21) Mas, kayanya dugaan saya salah, deh.

3.1K 936 390
                                    

"Aduh, kebelet berak gue, kebiasaan," bisik Tasya yang berdiri di belakang Nara. Mereka lagi siap-siap buat nari setelah penampilan grup sebelumnya hampir selesai. Keenam perempuan ini sekarang ada di depan pintu kelas sambil mengikat selendang ke pinggang sebagai properti.

"Tenang, jangan gugup," sahut Nara pelan.  "Semangat-semangat!"

"Play sekarang?" tanya teman sekelas yang duduk deket pintu ketika kelompok Elsa selesai menampilkan tarian mereka. Guru udah memperbolehkan kelompok selanjutnya tampil.

"Iye dong, masa taun jebot," balas Ipeh yang ada di baris paling depan.

Satu persatu dari keenam orang itu mulai masuk ke dalam kelas setelah intro lagu terdengar. Ketika udah ada di depan, mereka mulai berpencar sesuai dengan tempatnya masing-masing. Nara ada di bagian depan samping kanan, jadi fokus Narendra cuma ke sana aja.

Sesekali lelaki yang duduk di bangku kedua dari belakang itu menahan senyum melihat Nara yang tengah menari di depan. Ingatannya melayang pada saat di mana Bi Darmi menceritakan soal Nara beberapa tahun lalu ....

"Kalau bibi pulang kampung, Nara selalu nangis seandainya bibi balik ke Jakarta. Dia sering tanya sama bibi, katanya lebih sayang sama Mas atau sama dia. Soalnya bibi lebih banyak luangin waktu buat ngurus Mas Rendra sama Tama di sini."

"Kenapa bibi masih di sini? Pulang aja, Narendra udah besar sekarang. Gak perlu diurus bibi lagi," kata anak yang duduk di bangku kelas empat yang tengah disiapkan makan siang. Saat itu, pembantu di keluarga Janitra cuma Bi Darmi seorang.

"Terus nanti Mas Rendra sama Tama di rumah sama siapa?" respons Bi Darmi yang menaruh piring ke atas meja, dekat Rendra. "Tama juga masih kecil, gak ada yang anter ke sekolah kalau Bibi gak di sini. Mami sama papinya Mas kan kerja."

"Nara di kampung sama siapa?" tanya Rendra yang bersiap menyantap makanan buatan Bi Darmi yang selalu enak.

"Sama papanya, Mas. Berdua."

"Kalo gitu suruh dia ke Jakarta aja, biar tinggal sama Bi Darmi."

"Gak bisa, Mas. Papanya Nara sakit-sakitan, jadi Nara sekolah sambil urus papanya di kampung."

Narendra kecil kini menghela napas. "Rumit!" sahutnya pelan. "Kenapa gak pakai pembantu aja? Emang Nara bisa urus papanya sendiri?"

"Bisa, Mas. Nara dari kecil itu udah mandiri. Dia bisa cuci baju, cuci piring, masak juga bisa. Bibi gak bisa nyewa pembantu, soalnya gak ada biaya."

"Minta sama mami atau papi aja uangnya. Mereka punya banyak uang, bisa sewa pembantu lagi."

Mendengar apa yang dikatakan anak sulung keluarga Janitra, Bi Darmi terkekeh. Dia emang selalu menggampangkan sesuatu.

Saat Nara dan teman-temannya udah selesai tampil, Narendra mau tepuk tangan sama kaya yang lain. Tapi diurungkan niat itu, dia memilih untung bersiap-siap karena setelah ini dia yang maju ke depan.

"Semangat, Mas!" ucap Nara saat dia melewati bangku Narendra dan duduk di tempatnya, tepat di belakang Narendra.

Suasana mendadak hening ketika laki-laki ini maju ke depan sambil membawa kursi miliknya dan juga gitar. Dia duduk di depan kelas, menaruh gitar ke pangkuan dan mulai memainkan benda itu.

Semua mata tertuju padanya, termasuk Nara. Dia fokus memperhatikan Rendra yang mulai bernyanyi. Lagunya sama kaya yang waktu itu Nara dengar saat masuk ke kamar Narendra.

Ada beberapa yang merekam aksinya, beberapa juga ikut menyanyi walau tanpa suara.

Di akhir lagu, Narendra yang tengah memetik gitarnya ini mengalihkan pandangan ke arah perempuan yang duduk di bangku belakang. Mata keduanya berpapasan, dan Narendra sama sekali gak mengalihkan perhatiannya ke arah lain.

Mas Narendra✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang