Arta yang sudah bertany-tanya aku hiraukan karena sudah terlanjur kesal dengan Kak Regal.

Aku terus mengumpati Kak Regal dalam hati, sedangkan tersangkanya sama sekali tidak peka dengan kesalahan yang baru saja dilakukan.

Niat tidak ingin menambah urusan dengan Ayah, malah pilihanku menjerumuskan ke hal yang sebaliknya. Kali ini Kak Regal benar-benar membuatku kesal. 

Kesal, sekesal-kesalnya!

Begitu sampai aku langsung masuk dan menjatuhkan diri ke atas kasir dengan kasar. Bahkan Willy sampai mengalihkan perhatiannya dari ponsel ke arahku dengan raut wajah bingung.

Samar-samar aku dapat mendengar suara Willy yang bertanya kepada Kak Regal. Aku yang mendengarnya paham jika Willy penasaran dan bertanya kepada Kak Regal dengan suara berbisik supaya tidak menyinggungku. Tetapi yang membuatku tak habis pikir adalah Kak Regal menjawab pertanyaan Willy dengan santai dan menceritakan semunya dengan suara yang keras.

Aku yang mendengar cerita versi Kak Regal secara spontan bertambah kesal. Karena Kak Regal seakan-akan tidak paham kenapa diriku marah semenjak dari tempat administrasi tadi. Bahkan Kak Regal mengatakan jika aku aneh karena marah dengan tiba-tiba.

Aku menggigit bantal menahan tangis mendengar cerita Kak Regal. Rasanya ingin mencakar dan memukuli Kak Regal dengan brutal karena tidak peka dan malah menjerumuskan ke dalam masalah lagi. Bahkan harus berurusan dengan Ayah tanpa aku yang berbuat kesalahan.

Lihat saja nanti jika Ayah bertanya macam-macam dan Kak Regal melimpahkan semunya kepadaku. Dia juga harus bertanggung jawab karena telah meminta tolong kepada Ayah tanp persetujuanku.

Aku menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk tidak menumpahkan air mata. Takut jika ketahuan oleh mereka dan menimbulkan kehebohan yang tidak bermutu. Bahkan aku yakin seratus persen jika dalangnya sendiri tidak akan peka.

Aku dapat merasakan elusan tangan di pundak. Elusannya seperti memiliki niat untuk menenangkanku.

Aku menoleh dan mendapati Willy sedang tersenyum.

"Udah, jangan nangis. Nanti ketahuan Kak Regal terus diketawain," bisik Willy sembari tetap mengelus pundakku.

"Aku gak nangis," elakku sembari memalingkan muka lagi. Menenggelamkan kepala ke dalam bantal dengan lebih erat. Takut-takut jika yang dikatakan Willy malah jadi kenyataaan.

"Gak nangis, tapi matanya sudah berkaca-kaca."

Willy tertawa pelan setelah berbisik mengatakannya.

"Udah, lagian kenapa Kak Reyna gak minta tolong sama Willy aja?"

Willy mulai duduk di atas kasur dan masih tetap mengelus pundakku. Aku berbalik menghadap Willy dan menjawab.

"Emang kamu mau bantuin?" tanyaku dengan wajah tidak yakin. Karena aku juga memilih Kak Regal untuk menghindari segala kemungkinan buruk yang akan terjadi. Tetapi malah mendapatkan kemungkin paling buruk dari yang terburuk.

"Ya bantuin. Kalau masalah kayak gini minta tolong sama Willy aja. Karena Kak Regal kalau masalah uang kadang selalu kehabisan tabungan."

Untuk kali ini aku bersyukur dengan kepekaan Willy. Jika dia tidak paham dengan apa tujuanku dan mencercaku dengan banyak pertanyaan. Mungkin sekarang aku akan menangis beneran karena saking kesalnya dengan mereka berdua.

Reyna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang