STAY

47 4 0
                                    

Phase 1

Jevan.

H-1 sebelum keberangkatan Arlyn ke Prancis dihabiskan bersama Jevan, mereka sepakat untuk memperkenalkan diri secara resmi sebagai pasangan kekeluarga masing-masing. Setelah bertemu dengan ke-dua keluarga secara pribadi, mereka kemudian berbincang-bincang dikantor Jevan, tempat paling aman untuk mengobrol secara mendalam. Mereka berbicara tentang rencana mereka kedepannya seperti apa,

"Sebenarnya Jev, ada yang mau Aku kasih tau ke Kamu. Aku nggak tau apa Kamu masih mau bertahan sama Aku atau enggak setelah ngedengarin ini." Ucapan Arlyn ini tentu saja membuat Jevan menegang, ia tidak bisa menerka kisah apa yang akan ia dengarkan, tapi ia bertekad untuk mendengarkannya sampai selesai. Sebelum Arlyn memulai ceritanya, Jevan memastikan bahwa ruangannya aman dan tidak ada telinga keledai dimana-mana.

"Aku siap dengerin kok, Lyn." katanya, sebenarnya Ia bohong! Jevan tidak benar-benar siap, tapi kalau cerita itu berpengaruh terhadap masa depan mereka, maka ia harus mendengarkan.

"Jev, kalau semisal Aku bilang Aku belum siap punya anak gimana?" selalu saja seperti ini, Arlyn selalu memulai pembicaraan serius dengan pertanyaan jenis ini.

"Boleh Aku tau alasannya? ya, Aku nggak apa-apa sih kalau semisal Kita nunda punya anak dulu, tapi sebenarnya tujuan Kamu bertanya seperti itu buat ngasih tau Aku alasan Kamu belum siap punya anak, kan?" tebak Jevan,

"Aku takut nggak bisa ngurus anak dengan benar, Aku takut ngelampiasin emosi ke anak hingga jadi abusive, Aku takut nggak bisa jadi Ibu yang baik." Curhat Arlyn, ia mulai tak bisa menahan emosi mellow dalam hatinya hingga matanya berkaca-kaca, Jevan menangkup kedua pipi Arlyn dan menatap matanya dalam-dalam.

"Hey, it's Okay. Nggak ada yang maksa kita untuk segera punya anak, we can learn it together." Kata Jevan menenangkan Arlyn. 

  "Aku pernah jadi korban dan pelaku kekerasan terhadap anak, Jev, aku ini pembunuh!" Bagai disambar petir, kata terakhir dikalimat Arlyn membuat Jevan melepaskan tangannya dari pipi Arlyn. 

  Arlyn menangis tak karuan karena reaksi Jevan, namun, tiba-tiba Jevan memeluk Arlyn. 

  "Hey, It's Okay, it's okay." Ia berusaha menenangkan Arlyn dan juga dirinya sendiri, dalam hati ia sulit menerima kenyataan itu. 

  "Aku pernah  ngebunuh kembarannya Alvy." Arlyn masih terus melanjutkan ceritanya dipelukan Jevan, sementara Jevan sendiri sudah merasa tak sanggup untuk mendengarkannya lagi.

   "Jika itu melukaimu, tolong jangan diceritakan lagi. Aku nggak sanggup lihat Kamu begini, I'm here for you, Arlyn." Ia mencoba menghentikan Arlyn untuk bercerita. Dalam hati ia juga bertanya pada dirinya sendiri apa dia sanggup hidup selamanya bersama dengan seorang yang mempunyai latar belakang seperti itu? atau haruskah rencana pernikahannya dibatalkan? Tapi bukankah Jevan juga punya masa lalu yang kelam? pasti ada alasan kenapa bisa ada kejadian seperti itu, setelah agak tenang, Jevan melepaskan Arlyn dari pelukannya. 

   "Mami ngelahirin Alvy dan Alry saat Aku umur 4 tahun, karena Mami dan Papa fokus ngurusin sikembar, Aku jadi nggak terurus. Saat itu Nenek Aku datang, dan bawa Aku pergi, alasannya biar Mami dan Papa bisa ngurus adek-adek Aku dengan baik dan Aku juga bisa terurus dengan baik. Tapi dirumah Nenek, Aku sama sekali nggak bahagia, Om Aku orangnya kasar dan suka main tangan, aku jadi korban kekerasan tapi Nenek Aku nggak bertindak apa-apa. Karena perlakuan mereka ini, aku jadi membenci adik-adikku, seandainya mereka nggak lahir, aku nggak mungkin ada disini dan mengalami semua penyiksaan itu." Jevan diam mendengarkan cerita Arlyn, awal ceritanya saja sudah menyayat hati, siapa yang tega menyiksa seorang anak berusia 4 tahun? 

A Partner to StartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang