Entah berapa lama kami mengelilingi pasar hingga tak menyadari hari mulai gelap. Aku dan Helena berencana untuk kembali ke Istana. Lagi-lagi kami terpincut pada toko pinggir jalan. Kali ini yang menjual perhiasaan yang terbuat dari cangkang hewan laut yang dipoles mengkilat hingga memiliki nilai estetika yang tinggi. Pandanganku jatuh pada sebuah jepit rambut. Aku berpikir bahwa Helena akan terlihat tertarik dengan jepit rambut dengan kerang kecil sebagai hiasannya, warna biru muda pada kerang tersebut sangat cocok dengan rambut kelabu milik Helena.
"Saya akan ambil jepit ini." aku menunjuk benda yang kumaksud. Si penjual langsung mengambilnya dari etalase dan menunjukannya padaku.
"Aku akan bayar."
Aku mencoba mencari dompetku yang berada di tasku, Namun yang ku dapat adalah sebuah bendad yang bergerak dan hangat. Teksturnya seperti kulit manusia. Aku langsung saja mencengkeram benda tersebut. Aku terkejut ketika memutuskan untuk melihat apa yang terjadi. Untung saja aku mecengkeramnya, ternyata ada pencuri yang mencoba mengambil dompetku.
"Kau harus tahu dengan siapa kau berhadapan, Anak Muda!!" Aku berbicara penuh dengan penekanan, hingga anak itu bergidik ketakutan. Aku tersenyum sinis, semakin mencengkeram tangannya.
"Helena, kau tangani dia. Aku akan membayar jepit ini dulu!" perintahku.
Setelah menyelesaikan urusan kecil, aku kembali pada Helena dan anak muda itu. Segera mungkin aku membawa anak tersebut agar menjauh dari keramaian. Aku merasa harus melakukan sesuatu untuk membuat bocah itu paham akan amarahku.kini kami berada di kedai yang menjual makanan, aku membeli berbagai macam makanan dan membuat anak tersebut menontonku yang sedang menikmati makananku. Helena terlihat tidak tega pada anak itu sehingga ia tidak menyentuh makanannya.
"Kau? Siapa namamu!" aku meletakan sendokku lalu menunjuknya tiba-tiba.
"Saya Bruno,"
"Dimana orang tuamu, aku harus menjumpainya. Mereka seharusnya mendidik anak mereka, jangan hanya melahirkannya saja!" Tegasku padanya.
Anak itu tersenyum getir, "Maaf, aku bahkan belum bertemu dengan mereka, ehmm sejak lahir" Aku memiringkan kepalaku, sedikit tidak percaya dengan pencuri kecil yang membuat lawan bicaranya merasa iba.
"Aku kabur dari panti asuhan, sekarang aku sangat lapar. Aku memilih untuk mencuri karena keadaan memaksaku begitu. Dari kemarin aku tidak mendapat makanan sisa dari tempat pembuangan." anak itu menunduk lalu memegang perutnya berharap getaran dari perutnya tidak terdengar.
Aku melakukan kesalahan besar, tidak seharusnya aku bermain-main dengan kesengsaraan anak malang ini. Aku baru saja sengaja memakan makanan di depan seorang anak kecil yang kelaparan. Apa yang aku lakukan.
"Berapa umurmu?"
"14 tahun" Jawabnya.
Aku mengangguk. Sesegera mungkin aku mengangkat tanganku untuk memanggil pelayan. Aku memesan makanan yang tidak terlalu berat untuk anak yang belum makan dari kemarin."Makanlah, aku memesannya untukmu. Lain kali jangan melakukan tindak seperti tadi. Bisa jadi kau dibunuh kalau ketahuan oleh orang lain. Untung saja kau ketahuan oleh orang sepertiku,"
Anak itu mengangguk, memakan makanannya dengan lahap dan buas. Aku berbicara panjang lebar untuk menasehatinya, hanya saja anak itu terlalu focus pada makanna itu.
"Makanlah pelan-pelan, perutmu akan terkejut jika kau terburu-buru!"
Dalam sekejap piring bersih, anak itu segera meneguk air minum di sebelahnya hingga kandas,"Akhirnya, keinginan perutku terkabul!" ujarnya.
Aku segera beranjak, lalu memberikan sekantung emas dan beberapa lembar uang. Tanpa banyak bicara, aku berjalan meninggalkan anak itu.
"Tunggu, Apakah aku punya pilihan lain selain membawa uang yang anda berikan?" Anak itu menghampiriku dengan terburu-buru. Dari wajahnya menampilkan bahwa ia ketakutan.
"Tidak ada, segeralah pulang ke panti. Tidak ada yang mengurusmu bila kau berkeliaran," pintaku padanya.
