18) Mas, saya belum bilang setuju!

3.5K 988 451
                                    

Hari-hari selanjutnya, semua berjalan kaya biasa. Ya, meski Justin suka ganggu kalau mereka di kantin dan sering adu mulut sama Rendra ... tapi Nara tetap senang sekolah di Janitra. Dia udah berhasil hafal semua nama teman-teman di kelas dan beberapa kali nimbrung ngobrol dengan yang lain buat ngomongin soal pelajaran nyerempet ke gosip. Tapi kalau ke kantin tetap berempat kaya biasa karena mereka pun pergi sama gangnya masing-masing.

"Mas, hari ini saya latihan lagi di kelas pulang sekolah," ucap Nara yang tengah menyantap makanannya di kantin dengan sedikit terburu. Dia lapar banget, pagi tadi sarapan di rumah tapi sampai sekolah dia BAB. Gak jadi kenyang. Ditambah abis digempur pelajaran akuntansi selama empat jam yang bikin otaknya bekerja ekstra.

"Hm," sahut Narendra singkat.

"Progress kita terbilang cepet tau, Nar. Pola lantai udah oke, kita juga udah pada hafal gerakan, ya tinggal benahin dikit lagi lah kaya nyamain gerakan atau kadang lupa posisi," kata Tasya panjang lebar. Cewek yang melipat bagian tangan seragam sekolahnya ini, kembali melanjutkan ucapan, "Tadi gue tanya kelompok si Elsa, beberapa belum hafal gerakan."

"Semua berkat Ipeh," sahut Nara yang dibalas anggukan perempuan yang mengikat satu rambutnya itu.

"Dan juga si galak Piyo, dia kalo lagi latian udah kaya senior. Ngomel mulu kerjaannya ampe panas kuping gue.

"Tapi jadinya kita kaya disiplin gitu, kan? Gak nyepelein dan males-malesan."

Mereka selalu latian sepulang sekolah walau sebentar, terus di rumah juga ulang gerakan yang diajarin Ipeh. Gitu terus. Mungkin Rendra bosen karena ngeliat Nara sama temen-temennya nari di sekolah, tapi cowok itu gak pernah protes. Dia biasanya ngabisin waktu dengan main ponsel, sambil ngerjain PR, atau kadang disuruh jagain kamera yang dipakai buat rekam gerakan mereka. Karena buat liat tariannya udah bener atau belum, terus sinkron atau gak. Jadi bisa tau salahnya di mana dan apa yang harus diperbaiki.

Jam setengah enam sore, mereka baru pulang setelah hujan agak reda. Mereka kekepung hujan, jadi gak bisa pulang. Untung ada Narendra, dia order pizza buat keenam perempuan itu karena mereka mengeluh kelaparan. Gak bisa beli apa pun karena kantin udah tutup.

"Mas, kok kita lewat sini?" tanya Nara saat Narendra belok kiri dan gak lewat jalan yang seharusnya.

"Motong jalan, macet lewat jalan raya kalau jam segini," sahut cowok itu.

"Oh, lebih deket atau lebih jauh ini, Mas?"

"Lebih jauh dikit, tapi lebih baik dibanding macet."

Nara percaya aja sama Narendra. Yang penting mereka sampai ke rumah dengan selamat.

Suasana jalan kompleks sepi. Kanan dan kiri gak ada orang, cuma ada pas depan komplek aja tadi karena area sekolah. Di pertigaan yang mana merupakan lahan kosong cukup luas, Rendra menghentikan motor karena ngelihat ada orang yang dipepet dua motor dan disuruh turun paksa.

Sial!

Narendra mau berbalik arah dan kabur dibanding jadi korban selanjutnya. Tapi dia mengurungkan niat setelah Nara bilang kalau orang yang jadi korban itu adalah Justin.

Lelaki itu turun dari motornya, nyuruh Nara buat gak ke mana-mana. Dia mendekat dan bantu Justin buat ngelawan mereka yang jumlahnya empat orang.

"Argh!" Saat melawan orang yang bawa senjata tajam, lengannya luka karena terkena benda itu. Justin melemah, gak bisa lagi menepis pukulan karena kesakitan. Dia jatuh duduk sambil memegangi lengannya yang mengeluarkan darah.

Nara yang gak tahan dan gak bisa biarin Rendra ngelawan dua orang lain, ikut maju dan ngebantu.

"NARA LO NGAPAIN?"

Mas Narendra✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang