Langit semakin gelap ketika kami menyadari bahwa waktu telah berlalu begitu cepat. Suasana pasar mulai dipenuhi cahaya lampu minyak yang hangat, namun kami tak bisa menahan langkah kami untuk berkeliling lebih jauh. Aku dan Helena terpesona oleh toko kecil yang menjual perhiasan indah yang terbuat dari cangkang hewan laut. Perhiasan-perhiasan itu dipoles hingga berkilauan, memberikan kesan elegan yang tak bisa dilewatkan begitu saja.
Mataku tertuju pada sebuah jepit rambut dengan kerang biru muda yang sangat cocok dengan warna kelabu pada rambut Helena. Aku tahu, ini adalah benda yang akan membuatnya senang. Tanpa ragu, aku menunjuk jepit itu kepada penjual.
"Saya akan ambil jepit ini," kataku, dan penjual itu dengan sigap mengambilnya dari etalase.
Aku merogoh kantong tasku untuk membayar, namun alangkah terkejutnya aku ketika merasakan benda hangat dan bergerak dalam tas tersebut. Begitu aku menyentuhnya, terasa seperti kulit manusia yang bergerak perlahan. Tanpa berpikir panjang, aku segera mencengkeram benda itu, yang ternyata adalah tangan seorang pencuri yang berusaha mengambil dompetku.
"Apa yang kau pikirkan, dasar bocah?" suaraku menggelegar, mengalirkan amarah yang terpendam. Anak itu terlihat ketakutan, dan aku bisa merasakan tubuhnya gemetar di bawah genggamanku. "Kau seharusnya tahu dengan siapa kau berhadapan!" Aku menggertakkan gigi, memperlihatkan senyum sinis yang membuatnya semakin ketakutan.
"Helena, kau tangani dia. Aku akan membayar jepit ini dulu," perintahku dengan tegas. Tanpa menunggu jawaban, aku segera melanjutkan urusanku, membayar jepit itu, sementara Helena menangani anak pencuri itu.
Setelah urusan selesai, aku mendekati mereka dan segera membawa anak itu ke tempat yang lebih sepi, sebuah kedai makanan yang terletak di sudut jalan. Aku duduk dengan tenang, menikmati hidangan lezat yang baru saja aku pesan. Anak itu hanya berdiri, terdiam, dan menundukkan kepalanya dengan rasa malu yang mendalam. Helena, yang tak tega melihatnya, hanya diam, tidak menyentuh makanannya.
"Kau, siapa namamu?" Aku menegur anak itu dengan nada datar, meletakkan sendokku dan menatapnya tajam.
"Saya Bruno," jawabnya pelan, masih dengan wajah yang dipenuhi rasa takut dan kesal.
"Dimana orang tuamu? Seharusnya mereka mengajarkanmu untuk hidup dengan benar, bukan hanya melahirkanmu saja!" Tegasku, tak tahan melihat penderitaan anak itu.
Anak itu tersenyum getir, sebuah senyum penuh kepahitan. "Maaf, Nona. Saya belum pernah bertemu dengan orang tua saya... sejak lahir," jawabnya dengan suara parau, dan aku bisa melihat kepedihan yang terpendam dalam setiap kata yang ia ucapkan.
Aku merasa seperti terhantam batu besar. Semua kebanggaan dan kemewahanku tiba-tiba terasa kosong. Aku berjuang keras untuk menjadi seseorang yang kuat, tetapi apa yang telah kulakukan pada anak ini? Aku bermain-main dengan kesengsaraan yang tak terlihat. Hatiku terasa hancur.
"Berapa umurmu?" tanyaku dengan suara pelan, mencoba menahan gejolak perasaan yang datang begitu mendalam.
"14 tahun," jawabnya dengan rendah hati.
Aku mengangguk, menyadari bahwa meskipun usianya masih muda, hidupnya sudah penuh dengan penderitaan. Tanpa berpikir panjang, aku memanggil pelayan dan memesan makanan yang lebih berat untuk anak itu, agar perutnya yang kelaparan bisa terisi dengan baik.
"Makanlah," kataku dengan suara lembut, "Aku memesannya untukmu. Tapi ingat, jangan lagi mencuri. Jika kau ketahuan, bisa jadi nyawamu melayang. Beruntung kau bertemu denganku, jika tidak, siapa yang tahu apa yang akan terjadi padamu."
Anak itu menatapku sejenak, lalu segera menyantap makanan dengan lahap, tanpa memperhatikan apa yang aku katakan. Aku hanya bisa mengamati, dan dalam hatiku, aku terus memberi nasihat agar dia tidak mengulangi perbuatannya.
"Makanlah pelan-pelan, perutmu bisa terkejut jika kau terburu-buru," kataku, tapi kata-kataku seperti hilang begitu saja di telinga anak itu. Ia makan seperti orang yang sudah lama tak merasakan makanan.
