Rencana?

272 19 0
                                    

Pak tua itu terlihat ketakutan membuatku mencari kemana larinya kekeh-nya yang khas tadi. Harusnya dia membalas ucapanku dengan kekehan.

"Ampun Yang Mulia, bukan maksud hamba untuk memperkeruh keadaan!" Sopir tadi meringkuk hingga wajahnya menunduk mengenai tanah.

"Kau ini kenapa bertingkah aneh, aku hanya bilang tidak akan melepaskanmu itu saja. Aku ingin meminta bantuan padamu," Aku berjongkok dan menarik pria tua itu agar kembali berdiri.

"Tidak mungkin, anda meminta bantuan pada seseorang seperti saya?" Wajahnya ketakutan dan berjalan mundur.

"Kenapa jadi kau sih yang takut kepadaku, harusnya aku. Bukankah kau menyimpan rahasiaku?" Aku menaikan alis kananku lalu tersenyum dengan mataku yang sengaja aku sipitkan.

"Saya bersumpah tidak pernah memberitahukan hal tersebut kepada siapapun!" Lagi lagi pak tua itu berniat untuk meringkuk, aku pun menarik tangannya agar ia mengurungkan niatnya tersebut. Sungguh pria tua membosankan.

"Aku tidak membahas hal itu," aku memerintah Helena untuk membawa kursi agar aku segera duduk di depan pria tua ini. Badanku pegal.

"Akhirnya hanya ingin meminta bantuanmu untuk memberi tahu dimana rumah nenekku," pintaku setelah berhasil mendudukkan bokongku di kursi kayu.

"T–tapi, sa–ya, tidak berani Nona!" Ujarnya penuh penekanan.

"Bagaimana kalau aku bunuh saja kau disini untuk menghapus jejak dan rahasiaku padamu. Aku akan bilang kau mencoba untuk membunuhku atas perintah Irish sehingga aku melakukan perlindungan diri dengan cara membunuhmu? Bagaimana? Kau suka skenario ini?" Tanyaku.

Pria tua itu menggeleng, wajahnya pucat bukan main, keringat mengucur dari dahinya hingga terjatuh ke lantai.

"Ampuni saya, Nona. Saya hanya pria tua yang sedang mencari uang. Saya mempunyai anak yang bekerja di istana, jika anda bersikeras melakukan hal tersebut, bukan hanya saya yang akan mati tapi putra saya juga. Tolong pikir kembali tindakan anda, saya harap anda berpikir dengan jernih!"

Apa? Pria tua itu menangis? Aku menangisi pria tua malang yang menjadi tulang punggung keluarga? Padahal aku hanya minta hal yang sederhana tapi begini jadinya.

"Kalau kau tidak mau hal tersebut terjadi, maka aku bertanya bersediakah kau mengantarkan aku pada nenekku?"

Pria tua itu berpikir sejenak lalu mengangguk, "Saya harap anda tidak memperburuk keadaan, ibunda raja Mario meludahi halaman istana dan melalui amarahnya ia mengutuk kerajaan ini. Jika Raja Mario tahu kau datang ke sana bersama saya, tidak tahu apa yang terjadi pada saya dan keluarga saya keesokan harinya!"

Aku harus memanfaatkan kondisi ini dan mencari cara agar membawa nenek ke rumah baruku. Aku harus membuatnya berpihak padaku.

"Bilang saja aku mengancam untuk membunuhmu dan seluruh keluargamu. Katakan pada ayahku bila kau ketahuan, intinya kau harus membawaku pada nenekku!"

"Anda mengorbankan diri anda, saya mana berani!"

"HELENA! BAWAKAN AKU PISAU UNTUK MEMENGGAL–"

"B-baik nona, kita akan pergi kapan?"

Tunggu aku mengancam baru dia menurutiku, dasar si tua dungu. Siapa juga yang berniat membunuhnya, tidak ada untungnya buatku.

"Besok pagi, kalau hari ini aku mau menikmati setiap sudut tempat ini. Kau pasti lapar, ayo kita makan!" Ajakku.

Kami berjalan menuju ruang makan yang cukup luas lengkap seperti di istana, bedanya disini langsung terhubung dengan dapur. Disana terdapat beberapa bahan makanan, tapi tidak ada makanan jadi.

Aku berniat untuk memerintah pelayan untuk membuatkan makanan, tapi disini sunyi. Hanya ada aku, Helena dan sopir tua. Ini seperti diriku dibuang oleh ayahku.

"Kalian duduklah disini, aku akan menyajikan sesuatu untuk kita makan," pintaku, suasana hatiku  bahagia jadi aku akan merayakannya dengan memasak makanan.

