Dalilah terperangkap di tubuh kembarannya sendiri, sejak kematian dirinya beberapa hari yang lalu.
Highest rank
#2 | Pahlawan (13 February 2025)
#13 | 2023 (13 February 2025)
#22 | Jiwa (13 February 2025)
"Aku tak menyangka kita harus bermurah hati pada orang lain secara berlebihan"
***
(putar: Loren gray-Queen)
"TUAN PUTRI!"
Helena berlari dengan tergesa ke arahku, menghentikan langkahku yang baru saja mendekati sebuah pintu besar yang tampak usang.
"Ada apa? Sudah kubilang aku ingin jalan sendiri," tegasku, sedikit kesal.
"Ruangan itu tidak boleh dibuka! Di dalamnya ada makhluk yang bisa melahapmu hingga kandas!" katanya dengan suara bergetar. Penjelasannya membuatku ingin tertawa. Makhluk? Apa dia pikir aku percaya cerita karut seperti itu? Bahkan di kota kecil tempat asalku, orang-orang sudah tidak memercayai takhayul semacam ini.
"Makan malam segera dimulai, Anda harus bergegas ke sana!" lanjut Helena.
Mendengar itu, aku mengalihkan perhatian dari pintu besar dan mulai berlari kecil menuju ruang makan. Aku sudah tak sabar untuk memilih tiara terbaik yang dijanjikan padaku. Malam ini, aku harus memastikan semuanya berjalan sesuai rencanaku.
Saat tiba di ruang makan, aku mendapati Ayah sudah duduk di kursinya, terlihat tenang namun lelah. Aku segera mengambil tempat di kursi berhadapan dengannya, tanpa memperhatikan apakah kursi itu memang untukku.
"Selamat malam, Ayah," sapaku lembut, memastikan suaraku terdengar manis dan penuh kasih sayang.
Ayah tersenyum kecil, tetapi ekspresinya segera berubah saat seorang wanita paruh baya masuk bersama seorang gadis muda. Wanita itu tampak anggun, tetapi wajahnya menunjukkan kegetiran yang tersamarkan. Gadis di sampingnya, dengan rambut hitam mengilap dan mata tajam, adalah cerminan sempurna dari ibunya. Hatiku segera menebak, mereka pasti ibu dan anak yang menjadi bagian dari cerita tragis Lidya.
"Sayang, kenapa Lidya tidak duduk di tempat biasanya?" keluh wanita itu, memandangku dengan sorot tajam yang segera dia samarkan.
Aku menahan diri untuk tidak menghela napas kesal. Tentu saja, dia hanya seorang selir, tetapi cara bicaranya seolah-olah dia adalah permaisuri yang sah. Aku memiringkan kepalaku dan tersenyum lembut, pura-pura bingung.
"Oh, ya? Maaf, aku hanya ingin lebih dekat dengan Ayah. Maaf kalau hal ini membuatmu marah," kataku, menambahkan nada melankolis dalam suaraku.
Hiks.
Aku memulai drama kecilku. Dari sudut mataku, aku bisa melihat gadis itu--Irish, kalau tidak salah namanya--mengepalkan tangannya erat-erat. Bagus. Aku ingin mereka merasakan tekanan emosional yang sama seperti yang mungkin dirasakan Lidya sebelum kematiannya.
"Ayah, mulai sekarang izinkan aku duduk di sini. Aku mohon. Kalau kau tak suka, aku akan berhenti berharap," tambahku, memastikan suara dan ekspresiku penuh dengan kesedihan yang dibuat-buat.
Wajah Ayah berubah. Dia tampak bingung sekaligus bersalah.
"Bukan seperti itu, Putriku Lidya. A-aku... Oh tidak! Kau boleh duduk di mana saja kau suka!" katanya akhirnya.
Senyumku merekah. Langkah kecil pertama berhasil. Suasana makan malam dilanjutkan dengan keheningan yang canggung. Hanya suara sendok beradu dengan piring emas yang terdengar, hingga akhirnya pengumuman yang kutunggu tiba.
"Ketua Tradisi Kerajaan telah datang. Anda bisa memilih tiara Anda, Tuan Putri."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mataku berbinar melihat mereka masuk membawa sebuah peti kaca besar yang dihiasi ukiran emas. Di dalamnya terdapat tiga tiara yang masing-masing dipisahkan dengan sekat kaca.
"Tiara ini sangat berkualitas," kata Ketua Tradisi dengan bangga. "Yang di sebelah kiri, terbuat dari emas murni yang ditempa oleh para ahli selama bertahun-tahun. Tiara di tengah, terbuat dari kayu langka yang mahal. Siapapun yang memakainya akan terlihat seperti dewi agung yang suci. Dan tiara terakhir, terbuat dari perpaduan intan dan permata yang sangat langka, memancarkan kilau yang luar biasa. Silakan memilih, Tuan Putri."
Aku menatap ketiga tiara itu dengan takjub. Pilihan yang sulit, tetapi mataku segera tertarik pada tiara yang paling bersinar--tiara terakhir, perpaduan intan dan permata.
"Aku memilih yang terakhir," ujarku, tak bisa menyembunyikan antusiasme. "Sesuai dengan diriku. Aku suka sesuatu yang bersinar."
Sengaja, aku melirik Irish dengan senyum tipis penuh arti. Ketua Tradisi memakaikan tiara itu padaku dengan penuh hormat, diiringi doa dan tarian persembahan yang membosankan. Aku tetap tersenyum, menyadari betapa ini mempertegas posisiku sebagai putri kerajaan.
Namun, sebelum aku bisa menikmati momen kemenanganku, suara Irish yang melengking memecah suasana.
"Ayah, aku ingin tiara yang serupa dengan Kak Lidya. Kalau kau mengizinkan, aku akan sangat berterima kasih!"
Aku nyaris kehilangan kendali, tetapi segera memasang senyum palsu.
"Irish, kau tak boleh egois," kataku lembut. "Kalau kau menginginkan yang kumiliki, baiklah, aku akan memberikannya padamu. Tapi, berikan padaku tiaramu."
Irish tampak terkejut, dan Ayah menatapku dengan bingung.
"Lidya," gumam Ayah.
"Tak apa, Ayah. Semua orang mengira aku merundungnya. Aku harus mengalah, kalau tidak aku akan tersakiti, Ayah!" Tambahan tangisan kecil membuat posisiku semakin kuat.
Irish akhirnya mundur. Tapi aku tahu ini belum berakhir. Langkah berikutnya sudah jelas. Aku akan memastikan Irish menjauh dari Pangeran Averio. Aku menatapnya tajam.
"Kalau kita memang saudara," kataku, suaraku penuh ketenangan yang dingin, "aku ingin kau menjauhi Pangeran Averio."
Wajahnya memucat. Bagus. Sekarang aku tahu kelemahannya. Irish, kau mungkin berhasil membunuh Lidya, tetapi aku bukan dia. Kau tidak akan pernah menang melawan Dalilah.
***
Untuk teman-teman yang tidak tahu Tiara adalah mahkota. Selamat membaca.
Jangan lupa vote, krisan, dan share ke teman-teman kalian kalau suka dengan cerita ini.
Mari bantu saya untuk mencapai 1000 pembaca dalam seminggu.