Astaga, apa-apaan dia. Anak itu menangis. Lalu menggelengkan kepalanya."Jika aku kembali ke panti, maka aku akan dipukul dengan rotan. Bawalah aku bersamamu, aku akan melakukan segeala perintahmu. Kau boleh jadikan aku anjingmu, asalkan kau berikan aku tempat tidur dan makanan setiap hari!" serunya.
Aku bingung apa yang harus aku lakukan pada anak ini, lagipula aku sibuk dan banyak urusan. Aku sibuk bersantai sehingga tidak punya waktu untuk mengurus anjing. Aku mendengus kesal, disisi lain aku kasihan. Aku harus bagaimana, bila aku membawa anak itu, apa yang akan dipikirkan orang-orang.
"Aku Mohon!!!" Anak itu menunduk, dia mencium kakiku di tempat ramai. Apa yang akan dipikirkan orang-orang disini.
"Bangsawan memiliki kebiasaan aneh, Ya. Hobi sekali menyiksa orang dibawahnya. Lihatlah bahkan anak itu menangis. Oh, hatiku tidak tega!"
"Kalau aku jadi anak itu, aku ogah mencium kakinya. Lebih baik kulempari dengan kotoran binatang!
"...."
Masih banyak lagi bisik-bisik yang sengaja agar aku dengar. Perasaan ini membawaku teringat pada saat aku adalah Dalilah. Perasaan disaat semua orang terus mengomeliku tanpa tahu apa yang terjadi.
"Berdirilah, kau membuat orang-orang disini berpikir aku menyakitimu." Ucapku.
Aku menatap Helena, mendenguskan nafasku kasar. Mataku seakan berkata,"Kau saja yang urus!"
Helena yang mengerti langsung mengangguk, "Mari berdiri."
Anak itu langsung memelukku, "Terimakasih telah menerimaku, Ibu,"
Aku tertegun sejenak, eh, apa katanya tadi, IBU??"Apakah wajahku terlalu tua sehingga kau memanggilku Ibu, dilihat dari umurmu, seharusnya kau memanggilku kakak!"
"Ibu sangat cantik, aku memanggilmu Ibu karena kau adalah orang yang menyelamatkan aku dan mau membawaku bersamamu bukan karena kau terlihat tua. Ketika aku merasakan bahwa kau akan menerimaku, aku langsung merasa sesuatu dari benakku bergejolak sosok ibu yang aku impikan, kini berdiri di hadapanku."
Bisa-bisa nanti aku menjadi ibu di usiaku yang masih muda. Untuk sementara aku akan membiarkannya bila sudah waktunya barulah bisa mengusirnya. Terpaksa aku membawanya ke istana, bagaimana aku menjelaskan ini kepada mereka. Benar-benar buat kepalaku pusing.
"Wah, apa aku bermimpi? aku memasuki istana yang tidak sembarang orang bisa masuk. Ibu-"
"Berhenti memanggilku dengan sebutan ibu. Aku bukan ibumu. Seharusnya kau panggil aku Nona atau Yang Mulia karena aku Putri Mahkota. Aku masih berbaik hati akan memberimu kesempatan memanggilku Kakak!" Aku menghardiknya karena sudah cukup kesal. Sepanjang perjalanan dia terus memanggilku dengan sebutan ibu. Membuat pandangan orang-orang menjadi tertuju kepadaku. Aku mengerti pikiran mereka mengarah kepada sesuatu yang buruk.
"Baiklah kalau begitu, jika aku menurutimu Apakah kau akan membiarkanku mengikutimu?" Anak itu menatapku dengan penuh harap.
"Aku akan memikirkannya, ingaat pepatah sesuatu yang tidak bereguna akan dibakar bersama sampah lainnya. Untuk sekarang kau jangan banyak bicara. Helena, bawa anak ini bersamamu, aku muak sekali melihatnya," pintaku pada Helena yang kebingungan setelah aku menyuruhnya. Sejujurnya aku juga bingung.
Langsung saja aku menuju kamar, tiba-tiba banyak dayang menghampiriku dan mengiringku masuk ke kamar. Aku yang tidak tahu apa yang terjadi celingak-celinguk, memandangi wajah dayang satu persatu, apa yang sedang mereka sembunyikan diriku.
"Saya dayang senior Giova, mulai sekarang anda akan dikawal mereka," Seakan tahu apa isi hatiku, Giova langsung memberikan penjelasan.
"Kenapa tiba-tiba? aku jadi salah paham,""Saya juga tidak tahu, Nona. Saya hanya menjalankan perintah. Saya akan membantu anda berpakaian. Saya akan menunjukan pakaian terbaik, Mari ikuti saya,"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Main Princess✔️
FantasyDalilah terperangkap di tubuh kembarannya sendiri, sejak kematian dirinya beberapa hari yang lalu.