"Nona, saya saja. Anda beristirahatlah," ujar Helena.

"Benar nona, saya tak mungkin makan di meja mewah apalagi bersama nona. Kita jelas bukan 1 kalangan!" Pria tua itu hendak beranjak dari meja makan mengikuti Helena.

"Aku akan memasak kalian berdua untuk makan malam ku jika kalian berani membantah!" Ancamku pada mereka.

Akhirnya Helena dan Pria Tua itu duduk kembali, mereka ini susah kali diperintahkan hal yang sederhana. Harus diancam dengan yang kejam.

"Kami tidak berani" ujar mereka bersamaan.

Aku berjalan menuju dapur, terdapat beberapa bahan makanan. Mataku tertuju pada daging sapi yang sudah dipisah dari tulangnya. Aku akan membuat daging cincang pedas dan sup gurih yang diajarkan ibu.

Sambil mempersiapkan bahan makanan, rasa rinduku pada ibu menyerbu. Teringat bagaimana aku memerhatikan ibu dengan rinci mulai dari caranya memotong daging, sayuran hingga meracik bumbu, aku ingat itu semua.

Semua yang ibu lakukan aku lakukan ketika memasak sup yang sering ibu buat. Aku berharap ketika memakan sup ini, aku bisa merasakan kehadiran ibu seperti dulu. Aku berharap ibu bertanya, apakah rasanya sama seperti yang ibu buat. Aku ingin ibu menertawakan sup yang aku buat, lalu mengatakan kalau rasanya hambar karena aku lupa memberi garam. Ibu seharusnya memberi komentar, kalimat yang panjangnya seperti arus sungai.

Sambil menunggu daging matang, aku membiarkannya panas diatas tungku. Berharap dagingnya akan lembut seperti yang ibu buat. Aku kembali ke meja makan dan bergabung dengan mereka.

"Aku harap kalian suka dengan makanan yang aku buat"

"Kami pasti suka, bahkan racun yang anda beripun akan kami minum, Nona!" Ujar Helena.

"Hei anak muda, kau saja yang minum racun, aku tidak. Jangan gunakan kata kami," peringat si tua itu.

"Kau tidak mengabdikan dirimu pada Nona Lidya? Dia adalah nona kita, sudah sepatutnya kita mati ditangannya!" Tegas Helena.

Kenapa jadi begini, mereka tidak segan bertengkar di depanku? Lagi pula siapa yang mau meracuni mereka. Aku rasa tidak ada pembahasan mengenai ini.

"Jika suatu hari aku meracuni kalian, itu berarti karena kalian punya kesalahan besar padaku. Jadi, selagi kalian tidak melakukan kesalahan padaku bersikap sewajarnya dan bertingkah biasa" ucapku.

Tak terasa beberapa waktu berlalu, aroma sup dengan bumbu yang khas menggugah selera. Aroma yang tanpa izin menyerbu penciuman manusia dan membuat perut berteriak.

"Sebentar ya, aku akan bawakan makananku. Kalian tetap duduk disini"

Aku mengambil mangkuk dari rak dan mencucinya sebelum kujadikan wadah makanan. Aku tidak akan mengizinkan debu masuk ke perut kesayanganku.

"Akhirnya selesai juga!" Aku memindahkan sup ke mangkuk lalu membawa ke meja.

"Ini buat Helena dan ini buat sopir tua yang bebal!" Ucapku.

"Anda baik sekali!"

Aku berjalan kembali ke dapur untuk membawa daging cincang pedas. Sepertinya ini favoritku, tapi aku harus membaginya dengan mereka.

"Jangan lupa makan ini, aku harap kalian suka. Bagaimana rasanya?" Tanyaku.

"Nona, saya selama ini tidak pernah melihat nona belajar memasak. Namun, mengapa rasa makanan yang anda buat seperti seseorang yang handal dalam memasak? Darimana anda mempelajari semua ini?" Helena kembali menyendok sup ke mulutnya.

"Intinya kau bilang ENAK?" tanyaku.

Helena mengangguk dan kembali menyendok sup ke mulutnya. Pak tua itu terlihat tak peduli dengan sekitar, ia bahkan meminum sup itu dari mangkuk tanpa menyendoknya. Lalu mengambil daging cincang pedas dan mencampurnya ke nasi. Sudah seperti singa kelaparan.

"Pelan pelan makannya, aku tahu makananku enak!" Kami tertawa hingga pria tua itu pun tersedak tapi tetap melanjutkan makannya.





The Main Princess✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang