51) Mas, saya udah tau arti sis main!

3.3K 885 691
                                    

"Maaf, Justin. Saya gak bisa," lirih Nara. "Saya gak mau nerima kamu padahal hati saya bukan buat kamu."

"Lo bisa belajar buat lupain Narendra, gue mau kok nunggu sampe lo bisa jatuh cinta juga sama gue." Justin masih gak nyerah.

"Kita temenan aja, ya? Kamu udah kelas 12 sekarang, saya gak mau menghambat atau ganggu konsentrasi kamu belajar. Urusan cinta bisa dibicarain nanti," kata Nara setelah beberapa saat diam untuk memikirkan kata-kata penolakan supaya Justin gak merasa tersinggung.

"Seandainya gue kenal lo lebih dulu dari Narendra, Nar ... baru kali ini gue ngerasa iri sama bocah ingusan itu." Dia terkekeh, buat Nara melirik ke arahnya dan tersenyum tipis. "Kalo Rendra nyia-nyiain lo, bilang ke gue. Biar gue rebut lo dari dia. Gue gak akan ngelepasin lo lagi buat kedua kali."

Pagi ini, ada pesan masuk dari Narendra. Dia udah bilang ke Justin kemarin kalau dia gak usah lagi anter-jemput Nara ke sekolah karena itu tugasnya.

Jujur, Nara bingung harus ngebales apa. Dia gak bisa tidur semalaman karena ulah Narendra yang bikin jantungnya gak sehat. Masih banyak yang Nara pikirin soal Rendra.

Bener gak sih Narendra suka sama dia? Tapi kenapa sikap dia selalu beda ke Nara? Kenapa dia galak banget ke Nara sejak pertama ketemu? Kenapa dia suka marah-marah? Kenapa dia berduaan sama Putri di hotel waktu itu?

Nara mau tanyain semua itu di rooftop kemarin, tapi dia mendadak blank sama pengakuan cowok galak yang merupakan anak dari keluarga Janitra.

Perempuan berambut sebahu yang memakai seragam dan bando pink dengan bentuk telinga kucing, mengintip ke arah meja makan dari daun pintu. Di sana, ada Narendra yang udah duduk di tempatnya.

Gak tau kenapa, baru kali ini Nara deg-degan dan gugup banget mau ketemu Narendra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gak tau kenapa, baru kali ini Nara deg-degan dan gugup banget mau ketemu Narendra. Bingung mau bersikap kaya apa. Soalnya kemarin setelah Narendra ngakuin perasaan, mereka jadi sama-sama kikuk.

Nara mutusin buat ngeluarin kotak pensil dari dalam tas, dan kembali memerhatikan wajahnya dari kaca kecil yang menyatu dalam kotak pensil. Dia merapikan lagi poninya, berusaha menampilkan mimik muka yang biasa aja.

"Kak Nara, ngapain ngangkat-ngangkat tempat pensil begitu?"

Nara yang tengah fokus menatap kedua matanya sendiri di kaca kecil, terkejut saat Tama menepuk lengannya tiba-tiba. Hampir aja kotak pensil bergambar unicorn yang dia pegang jatuh.

"Tama, kamu ngagetin!" kata Nara yang buru-buru menutup tempat pensil dan memasukkannya lagi ke dalam tas. "G-gak ada apa-apa, kok, hehe." Nara menutup resleting tas dan berjalan ke meja makan sama anak bungsu keluarga Janitra yang tingginya hampir sama kaya Narendra. Padahal masih SMP kelas 9.

"Pagi, Mas," ucap Nara basa-basi saat bertatapan dengan laki-laki yang duduk di sebrangnya.

"Hm," sahut Rendra singkat, mengubah posisi duduk jadi tegak. Dia keliatan salting juga, gak mau natap Nara lama-lama.

Mas Narendra✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang