Bersenang-senanglah

541 47 3
                                    

"Mengapa kau tertegun?"

"A-anda terlihat mirip dengan seseorang, Yang Mulia" Pria itu menatap lurus kedepan, tidak menatap mata lawan bicaranya.

"Cukup Lidya, kembalilah ke tempatmu. Kau menganggu pekerjaanku!" Oliver menarik tanganku.

"Aku belum selesai!" tegasku.

Oliver melepaskan tanganku yang memerah karena ulahnya. Dia menarik tanganku cukup kasar. Dasar pria bajingan. Tangan indahku jadi ternodai.

"Tidak semua yang kau lihat bisa kau jadikan mainan. Kau melakukan sesuatu sesuka hatimu, ada apa denganmu? Kau berbeda dari Lidya yang dulu!" tegasnya. Aku memutar mataku malas, sungguh telingaku panas. Pria ini menyebalkan, menganggu rencanaku.

"Pergilah, kembali ke Istana!" usirnya. Oliver membalikan badannya, meninggalkanku di perkemahan. "Tidak, aku akan tidur di perkemahan ini!"

"Lakukan kalau kau berani!"

"apa aku pernah takut?" tantangku dengan nyalang.

Dengan menghentak-hentakan kaki, aku memasuki kemah tersebut, ada ruangan yang besar dan lumayan nyaman. Pasti ini milik Oliver. Tanpa ragu aku memasuki ruangan itu, biarkan saja pria itu bergumam kesal sepanjang waktu.

Disana ada ranjang yang cukup besar, hanya saja tidak terlihat nyaman. Berantakan. Apakah pantas seorang pangeran mendapatkan tempat seperti ini? Jawabannya sangat pantas! Lebih cocok dia di lantai tanpa alas.

Wah ada benda panjang yang dipajang di sudut, aku membuka penutup pedang tersebut dan mataku terperangah, inikah yang dinamakan pedang? Aku hanya melihatnya di stasiun televisi, akhirnya aku bisa menyentuhnya. Pedang itu tampak mengkilat dan, "Aishh,"  Pedang itu menggores jari indahku, untung saja hanya tergores.

"apa isi laci itu?" laci yang sedikit terbuka, membuat rasa penasaranku sedikit meningkat. Laci tersebut seakan-akan menyuruhku untuk mengintip. Alhasil,  aku menarik laci itu dan lagi-lagi mataku berbinar.

"Ini adalah pistol, apa aku boleh menyentuhnya. Seperti ini bukan menyentuhnya?" aku mengingat bagaimana film aksi kesukaanku menggunakan pistol. Tanganku cukup gatal untuk tidak mencobanya, "Baiklah Lidya, ayo kita coba pistol ini!"

Ternyata berat, padahal pistol ini tampak ringan. Aku mengangkat pistol itu dan mencoba menguasainya.

"Ternyata dugaanku benar, kehadiranmu disini membuatku tidak tenang!" Oliver datang dan mengambil Pistol yang kuarahkan ke atas, Padahal sedikit lagi aku akan menarik pelatuknya. Aku belum pernah mencoba menggunakan pistol seumur hidupku, aku penasaran bagaimana cara kerjanya.

"Kembalikan pistol itu, kalau tidak aku akan membakar ruangan ini dan dirimu hidup-hidup!"

"Apakah itu caramu menghilangkan rasa bosan" ejeknya.

"Bukan, itu cara bersenang-senang dengan orang gila sepertimu."

Tidak ada jawaban. Artinya aku menang bukan?

"Pergilah, aku tak akan bertengkar dengan perempuan" ujar oliver dengan tangannya mengarah ke pintu keluar.

"Tidak, sekarang ruangan ini milikku."

"Bukankah kau akan membakarnya?" Oliver memiringkan bibirnya.

"Tidak hanya membakar, aku juga akan melakukan hal yang aku inginkan seperti membatalkan pertunanganku dengan Averio sehingga Averio akan berbahagia dengan Irish. Lalu, kau akan berakhir menyedihkan menyaksikan pernikahan mereka" aku mengedipkan mataku berulang juga menggigit bibir bawahku menahan tawa. Aku menggelengkan kepalaku, pria ini sangat mudah dikendalikan jika sudah membahas Irish.

"aku lelah sekali, udara dingin juga membuatku lapar. Oliver yang baik seperti anak anjing, bawakan aku makanan!" pintaku.

Seorang pangeran seperti Oliver takluk ditangan seorang Lidya? Oh tidak, Diriku terlalu bosan berbangga diri.

"Makanlah ini, hanya ini yang kami punya" Oliver datang secepat itu, dan memberikan mangkuk dan cokelat hangat.

"Bubur?"

"Ini makanan kami, disini kami berlatih bertahan hidup"

"Ini bahkan tak pantas disebut makanan" keluhku.

Tanpa mau mendengarkan lebih banyak, Oliver pergi meninggalkanku.

"SIALAN!"

Mau tak mau aku harus memakan bubur itu, ternyata gak begitu biruk seperti penampilannya. Rasanya enak. Dulu sewaktu masih menjadi Dalilah, aku juga sering makan makanan sejenis ini. Terlihat menyedihkan, aku jadi ingat ibuku yang harus bekerja keras untuk mendapat sepotong roti. Bagaimanapun aku tak jadi sungkan membuang makanan.

Aku berjalan keluar hendak mengembalikan mangkok dan mug.  Disana calon-calon prajurit sedang berkumpul. Tak jauh dari sana Oliver berdiri bersama rekannya.

"Aku harus mencuci ini dimana?" Oliver membelalakan matanya.

"Kau benar memakan itu semua?" tanyannya dan aku mengangguk.

"Kenapa kau malah memakannya, aku hanya mengerjaimu!"

"aku lapar dan rasanya juga enak" entah ada apa yang salah sampai semua menatapku dan Oliver menepuk jidatnya.

"Seharusnya kau tak menurut" ujarnya.

"Aku tak biasa membuang makanan, apakah ada racun di makanan itu?" tanyaku.

"Kau benar-benar diluar dugaanku, Bagaimana jika aku di hukum menemanimu sepanjang waktu jika ketahuan memberi seorang putri makanan prajurit!"

"kenapa jadi marah padaku? Bukankah kau yang memberikannya, terlebih aku tak mempermasalahkan hal itu. Aku juga tidak merasakan keanehan di perut-ku" jelasku.

Aku mengabaikan Oliver yang hendak memperpanjang pembicaraan bodoh itu. Aku berjalan menuju kumpulan prajurit yang menjadikanku perhatian utama mereka.

"Hai, Frans kita bertemu lagi." aku berjongkok disebalahnya dan menepuk bahunya.

"Kenapa takut padaku? Aku tidak memakan manusia, kecuali keadaan terdesak." bisikku.

Aku tersenyum semanis yang pernah aku lakukan. Mengedipkan mataku berulang.

"Apa kau pernah melakukan sesuatu yang salah padaku?"

***

Maaf atas update yang lama banget, semoga kalian gak bosan dan tetap pantau cerita ini ya. Jangan lupa vote dan komen. Tandai typo juga ya, author juga manusia gak jauh jauh dari yang namanya kesalahan, xixi😘😉

The Main Princess✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang