Politik

121 12 2
                                    

Aku duduk kesal di meja perjamuan. Aku berpakai sedemikian rupa dan membuatku sesak napas hanya untuk duduk disini dan memakan jamuan disini. Nenek juga tidak berkata apapun, ia hanya menikmati makanannya. Aku pikir akan ada pesta dansa kerajaan, padahal aku menantikan itu akan terjadi karena mereka memaksaku memakai gaun ini. Aku ingin menghitung bangsawan tampan yang ada di kerajaan ini.

" Sekarang kau sudah jadi ibu, Ya?" Tiba-tiba Oliver berbisik ke arahku lalu duduk di sebelahku dan mulai menyantap makanannya.
Reflek aku menginjak kakinya. Banyak sekali mata-mata di Istana ini, tahu begitu aku tidak usah menyuruh anak itu masuk. Aku akan membiarkan Helena mencarikannya panti.

"Tidak ada mata-mata disini, aku kebetulan lewat dan mendengar percakapanmu dengan anak itu. lucu sekali, spertinya wajahmu terlalu tua ya" ledeknya.
Beraninya dia.

"Aku akan memaafkanmu kali ini karena didepanmu ada ayahmu dan nenekku, mari kita nikmati hidangan yang tersaji"

Suasana kembali hening, cukup mengobati rasa kesalku pada pria satu itu. Sialnya keheningan itu berjalan beberapa menit saja, tiba-tiba Raja buka bicara dan nenek meletakan sendok dan garpu dan membersihkan tangannya. Raja Galileo berdehem, menatap kami berdua bergantian. Perasaanku tidak enak, aku merasa bulu kudukku merinding.

"Paman telah berbincang dengan Oliver, kami telah sepakat memakai ide yang telah kau berikan. Semua saya lakukan sebagai permintaan maaf kepada kalian,"

Apa aku tidak salah dengar? seorang raja menerima permintaanku? aku yakin dia berada di unjung tanduk, salah bertindak ia dan kerajaannya akan hancur. Namun, demi mempertahankan kekuasaan ia tetap memilihku sebagai putri mahkota. Menerima usulanku agar salah satu putranya tetap menjadi pasangan seorang Lidya.

"Oliver?" Aku menatap Oliver penuh tanya, bukan karena pura-pura tidak tahu dengan semua ini. Aku hanya tidak berpikir bahwa ia akan menerimanya. Oliver tidak menjawab.

Kami menyudahi acara perjamuan kami, aku melihat bahwa Oliver bangkit dari kursinya lalu memberikan kode kepadaku agar mengikutinya.

"Aku tidak punya pilihan. Bagaimana pun juga, aku kalah dalam hal cinta. Kakakku lah yang mendapatkannya. Sebenarnya aku tidak menganggap Averio sebagai sainganku, bahkan aku tidak tertarik menjadi Putra Utama. Hanya saja, Ketika aku tahu bahwa aku kalah dirinya aku tersadar bahwa perang sudah di mulai. Aku sadar bahwa sejak dulu dia memang menganggapku musuhnya," Oliver memandangi  pajangan foto yang teramat besar. Aku baru tahu ada ruangan tersembunyi di istana Canavero. Aku sekilas melihat raut wajah Oliver, masih memandangi foto tersebut dengna sendu.


"Alasanku menyukai Irish adalah karena kami senasib, kami sama-sama terlahir dari seorang istri kedua. Aku melihat dirinya seperti melihat diriku, dia terlihat lemah dan aku kasihan padanya. Setiap memandangnya, yang ada dalam pikiranku adalah aku harus melindunginya," Kini pandangan Oliver telah beralih kepadaku.

"Aku senang dia bahagia, tetapi ia bahagia bukan bersamaku. kenyataan itu menghujamku" Oliver menghela nafasnya kasar.

Aku menepuk bahunya pelan, entah darimana sebuah rasa menghujaniku, membuat darahku berdesir. Membuat aku harus menahan sesuatu agar tidak terjatuh. Melahirkan sebuah pertanyaan, aku sedih karena apa? perasaan sedih ini mungkin karena cerita dari Oliver. Aku menarik nafasku.

"Kau tahu, apa yang menyedihkan bagiku?" Ucapku tanpa aku pikirkan.

"Apa itu?"