Sesaat kemudian, piringnya sudah bersih, dan anak itu meneguk air hingga habis, kemudian mengelus perutnya yang penuh. "Akhirnya... keinginan perutku terkabul!" ujarnya dengan nada yang penuh kelegaan.
Aku beranjak, mengambil beberapa lembar uang dan sekantung emas, lalu menyerahkannya kepada anak itu dengan nada yang lebih dingin. "Bawa uang ini, dan segeralah pergi. Kembalilah ke panti, jangan berkeliaran seperti ini. Jika tidak, siapa yang akan menjaga hidupmu?"
Anak itu melihatku dengan penuh rasa takut. "Apakah aku punya pilihan lain selain membawa uang ini?" tanyanya, langkahnya terburu-buru, wajahnya menunjukkan kebingungan dan ketakutan yang mendalam.
"Tidak ada pilihan lain," jawabku dengan tegas, "Segeralah pulang ke panti, atau apa yang terjadi padamu nanti tak akan ada yang tahu."
Anak itu menunduk, mata sembab karena tangis, dan tiba-tiba ia berlutut, mencium kakiku di tengah keramaian kedai makanan. Orang-orang yang ada di sekitar kami mulai bergumam, suara bisikan-bisikan tak sedap mulai terdengar.
"Bangsawan memiliki kebiasaan aneh, ya. Hobi sekali menyiksa orang di bawahnya. Lihatlah, bahkan anak itu menangis," ujar seorang wanita, cukup keras agar aku mendengarnya.
"Jika aku jadi anak itu, aku lebih baik kulempari dengan kotoran binatang daripada harus mencium kaki seorang bangsawan!" suara seorang pria terdengar cukup nyaring.
Perasaan kesal kembali meluap dalam diriku. Bisikan-bisikan itu membawaku kembali pada masa lalu, masa ketika aku adalah Dalilah, seorang gadis yang dicaci tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semua orang mudah menilai tanpa memahami keadaan.
"Berhenti!" teriakku dengan tegas, menahan napasku yang penuh amarah. "Kau membuat orang-orang di sini berpikir aku menyakitimu. Berdirilah!" Aku menarik anak itu dengan paksa, merasa malu dan bingung sekaligus.
Helena, yang mengerti, segera merespon. "Mari berdiri," katanya dengan suara lembut namun tegas.
Anak itu, yang terisak, mengangkat wajahnya dan memelukku, "Terimakasih, Ibu. Terimakasih sudah menerima aku," ujarnya dengan suara yang penuh rasa terima kasih dan ketulusan.
Aku tertegun sejenak. Ibu? Itu kata yang baru saja ia ucapkan. Wajahku memerah, bingung sekaligus tidak percaya.
"Apakah wajahku terlalu tua sehingga kau memanggilku Ibu?" kataku sambil tertawa kecil, berusaha menahan perasaan aneh yang mulai muncul. "Seharusnya kau memanggilku Kakak, melihat usiamu yang masih muda."
Anak itu tersenyum dengan penuh harapan, "Ibu sangat cantik. Aku memanggilmu Ibu karena kau menyelamatkanku. Aku merasa kau adalah sosok ibu yang selalu kuimpikan."
Hatiku terasa bergejolak. membuatku memiliki keinginan untuk membawnya. Melihat anak ini, aku jadi teringat diriku. Menyedihkan, kata itu yang bisa menggambarkan anak ini. Aku bingung, tetapi aku tahu aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja.
Setelah beberapa saat, aku memutuskan untuk membawa anak itu ke istana. Dalam perjalanan menuju kediaman kerajaan, dia terus memanggilku "Ibu", meskipun aku sudah memperingatkannya. Mataku tertuju pada orang-orang yang melihat kami dengan pandangan penuh tanda tanya.
"Aku akan memikirkannya," jawabku singkat. "Ingatlah, anak kecil, apa yang tidak berguna akan dibuang, seperti sampah yang dibakar. Jangan banyak bicara sekarang."
Kami memasuki istana, dan dengan langkah tegas, aku memerintahkan Helena untuk mengurus anak itu. "Bawa dia bersamamu," pintaku. "Aku tidak tahu lagi harus bagaimana."
Setelah sampai di kamarku, para dayang menghampiriku dengan langkah cepat. Aku terkejut, tak tahu apa yang sedang terjadi. Mereka membawaku masuk ke dalam kamar, dan aku merasa ada yang tidak beres.
"Saya Dayang Senior Giova, Nona. Mulai sekarang, Anda akan dikawal oleh kami," jelas Giova, seolah tahu isi hatiku.
"Apa yang sedang terjadi?" tanyaku, kebingungan.
"Saya hanya menjalankan perintah, Nona. Mari, saya akan bantu Anda berpakaian dengan pakaian terbaik," jawabnya dengan senyum profesional.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Main Princess✔️
FantasiaDalilah terperangkap di tubuh kembarannya sendiri, sejak kematian dirinya beberapa hari yang lalu. Highest rank #2 | Pahlawan (13 February 2025) #13 | 2023 (13 February 2025) #22 | Jiwa (13 February 2025)