Aku berjalan sedikit agar dapat berdiri di sebelah Oliver, "kenyataan bahwa tidak ada yang mncintaiku selain diriku sendiri. Setiap aku bangun pagi, aku harus menguatkan diri bahwa diriku sendiri yang mencintaiku lebih dari apapun. Sekarang aku tidak berharap ada seorang pria datang kehidupku. Kita memang akan bersama, tapi itu tidak melibatkan cinta. Hubungan politik yang aku usulkan aku buat untuk membantumu. Jika suatu hari nanti, kau sudah tidak membutuhkanku, kau boleh memintaku pergi,"  Aku tersenyum, lebih tepatnya aku tidak ingin tersenyum tapi aku harus tersenyum. Perkataan itu juga aku tidak ingin ucapkan, tapi mulutku seakan bicara sendiri. Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Perkataan kembaranku yang mengatakan aku akan menyusulnya ke alam baka. Aku tahu bahwa itu peringatan bahwa waktuku tidak lama lagi.

"Jadi, pergunakan aku semaumu," Imbuhku.

"Aku merasa kau sudah Kembali menjadi Lidya. Aku merasa tidak mengenalmu sejak kau bangun dari kematianmu. Kau menjadi berbeda, Aku sedikit menyukai hal itu, karena kau jauh lebih ceria dan berwarna. Namun sekarang, kau Kembali menjadi Lidya. Seseorang yang penuh dengan ketidakpercayaan diri. Sekarang aku melihat Lidya di depanku," ucap Oliver.

Bukan, aku bukan menjadi Lidya asli. Aku tetaplah Dalilah dengan tubuh Lidya. AKu hanya paham akan perasaan Lidya dan aku mulai bertingkah persis seperti dirinya. Semua emosi emosi milih tubuh ini, menyerangku tiba-tiba. Membuatku tanpa sadar seakan menjadi Lidya sejati.

"Hal itu tidak penting, sekarang aku harus pergi. Aku harus memikirkan cara agar kau mendapat banyak dukungan untuk menjadi putra mahkota. Kau berjuanglah, aku akan membantumu dengan caraku," tanpa menunggu jawaban dari Oliver, aku langsung pergi meninggalkannya.
Setelah keluar dari ruangan itu, aku dihampiri beberapa dayang yang tergesa menemuiku. Keringat mereka bercucuran, nafas mereka tersenggal,

"Nona, anak siapa yang anda bawa ke istana. Dia cukup sulit diatur. Dia terus mencari nona,"


Tanpa banyak bicara, aku mengikuti pelayan itu. Bagaimanapun juga anak itu adalah tanggung jawabku, apapun alasanku tetap saja aku yang membawanya kemari.


"Bruno, kau akan membuat kekacauan apalagi?" anak itu langsung menghentikan aksi berlarinya sambil memegang vas keramik dengan polesan emas. Wajar saja dayang disini langsung ketakutan, dilihat dari bentuknya itu adalah barang berharga.


"Kau kubawa kemari bukan untuk mencuri, Apakah aku harus mencari panti asuhan terdekat sebagai tempat tinggalmu?" Ancamku.
Benar saja, anak itu langsung menurut dan memberikan vas tersebut pada pelayan di dekatnya. Anak itu mencoba untuk berbicara. Namun, karena terlanjur kesal aku tidak ingin mendengarkannya.


"Apakah kakak bisa mendengarkanku sebentar saja?" Suaranya memelas, begitupun wajahnya.


"Aku hanya memegang vas ini karena baru kali ini bisa menyentuh emas di depan mataku. Kak Helena yang bilang kalau ini emas, awalnya aku tidak tahu. Karena terlalu senang, aku ingin memegangnya,tapi pelayan disini salah paham. Kau harus percaya bahwa aku tidak ada niat buruk" Lama kelamaan anak itu mengatakannya dengan nada bergetar, lalu tangisnya pecah memenuhi ruang.


"Hentikan tangismu, ini bukan salahmu, hanya saja dayang disini menganggapmu pencuri karena penampilanmu. Begitulah bila orang miskin hanya melihat sesuatu saja bisa diangggap pencuri" Ucapku.

"Aku tahu itu karena Dalilah seumuranmu pernah di tuduh mencuri  walau hanya melihat saja. Itulah mengapa menjadi miskin sangat menyakitkan"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 04, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Main Princess✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang